Putri Indumati mendekati Raja Awanti yang sudah menunggu penuh harap. Ia sudah berkhayal sang putri akan memilihnya di antara raja dan pangeran lainnya dalam sayembara itu. Namun, Putri Indumati berpaling. Dirinya tidak tertarik, tak ada tanda gairah sedikit pun.
Meranalah raja negeri Awanti karena sudah diabaikan. Air matanya mengalir deras. Karena berduka, ia menulis puisi yang mengharukan pada sarung kerisnya.
Kisah itu ditulis Mpu Monaguna pada abad ke-13 dalam karyanya, Kakawin Sumanasantaka. Dalam penggalan kisah itu, Mpu Monaguna menggambarkan bahwa keris tak selalu berfungsi sebagai alat tikam. Raja negeri Awanti, raja yang berani di medan perang, menjadikan keris miliknya sebagai media meluapkan perasaan.
Baca juga: Keris Pangeran Diponegoro Tiba di Tanah Air
Guru Besar Arkeologi UGM, Timbul Haryono menjelaskan masyarakat Jawa, khususnya pada masa lalu, percaya bahwa keris berperan dalam seluruh perjalanan hidupnya, sejak lahir hingga mati.
“Sebagai contoh, keris bentuk Brojol digunakan oleh para dukun bayi dalam membantu proses kelahiran,” tulis Timbul dalam “Keris dalam Sistem Budaya Masyarakat Jawa Tradisional Ditinjau dari Pendekatan Arkeologi”, termuat di Keris dalam Perspektif Keilmuan.
Fungsi Praktis
Kapan awalnya keris mulai dikenal? Sejarawan Danys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya menganggap sejarah keris kurang begitu jelas. Ia menulis bahwa pemakaian keris muncul sejak masa akhir Majapahit.
Kata kris sebenarnya sudah muncul di dalam prasasti dari abad ke-9 dan ke-10. Beberapa prasasti menyebutkan kata kris dalam bahasa Jawa Kuno. Misalnya dalam Prasasti Poh dari 827 Saka (905). Kris disebutkan bersama alat logam lainnya, seperti alat pertukangan dan alat pertanian, sebagai salah satu perlengkapan sesaji dalam upacara penetapan sima (daerah perdikan).
“Menjadi jelas bahwa sejak abad ke-9 keris telah ditempatkan di dalam ranah aktivitas ritual yaitu berfungsi sebagai artefak kelengkapan ritual. Namun perlu diteliti apa makna keris dalam konteks upacara penetapan sima itu,” jelas Timbul.
Baca juga: Keris Kiai Nogo Siluman Tak Pernah Hilang
Arkeolog Edi Sedyawati punya pendapat berbeda, disebutkannya kris bersama benda-benda fungsional lainnya berarti pada sekira abad ke-9 dan ke-10, kris masih mempunyai kegunaan praktis. Ia belum bernuansa mistik dan dianggap sebagai pusaka sebagaimana keris pada masa kemudian hingga kini.
“Benda dari logam yang menyertai upacara sima itu disebut saji sang makudur. Di antaranya adalah twek punukan, yaitu pemotong atau penusuk yang berpunggung. Mungkin itu maksudnya arit. Lalu ada nakka-cheda (pemotong kuku), wangkyul (cangkul?), serta kris,” tulis Edi dalam “Keris pada Masa Jawa Kuna”, termuat di Keris dalam Perspektif Keilmuan.
Baca juga: Memetakan Perjalanan Keris Pangeran Diponegoro
Ini didukung pula oleh karya-karya sastra berbahasa Jawa Kuno sejak abad ke-11. Dalam Kakawin Arjunawiwaha misalnya, yang ditulis saat pemerintahan Raja Airlangga, ditemukan kutipan yang menyatakan bahwa kris adalah senjata untuk perang.
Sama juga dengan Kakawin Sumanasantaka yang mengisahkan keris sebagai alat tikam. Karya ini juga mengisahkan keris dipakai oleh para janda untuk bunuh diri. Keris atau lebih tepat sebutannya patrem kalau di dalam naskah-naskah kesusastraan.
Misalnya Kakawin Sumanasantaka mengisahkan di Kerajaan Widarbha, ketika raja, ayah Putri Sri Indumati, mangkat, permaisurinya, ikut menyusul dengan melakukan bela pati.
“Kerismu (patrem) ini, Tuanku, akan kutikamkan pada tubuhku. Mari temui aku di perjalanan,” kata sang ratu.
Baca juga: Melacak Keris Mistis Pangeran Diponegoro
Selain permaisuri, Jayaluh, abdi setia Putri Indumati, juga begitu sedih gustinya mangkat. Ia pun mengakhiri hidupnya mengikuti junjungannya itu.
“Lihat ini, putri, kris (patrem) ini, alat maut ini akan kupakai menikam diriku sekarang,” ujarnya.
S. Supomo dalam Kakawin Sumanasantaka: Mati karena Bunga Sumanasa menjelaskan, dalam kakawin lain diketahui juga kalau para janda memakai beragam senjata untuk bunuh diri seperti khadga dalam Bharatayuddha dan Hariwangsa, curiga dalam Hariwangsa dan Sutasoma.
“Apa bedanya semua senjata itu, yaitu kata lain dari keris, tak jelas. Namun acuan dalam Hariwangsa mengisyaratkan khadga, curiga, dan patrem adalah sinonim,” jelas Supomo.
Lambang Kebesaran
Sementara dalam Kakawin Sutasoma, yang ditulis pada abad ke-14, yaitu pada masa Majapahit, disebutkan senjata itu diberi sarung, dibuka jika hendak dipakai.
“lnformasi ini telah merujuk kepada adat memperlakukan keris seperti yang dikenal di masa kini, yaitu disimpan di dalam sarungnya. Ini juga dimaksudkan untuk menyembunyikan identitas bilah keris yang bersangkutan,” tulis Edi.
Keris agaknya mulai menjadi lambang kebesaran pemakainya, khususnya raja. Ini disaksikan oleh Ma Huan, penerjemah resmi Cheng Ho, yang kapalnya merapat di Jawa pada abad ke-15. Dalam catatannya Yingya Shenglan, ia menceritakan bahwa di Majapahit, di mana raja menetap, raja punya kebiasaan khusus dalam berpakaian. Raja tidak menutup tubuh bagian atasnya. Tubuh bagian bawahnya ditutupi satu atau dua kain berbunga-bunga.
Untuk mengencangkan sarung ini digunakan kain tipis atau linen yang dikencangkan di sekitar perut. Kain semacam ini disebut selendang. Raja lalu membawa satu atau dua pisau pendek yang disebut pu-lak. Ia tidak mengenakan alas kaki.
Baca juga: Keris Sakti dan Pagebluk Corona
Menurut W.P Groeneveldt, pu-lak mungkin merupakan terjemahan dari kata pribumi, badik. Senjata ini lebih kecil dari pedang dan lebih besar dari pisau.
“Sepertinya orang Tionghoa menggunakan nama ini untuk setiap senjata yang mirip. Tentu saja orang Jawa menyebutnya keris,” tulis Groeneveldt dalam Nusantara dalam Catatan Tionghoa.
Kemudian ada lagi catatan penjelajah Portugis, Tome Pires yang menjelajah ke Nusantara pada abad ke-16. Dalam Suma Oriental, Pires menyebut bahwa para bangsawan Jawa merias diri dengan mewah. Mereka menggunakan berbagai macam keris, pedang, dan tombak yang berlapis emas.
Bukan hanya di Jawa, di Aceh keris punya kedudukan yang tinggi. John Davis, seorang navigator Inggris dalam catatannya mengungkapkan pengalamannya ketika berlabuh di Teluk Aceh pada Juni 1599. Ia mencatat, sang kapten kapal, Cornelis de Houtman didandani menurut adat setempat ketika akan menemui raja setempat. Ia diberi sebilah keris sebagai tanda kehormatan.
Baca juga: Keris dalam Lukisan Rembrandt
Menurut Davis, keris itu sejenis pisau belati yang gagang dan pegangannya terbuat dari sejenis logam yang menurut perkiraan raja nilainya jauh melebihi emas. Keris itu juga bertatahkan batu-batu rubi. Logamnya memiliki kilau yang sangat bagus.
“Memakai keris itu artinya mati jika bukan atas kehendak raja,” catat Davis.
Namun, apabila raja memberikan keris itu, artinya si pemegang keris mendapatkan kebebasan mutlak. Ia mengambil makanan tanpa membayar dan memerintah orang lain laiknya budak.
Raja sendiri punya kebiasaan mengenakan keris yang diselipkan pada ikat pinggangnya. Bukan hanya satu, melainkan empat. Dua dipakai di depan, dua lainnya di belakang. Keris-keris itu bertatahkan berlian dan batu rubi.
Bentuk Awal Keris
Bagaimana dengan bentuk kris, apakah memang sejak lama sudah seperti keris pada masa kini?
“Termasuk yang dikenal dengan sebutan kris pada prasasti-prasasti sekitar abad ke-10, hanyalah dapat diperkirakan (bentuknya, red.),” tulis Edi.
Timbul menyebutkan tipe awal keris bisa ditelusuri ke belakang hingga masa berkembangnya budaya megalitik Pasemah di Sumatra Selatan. Ini tergambar dalam relief batu gajah, di mana seorang tokoh mengenakan semacam belati yang terselip di ikat pinggangnya.
Baca juga: Enam Korban Keris Mpu Gandring
Pada masa perkembangan Hindu-Buddha, lewat adegan-adegan dalam relief candi dijumpai tokoh yang memegang senjata tajam. Salah satunya Dewi Durgamahisasuramardini yang bertangan 8 atau 10, pada salah satu tangannya memegang khadga (pedang pendek). Senjata seperti itu juga sering disandang oleh arca penjaga, Dwarapala, yang digambarkan berbadan besar.
“Senjata inilah yang paling dekat kemiripan bentuknya dengan keris, walau perbedaannya jelas juga, yaitu bilahnya lebih lebar merata, sedangkan keris lebih ramping meruncing,” tulis Edi.
Bentuk keris mirip dengan masa kini baru muncul pada abad ke-14. Dalam relief di Candi Sukuh, di lereng Gunung Lawu, terdapat adegan tempat kerja pandai besi, di mana terlihat sejumlah benda besi yang dihasilkan. Di antaranya sebuah alat tusuk berbilah ramping meruncing, seperti bilah keris yang dikenal kini.
“Bentuk keris seperti yang dikenal sekarang sudah lazim didapati pada abad ke-14,” jelas Edi.