Belum lama ini catatan kuno lain berisi tata cara mumifikasi yang lebih detail sekaligus tertua yang pernah ditemukan di Mesir Kuno, dipublikasikan. Naskah sepanjang 6 m itu diberi nama Papirus Louvre-Carlsberg.
Dinamakan demikian karena setengah dari papirus adalah milik Museum Louvre di Paris dan separuh lainnya bagian dari Koleksi Papirus Carlsberg Universitas Kopenhagen. Dua bagian papirus ini awalnya adalah milik dua kolektor. Beberapa bagiannya masih hilang.
Naskah itu tengah didalami oleh ahli Mesir Kuno, Sofie Schiødt untuk meraih gelar Ph.D. Berdasarkan paleografinya naskah itu diperkirakan berasal dari sekira 1450 SM.
“Ini adalah manual mumifikasi tertua yang pernah ditemukan, mendahului dua contoh teks lainnya yang berumur lebih dari seribu tahun,” kata Sofie Schiødt, sebagaimana dikutip lama resmi University of Copenhagen.
Baca juga: Di Balik Kutukan Makam Firaun
Dari papirus itu, Sofie mendapatkan daftar bahan untuk memproses jenazah menjadi mumi. Sebagian besar terdiri dari zat aromatik nabati dan pengikat yang dimasak hingga menghasilkan cairan.
“Sasaran pembacanya pasti adalah spesialis yang perlu diingatkan tentang beberapa detail, seperti resep salep dan penggunaan berbagai jenis perban,” jelas Sofie.
Cairan itu kemudian dibubuhkan pada sepotong kain linen merah. Kain ini kemudian diletakkan ke wajah orang mati untuk kemudian dibungkus dengan kepompong pelindung dari bahan yang wangi dan anti-bakteri. “Proses ini diulangi dalam interval empat hari,” jelas Sofie.
Menurut Sofie, catatan di dalam Papirus Louvre-Carlsberg sangat penting karena merinci garis besar proses pembalseman yang dibagi menjadi empat interval. Pembalsem secara aktif mengerjakan mumi setiap empat hari.
Baca juga: Di Balik Kematian Cleopatra
“Sebanyak 17 prosesi dilakukan selama periode pembalseman,” kata Sofie. “Di antara interval empat hari, jenazah ditutup dengan kain dan dilapisi jerami yang diresapi aromatik untuk menjauhkan serangga dan pemakan bangkai.”
Di Mesir Kuno, teknik mumifikasi dianggap sebagai seni sakral. Pengetahuan tentangnya hanya dimiliki oleh sedikit orang. Bukti tertulis mengenai proses mumifikasi jenazah Mesir Kuno sangat langka. Hingga kini hanya dua teks tentang mumifikasi yang berhasil diidentifikasi.
Para ahli Mesir pun percaya, tata cara prosesnya mungkin diteruskan secara lisan. Karenanya sebelum papirus itu berhasil dibedah, proses dan teknis mumifikasi tak pernah bisa sepenuhnya dipahami.
Tergantung Kemampuan Materi
Orang-orang Mesir Kuno memiliki kebiasaan memumikan anggota keluarga yang meninggal. Prosesnya berbeda tergantung kemampuan ekonomi. Prosesnya tidak rumit bagi orang miskin.
Menurut ahli Mesir, Salima Ikram, sebagaimana dikutip History, beberapa mayat hanya diisi dengan minyak juniper untuk melarutkan organ sebelum dimakamkan.
Untuk mumi sekelas firaun, biasanya ditempatkan di peti mati batu berornamen yang disebut sarkofagus. Mereka dimakamkan di kuburan rumit yang dipenuhi dengan semua yang mereka butuhkan untuk kehidupan setelah kematian, seperti kendaraan, peralatan, makanan, anggur, parfum, dan barang-barang rumah tangga. Beberapa firaun bahkan dimakamkan dengan hewan peliharaan dan pelayan.
Baca juga: Mengintip Isi Dapur Firaun
Herodotus, sejarawan Yunani Kuno pernah melihat sekilas proses mumifikasi orang Mesir Kuno ketika mengunjungi Mesir pada sekira 450 SM. Dia mencatat bahwa ada tiga tingkat mumifikasi berdasarkan harganya.
Jika keluarga almarhum bersedia merogoh kocek secara royal untuk perawatan terbaik, pembalsem akan mengeluarkan otak melalui hidung sebelum perut dikosongkan melalui sebuah celah kecil.
Pelayanan yang lebih murah dilakukan dengan cara mengisi rongga perut menggunakan minyak cedar. Minyak ini dianggap bisa mencairkan usus, lambung, hati, dan paru-paru. Bagi keluarga yang memiliki anggaran terbatas, pembalsem hanya akan menyiram tubuh dengan air dan membiarkannya di natron atau larutan garam alami selama 70 hari.
Baca juga: Ketika Firaun Keliling Dunia
Sementara itu, dari hasil penelitian Andrew David Wade dan Andrew John Nelson, antropolog University of Western Ontario, Kanada, yang dipublikasikan dalam Homo-Journal of Comparative Human Biology, berjudul “Radiological Evaluation of the Evisceration Tradition in Ancient Egyptian Mummies” diketahui bahwa menjaga jantung jenazah tetap pada rongga pemiliknya ketika proses mumifikasi akan membedakan seorang bangsawan dari rakyat jelata.
“Orang biasa yang dimumikan tidak menerima perlakuan yang sama, mungkin untuk memastikan para elite bisa mempertahankan kehidupan akhirat yang lebih baik daripada rakyatnya,” jelas Wade dan Nelson.
Mitos Mumifikasi Herodotus
Selama ini catatan Herodotus tentang mumifikasi di Mesir Kuno telah menjadi acuan bagi para peneliti selama berabad-abad. Dijelaskan Ancient Origins, di dalam catatannya itu Herodotus juga merinci bagaimana mempersiapkan dan mengawetkan mayat.
Pertama adalah proses pembalseman. Di tahap ini beberapa organ tubuh orang mati dikeluarkan termasuk otak. Otak dikeluarkan melalui hidung. Mereka kemudian mensterilkan rongga dada dan perut.
Setelahnya tubuh orang mati itu dimasukkan ke dalam cairan asin yang mengandung campuran soda ash dan natrium bikarbonat. Tujuannya agar cairan tubuh terkuras dan mencegah tubuh membusuk.
Tahap akhir, tubuh dibungkus dengan potongan linen. Kemudian dikubur.
Catatan sejarawan kuno lainnya yang sering menjadi acuan bagi para peneliti adalah Diodorus Siculus, sejarawan Yunani yang hidup 400 tahun setelah Herodotus.
Baca juga: Peradaban dari Jamban ke Jamban
Catatannya menggambarkan bagaimana ritual pembalseman mayat dilakukan di Mesir Kuno. Menurut laporannya, tidak seperti isi perut dan otak, jantung hampir selalu tak dikeluarkan dari tubuh.
Namun, lewat penelitian yang dilakukan Wade dan Nelson, asumsi yang sudah lama dipercaya itu terpatahkan. Mereka menjelaskan bahwa praktik mumifikasi lebih bervariasi dari waktu ke waktu. Variabelnya begitu banyak, bisa tergantung status atau mungkin geografi.
Mereka dan tim peneliti telah menelusuri literatur ilmiah untuk menemukan deskripsi dari 150 mumi yang berasal dari berbagai periode dalam sejarah Mesir Kuno. Mereka juga melakukan CT scan dan membuat rekonstruksi 3D dari tujuh mumi sebagai sampel.
Baca juga: Menggali Sejarah Pemakaman
Hasilnya, catatan Herodotus dan Diodorus tak bisa diandalkan. Baik orang kaya maupun orang miskin, jeroannya sama-sama dikeluarkan melalui celah perut. Seperlima dari mayat pun masih memiliki otak. Artinya pengeluaran otak dari hidung tak selalu dilakukan.
Terbukti pula tidak ada pengawetan jantung. Pasalnya seperempat dari mumi yang mereka teliti masih memiliki jantung.
Mereka pun berpendapat, catatan Herodotus dan Diodorus sebaiknya dianggap sebagai, paling banter, gambaran yang mungkin dilakukan oleh satu pembuat mumi tertentu. “Gambaran itu tidak mengungkapkan variasi seluruhnya dari praktik yang ada di Mesir selama tiga milenium, atau bahkan ketika catatannya [Herodotus dan Diodorus] ditulis,” jelas Wade dan Nelson.
Lebih Tua dari yang Diperkirakan
Menariknya, praktik merawat jenazah yang rumit dan lama prosesnya itu sudah dilakukan orang Mesir Kuno jauh lebih awal dari yang pernah diduga para ahli. Dilansir dari History, banyak ahli Mesir Kuno yang mengira kalau jenazah orang Mesir dari masa 3.700–3.500 SM dimumikan secara alami.
Perkiraan awalnya, pada saat firaun seperti Raja Tut memerintah Mesir, mumifikasi adalah praktik terkodifikasi yang telah dimulai sejak periode Kerajaan Lama, sekira 2.500 SM.
Baca juga: Melihat Kehidupan Orang Romawi Lewat Lubang Jamban
Namun, hasil penelitian menunjukkan bahwa mumi yang ditemukan pada era 3.700–3.500 SM memiliki sisa-sisa bahan pembalseman yang digunakan pada mumi ribuan tahun kemudian. Kini analisis terbaru menunjukkan kalau orang Mesir Kuno telah mewarisi resep pembalseman lebih dari 1.500 tahun sebelum periode Kerajaan Lama, 2.500 SM.
Kendati begitu mumifikasi adalah tradisi yang tersebar luas dan dihormati di dunia kuno, bukan hanya di Mesir Kuno. Sebagaimana dilansir dari Livescience, praktik ini merupakan cara untuk menghormati orang mati atau mengekspresikan keyakinan agama terutama keyakinan tentang akhirat.
Di Mesir, tradisi memumikan jenazah secara bertahap memudar pada abad ke-4 saat Roma menguasai Mesir. Kemudian dengan munculnya agama Kristen, proses mumifikasi pun berhenti.