Masuk Daftar
My Getplus

Ledakan di Selatan Jakarta

Sumber ledakan gudang amunisi milik KODAM Jaya mirip sumber ledakan di Gudang Senjata Marinir Cilandak dulu.

Oleh: Petrik Matanasi | 01 Apr 2024
Pada `1984 Panglima ABRI Jenderal LB Moerdani, Menpen Harmoko, dan Pangdam Jaya Mayjen Try Sutrisno tak hanya harus memberi keterangan pers soal Peristiwa Tanjung Priok tapi juga ledakan gudang peluru Marinir di Cilandak. (Repro "Sinar Harapan")

SABTU, 30 Maret 2024, gudang munisi daerah (gudmurah) milik KODAM Jaya di Kampung Parung, Ciangsana Bogor, meledak. Sebelumnya ada berita bahwa yang meledak adalah gudang senjata Yonarmed 7, namun hal ini dibantah Pangdam Jaya Mayor Jenderal Mohamad Hasan. Yang meledak, kata Hasan, adalah gudmurah milik KODAM, bukan Yon Armed.

Sumber ledakan, ujar Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto, adalah gesekan amunisi yang telah kadaluarsa. Akibat ledakan itu tak hanya bangunan militer yang rusak, setidaknya 31 rumah di Ciangsana rusak. Tak ada korban jiwa dalam ledakan tersebut, namun ledakan tersebut membuat ratusan warga sipil dari sekitar komplek militer tersebut harus mengungsi.

Meledaknya gudang senjata di lingkungan KODAM Jaya ini jelas bukan yang pertama dalam sejarah TNI. Hampir empat dekade silam, ledakan serupa pernah terjadi di Cilandak, Jakarta Selatan, yakni di gudang senjata milik Korps Marinir TNI AL. Sumber ledakan dalam peristiwa ini dicurigai berasal dari peluru mortir 80 mm buatan Yugoslavia. Peluru ini memakai mesiu cair.

Advertising
Advertising

Gudang senjata Marinir di Cilandak meledak pada Senin, 29 Oktober 1984 pukul 21.15 WIB. Komandan Jenderal (Danjen) Marinir Brigadir Jenderal Moentaram menyatakan melalui Berita Yudha tanggal 5 November 1984 bahwa anggota jaga segera bertindak untuk memadamkannya dan berhasil. Namun tidak lama kemudian, asap timbul lagi yang diikuti oleh letupan-letupan kecil sehingga gudang tersebut ditinggalkan.

KSAL Laksamana M. Romly menyebut, sebelum ledakan besar terjadi, telah terjadi kebakaran di sekitar lokasi kejadian namun sulit dipadamkan. Setelah kebakaran, peluru-peluru berat yang menua di lokasi kejadian pun terpicu dan meledak.

“Usaha memadamkan api sudah dilakukan dengan mengerahkan unit mobil pemadam kebakaran TNI-AL dan Pemda DKI Jakarta, tapi keadaan memaksa petugas kebakaran mundur,” ujar Romly seperti dikutip Berita Yudha, 7 November 1984.

Evakuasi dilakukan terhadap warga sipil, dalam hal ini keluarga anggota di sekitar tempat kejadian.

Akibat ledakan tersebut, suasana di selatan Jakarta mencekam. Banyak warga sipil di kawasan Jagakarsa terpaksa harus mengungsi sampai ke Depok. Aula Kota Administratif Depok juga menjadi tempat pengungsian.

“Ledakan gudang peluru dan mesiu di Cilandak, Jakarta Selatan membangunkan penduduk dan menggerakkannya menjadi pengungsi yang meninggalkan kampung halaman,” tulis P Swantoro dkk. dalam Membuka Cakrawala: 25 Tahun Indonesia dan Dunia dalam Tajuk Kompas.

Beberapa hari setelah ledakan, pengungsi bisa pulang ke rumah-masing. Namun, mereka yang rumahnya rusak tak bisa pulang. Berita Yudha edisi 2 November 1984 menyebutkan, dari 4.821 pengungsi, setidaknya 339 orang belum bisa pulang. Setidaknya daerah dalam radius 200 hingga 300 meter dari tempat ledakan masih dianggap daerah bahaya alias wilayah merah di mana amunisi aktif masih berpotensi mengganggu.

Pada 1 November 1984, sebuah proyektil peluru yang sedang diangkut oleh empat anggota Marinir tiba-tiba mengeluarkan semburan asap panas. Koran Berita Yudha (03 November 1984) menyebut tiga dari empat anggota itu terluka.

Kala itu antara zona merah dan daerah luar zona hanya dibatasi dengan tali rafia (rumput jepang) saja. Peluru-peluru yang tersisa dari zona merah itu kemudian diamankan ke daerah Marunda. Laksamana Romly kala itu memperkirakan dibutuhkan waktu satu bulan untuk membersihkan zona merah dan sekitarnya.

Ledakan tersebut merusak 3.714 rumah dan melukai 224 orang. Sementara, korban yang meninggal mencapai 17 orang.

Korps Marinir sendiri kehilangan 2.000 ton amunisi dalam peristiwa tersebut. Jenisnya beragam: peluru roket BM-14 (Rusia), howitzer 122 mm, mortir, dan juga granat. Pangdam Jaya Mayjen TNI Try Sutrisno menyebut kerugian mencapai Rp1,3 miliar.

Presiden Soeharto menyempatkan diri berkunjung ke Cilandak. Tak hanya itu, pemerintah tentu keluar banyak biaya untuk perawatan para korban dan penggantian rumah serta berbagai fasilitas yang rusak. Tragedi itu diabadikan Iwan Fals dalam tembangnya yang berjudul "Annisa".

TAG

orde baru soeharto try sutrisno benny moerdani marinir

ARTIKEL TERKAIT

TAP MPR Dicabut, Sejarah Makin Berkabut Pencabutan TAP MPR Membuka Lagi Wacana Gelar Pahlawan Soeharto, Begini Kata Sejarawan Merehabilitasi Soeharto dari Citra Presiden Korup Nawaksara Ditolak, Terbit TAP MPRS XXXIII/1967 Eks KNIL Tajir Soeharto Berkuasa seperti Raja Jawa Ali Moertopo “Penjilat” Soeharto Pangeran Haryasudirja Hampir Mati Ditembak Jepang Nisan dan Tengkorak dalam Peringatan Reformasi Tuah Guru Soeharto