Masuk Daftar
My Getplus

Cerita Tank Renta

Dibeli untuk Trikora, tank PT-76 Indonesia masih aktif hingga kini. Diusulkan panglima TNI untuk dipensiunkan.

Oleh: M.F. Mukthi | 24 Feb 2022
Sebuah tank PT-76 Resimen Kavaleri 3 Pasmar 3 "Kakatua Raja Sakti" sedang melakukan operasi kemanusiaan. (tni.mil.id).

Kanal Youtube Jenderal Andika Perkasa mengunggah video kunjungan panglima TNI tersebut ke Markas Komando Marinir Cilandak belum lama ini. Dalam video bertanggal 19 Februari 2022 itu, Jenderal Andika beraudiensi dengan pimpinan korps baret ungu. Kunjungan Andika memang bertujuan ingin mengetahui lebih jauh tentang organisasi Korps Marinir.

Selain mendapat penjelasan tentang organisasi korps yang dulu bernama KKO itu, Andika juga berkeliling meninjau persenjataan yang ada di sana. Andika didampingi Komandan Marinir Mayjen (Mar.) Suhartono dan petinggi lain Marinir.

Ketika melintas di hadapan deretan kendaraan tempur (ranpur) lapis baja, Andika tampak penasaran dengan sebuah tank yang membuatnya bertanya.

Advertising
Advertising

“Apa ini, Mas?” tanyanya kepada Suhartono.

“Siap. Ini jenis ranpur PT-76 M,” jawab Suhartono.

“Ooo...ini yang 61 tahun?” tanya Andika kembali.

“Siap. Senior, Pak. Mentor, Pak,” jawab Suhartono sambil bercanda.

Mengetahui tuanya usia ranpur PT-76, Andika lalu menyarankan agar Marinir menggantinya dengan yang baru. Meskipun mendapat penjelasan bahwa material tank amfibi ringan itu masih bagus, Andika tetap bergeming.

“Udah lah, ini udah kelamaan. Udah. Nggak usah di...” kata Andika sambil tersenyum dan berlalu.

Tank buatan Uni Soviet itu memang merupakan salah satu ranpur uzur yang masih tersisa dan aktif di barisan alutsista milik TNI. Usianya lebih tua dari Jenderal Andika sendiri. Tank dengan banyak varian itu dibeli Indonesia dalam rangka kampanye pembebasan Irian Barat, Trikora.

Baca juga: Tank Gaek Bertahan Hidup

Kendati begitu, upaya pembelian alutsista telah dijadikan program pembangunan oleh Angkatan Laut RI (ALRI) dan Angkatan Udara RI (AURI) pada paruh pertama 1950-an. Amerika Serikat (AS) dijadikan negara tujuan pertama untuk pembelian itu. Namun, upaya tersebut gagal karena AS, sekutu Belanda dalam pakta pertahanan Atlantik Utara NATO, khawatir persenjataan yang diminati itu nantinya akan digunakan untuk kepentingan yang bertentangan dengan politik luar negerinya.

“Pada 1955, Jakarta telah mendekati Amerika Serikat untuk meminta persenjataan dan perlengkapan militer senilai kira-kira 6 juta dolar untuk digunakan menumpas beragam pemberontakan, tetapi permintaan ini ditolak, tampaknya karena ketakutan –tidak diragukan lagi– bahwa persenjataan itu akan digunakan dalam perjuangan Irian Barat,” ujar Alexei Muraviev, Associate Professor of National Security and Strategic Studies di Curtin University, dan sejarawan Colin Brown dalam makalahnya di Jurnal Strategic & Defence Studies Centre yang berjudul “Strategic Realignment or Deja Vu? Russia-Indonesia Defence Cooperation in the Twenty-First Century”.

Penolakan itu membuat ALRI dan AURI kecewa. Pimpinan kedua matra lalu sepakat mencari persenjataan ke negara-negara Blok Timur, rival Blok Barat pimpinan AS dalam Perang Dingin. Ketika pemerintahan Kabinet Ali Sastroamidjojo II mendukung pandangan tersebut, upaya mencari kredit pembelian senjata ke negara-negara Blok Timur pun dimulai.

“Pada tahun 1956 terjadi perbedaan pandangan antara para petinggi AL dan AU dengan TNI-AD dalam masalah pembelian persenjataan. Pihak AU dan AL yang telah dua tahun mengharapkan mendapat peralatan perang dari Amerika Serikat kecewa karena proses perundingan untuk pembelian itu berjalan sangat lambat,” kata Atmadji Sumarkidjo dalam Mission Accomplished: Misi Pendaratan Pasukan Khusus oleh Kapal Selam RI Tjandrasa.

Adanya perbedaan pandangan membuat AL dan AU dengan pemerintah jalan terus ke negara-negara Blok Timur dengan meninggalkan AD yang masih bergelut mengatasi perbedaan pendapat di dalamnya. KSAD Mayjen AH Nasution berbeda pandangan dengan deputi operasinya, Kolonel A. Yani, mengenai tempat mana yang mesti dipilih untuk pembelian.

“Semula saya bermaksud untuk mempermudahnya dengan mengambil 1 divisi lengkap dari USSR. Staf saya tidak dapat mengikuti saya sejauh itu, dan alasannya memang benar, yakni bahwa divisi-divisi Sovyet adalah untuk tugas tempur dalam kondisi perang di sana. Kondisi medan dan perang di Indonesia adalah lain. Dalam rapat di SUAD nyatanya kita belum sependapat, agar secara bulat mengambil persenjataan dari USSR. Jenderal Yani masih tetap berharap sebagian dari Amerika, Inggris, Perancis dan kekurangannya dari Moskow. Beda dari sikap AL dan AU yang secara bulat mengambil dari Timur, seperti peralatan brigade KKO kita oper praktis bulat dari Sovyet,” kata Nasution dalam memoarnya, Memenuhi Panggilan Tugas, Jilid 5: Kenangan Masa Orde Lama.

Upaya AL-AU-pemerintah berhasil mendapat sambutan hangat dari negara-negara Blok Timur. Kontrak pembelian senjata senilai 60 juta dolar didapat dari Cekoslowakia, Polandia, dan Yugoslavia sebagai satu-satunya negara komunis non-Blok Timur. Kesuksesan upaya pertama ini segera dilanjutkan dengan pengajuan kredit baru pada 1958 oleh Kabinet Djuanda yang berhasil mendatangkan lebih banyak alutsista buat AL dan AU.

Ketika kampanye Irian Barat makin konfrontatif pada awal 1960, upaya pembelian senjata kian mendapat perhatian pemerintah. Pada akhir tahun itu, Presiden Sukarno menugaskan Menteri Keamanan Nasional/KSAD Jenderal Nasution ke Uni Soviet untuk membeli alutsista. Misi Nasution I itu berhasil dengan baik. Bermacam persenjataan didapat AL dan AU dari Soviet. AL mendapat porsi terbanyak lantaran hampir semua daftar pembeliannya disetujui Soviet.

Pada pertengahan 1961 Nasution kembali ke Moscow untuk menjalankan misi pembelian alutsista. Dalam Misi Nasution II inilah tank PT-76 dibeli Indonesia.

“Dalam kontrak yang berhasil dilakukan pada Misi Nasution II, ALRI kembali mendapat peralatan perang yang paling banyak. ALRI meminta kapal-kapal cepat roket serta persenjataan lengkap untuk 3 brigade KKO mulai dari senjata perorangan AK-47 sampai tank amfibi PT-76 dan panser amfibi BTR-50 yang masih dipergunakan sampai sekarang ini,” sambung Atmadji.

Baca juga: Benarkah Kalashnikov di Balik Lahirnya AK-47?

PT-76 merupakan tank amfibi ringan untuk pengintaian yang menjadi standar di AD Soviet dan negara-negara Pakta Warsawa. Sejak diperkenalkan pada awal dekade 1950-an, PT-76 terus mengalami perbaikan sehingga punya banyak varian.

“PT-76 adalah tank yang tidak konvensional dalam banyak hal. Tidak ada militer NATO yang memiliki tank pengintai amfibi. Pada saat itu, Angkatan Darat AS mengadopsi tank ringan M-41 Walker Bulldog, dan tank ringan AMX-13 Angkatan Darat Prancis, yang keduanya tidak amfibi. PT-76 sangat besar untuk tank ringan pada periode ini, terutama karena persyaratan daya apung untuk kemampuan berenangnya. Sistem hydrojet memungkinkan PT-76 untuk melakukan perjalanan melintasi sungai dengan kecepatan arus tidak lebih dari sekitar 8 km/jam. Kecepatan renangnya sekitar 10 km/jam. Mesin yang dipilih untuk PT-76 didasarkan pada setengah mesin V-54 T-54, dengan 6 silinder, bukan 12. Sasis PT-76 berfungsi sebagai basis untuk berbagai transporter lapis baja lain, Luna (FROG) kendaraan peluncuran rudal nuklir, kendaraan penelitian aktik Penguin dan senapan serbu udara ASU-85. Itu juga secara tidak langsung melahirkan kendaraan ringan generasi selanjutnya, termasuk kendaraan meriam pertahanan udara ZSU-23-4 Shilka,” kata US Marine Corps Intelligence Activity dalam buku Soviet/Russian Armor and Artillery Design Practices 1945-1995.

Baca juga: AMX-13 Tank Prancis Rasa Amerika

Kendati PT-76 –dan beragam alutsista lain yang dibeli untuk kampanye Irian Barat– yang dibeli Indonesia akhirnya tak jadi digunakan dalam Trikora karena Irian Barat keburu didapat Indonesia, tank itu mendapat tempat tempur pertamanya tak lama kemudian di Konfrontasi (Dwikora). Namun, PT-76 hanya digunakan secara terbatas karena dalam perang yang tak pernah dideklarasikan itu militer Indonesia berperan lebih sebagai penyokong kekuatan gerilyawan Kalimantan Utara.

Pasca-G30S, Marinir kesulitan merawat tank-tank PT-76 miliknya. Penyebabnya yakni detente AS-Soviet dan embargo suku cadang oleh Soviet yang kecewa akan sikap Indonesia dalam menangani PKI. Kesulitan itu sampai membuat Marinir melakukan kanibalisasi tank-tank PT-76 miliknya.

Kendati begitu, PT-76 menjadi andalan utama Marinir ketika pemerintah menggelar Operasi Seroja di Timor Timur (Timtim) pada 1975. Tank-tank PT-76 dan BTR-50 jadi pengangkut Batalyon Tim Pendarat I Korps Marinir yang menyerbu Timtim dari laut.

Baca juga: Timor Timur Membangun Solidaritas Internasional

Setelah Timtim, prakits PT-76 tidak melakukan operasi tempur lagi karena tiada pertempuran yang dilakukan ABRI. Pada 1990, upaya peremajaan sejumlah PT-76 yang masih layak dilakukan secara bertahap dengan menggandeng perusahaan perawatan dan modifikasi peralatan militer asal Israel NIMDA. Upaya terpenting adalah penggantian mesin V-6 buatan Soviet dengan DDA 6V-92 buatan AS.

“Paket upgrade juga mencakup alternator baru (24 V, 200Ah), sistem pendingin dan kelistrikan baru serta modifikasi bahan bakar, knalpot, saluran udara, lambung, dan dek atas. Meriam 76,2 mm asli digantikan oleh meriam Cockerill Mk. III 90 mm yang dapat menembakkan bermacam amunisi termasuk APFSDS (Armour-Piercing Fin-Stabilized Discoring Sabot). Untuk meningkatkan probabilitas tembakan putaran pertama, sistem kontrol tembakan baru telah dipasang, bersama dengan sistem penglihatan siang/malam baru untuk penembak yang menggabungkan pencari jarak laser. Stabilisasi meriam/turet listrik solid-state baru dan sistem kontrol daya menggantikan sistem asli Rusia dan sistem pemadam kebakaran baru telah dipasang,” demikian diberitakan armyrecognition.com pada 23 Mei 2020.  

Tank-tank PT-76 kembali terlibat dalam operasi militer pada awal tahun 2000-an, yakni di Aceh. Saat itu pemerintah melancarkan Operasi Keamanan Terpadu guna menumpas Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Usai operasi di Aceh itu, PT-76 belum pernah lagi melakukan operasi tempur.

Pada 2008, sebuah BTR-50 mengalami musibah di perairan Situbondo, Jawa Timur. Versi angkut (transport) dari PT-76 itu tenggelam dan menewaskan enam prajurit di dalamnya.

Kondisi tersebut membuat banyak pihak menyerukan untuk mempensiunkan PT-76 dan BTR-50 dari jajaran militer Indonesia. Pada Oktober 2021, anggota Komisi I DPR RI Yan Permenas mendorong pemerintah segera memperbarui alutsista TNI AL, terutama PT-76 dan BTR-50. Terakhir, Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa menyerukan hal serupa.

“Makanya, menurut saya, sudahlah. Kayak kami juga, Angkatan Darat ya, pengajuan. Pengajuan lho. Kalau yang akhirnya jadi (disetujui, red.) itu kan keputusan menhan. Kami kalau mau ngusulkan beli itu ya yang baru sekalian,” kata Andika.

TAG

tank militer operasi trikora marinir

ARTIKEL TERKAIT

Sejarah Prajurit Ada Rolls-Royce di Medan Laga Rencana Menghabisi Sukarno di Berastagi Ledakan di Selatan Jakarta Para Pejuang Bugis-Makassar dalam Serangan Umum Jenderal dari Keraton Murid Westerling Tumbang di Jogja 73 Easting, Tarung Kolosal Tank di Perang Teluk Jenderal Orba Rasa Korea Strategi Napoleon di Balik Kabut Austerlitz