Masuk Daftar
My Getplus

Melacak Jejak Dukun Beranak

Relief candi dan artefak mengabadikan peran dukun beranak di masa lalu.

Oleh: Risa Herdahita Putri | 19 Okt 2017
Relief persalinan di dinding Candi Borobudur. Foto: Tropenmuseum.

DUKUN beranak tak lagi memegang peran sentral dalam proses persalinan. Dia harus didampingi seorang bidan. Meski begitu, pada masa kerajaan-kerajaan di Nusantara, dukun beranaklah yang membantu kelahiran bayi bahkan di lingkungan istana.

Tradisi persalinan dalam masyarakat di Nusantara bisa disaksikan melalui relief candi. Dalam adegan cerita Krsnayana yang dipahatkan di Candi Wisnu, Prambanan dari abad 9 menggambarkan Dewaki ketika akan melahirkan Krsna. Di hadapannya nampak seorang perempuan yang menolongnya melewati proses persalinan. Di belakang Dewaki juga seorang perempuan lagi. Namun tak diketahui apakah dia pelayan Dewaki atau pembantu perempuan yang menolong persalinan tadi.

“Orang yang menolong melahirkan, kalau sekarang disebut dukun beranak. Jadi, dalam masyarakat Jawa Kuno telah ada perempuan yang mempunyai profesi sebagai dukun beranak,” tulis Titi Surti Nastiti, arkeolog Puslit Arkenas, dalam Perempuan Jawa.

Advertising
Advertising

Meski dalam relief jelas digambarkan, tak ada sebutan jelas bagi profesi itu. Prasasti hanya pernah menyebutkan istilah walyan, yang menurut Titi berarti dukun. “Apakah yang dimaksud dengan walyan itu dukun beranak atau dukun biasa masih belum dapat diketahui dengan pasti,” tulisnya.

Di Kerajaan Bima yang berasal dari abad 17 M, dukun beranak disebut dengan Sando. Ia bisa laki-laki atau perempuan. Sando perempuan dipanggil dengan Ina oleh orang Bima. Sementara sando laki-laki disebut Ama-ama.

Sando punya peran penting dalam prosesi ritual pewarisan tradisi yang berkembang di dalam masyarakat. Kini bukti praktik ritual saat kehamilan dan pasca persalinan sejak masa Kerajaan Bima masih terlacak di Desa Jatibaru, Bima, NTB.

Anis Izdiha, antropolog Universitas Gadjah Mada dalam “Warisan Tradisi Kehamilan-Persalinan Kerajaan Bima, Nusa Tenggara Barat” jurnal Prajnaparamita, 5/2017, menulis, pada saat ini, masyarakat Desa Jatibaru memiliki dua pilihan persalinan. Mereka bisa melahirkan di fasilitas kesehatan medis atau dibantu sando. Meski tak memegang peran utama lagi, sando masih berperan pada prosesi ritual budaya, termasuk menjaga pada waktu kelahiran.

Sando juga dapat berfungsi sebagai pendamping persalinan menggantikan suami. Ia diminta memantau proses persalinan. Jika ada kesulitan, sando dengan sigap meniup ubun-ubun, perut, atau bagian vagina ibu hamil sebanyak tiga kali. Sando juga akan membacakan doa ke air kemudian diminum si ibu dan sisanya dipercikkan di vaginanya.

“Meski sando sudah dilarang untuk melayani persalinan, keterlibatan sando dalam persalinan masih terlihat,” jelas Anis.

Pergantian kepemimpinan raja menjadi sultan pun turut mengubah tradisi yang ada. Ritual kehamilan dan persalinan diselenggarakan dalam napas Islam.

Sejauh yang dapat dilacak, Museum Asi Mbojo di Bima masih menyimpan enam artefak yang dipakai oleh para perempuan yang melahirkan. Keenam artefak itu menunjukkan bagaimana proses persalinan yang dilakukan di dalam kerajaan. Di antaranya baju Poro Bura dan Tembe Songket. Wujudnya, berupa baju putih dan sarung songket yang dipakai ibu hamil pada saat melahirkan.

“Persalinan di dalam kerajaan dilakukan dengan proses ritual yang didahului dengan sebuah persiapan. Seorang ibu yang akan bersalin harus memakai baju poro terlebih dahulu sebelum melakukan prosesi kelahiran,” tulis Anis.

Lalu ada Roa Sa’e, periuk tempat ari-ari. Ari-ari bayi harus diletakkan di dalam Roa Sa’e atau periuk yang terbuat dari tanah liat. Berikutnya ada Kula Lo’i yaitu tempat rempah-rempah yang akan digunakan sebagai obat pada saat melahirkan. Adanya Kula Lo’i menunjukkan adanya sebuah ritual khusus bagi seorang ibu pasca bersalin, yaitu memberikan rempah-rempah ke tubuh si ibu. Sedangkan Wadu Lo’i adalah alat batu untuk menggiling rempah-rempah sebagai obat.

Piso Lo’i adalah senjata dukun yang akan mengawal kelahiran putra dan putri sultan. Peda Lo’i juga senjata para dukun. Bedanya senjata ini mengawal proses kelahiran anak-anak keluarga sultan.

“Peralatan melahirkan, piso lo’i dan peda lo’i merupakan simbol kekuatan seorang sando dalam menangani urusan siklus kelahiran seorang bayi,” jelas Anis. Lebih dari itu, sosok sando masih dilihat sebagai figur kuat yang ditokohkan.

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Poorwo Soedarmo Sebelum Jadi “Bapak Gizi” Antiklimaks Belanda Usai Serbuan di Ibukota Republik Perlawanan Perempuan Nigeria Terhadap Kebijakan Pajak Duka Atim dan Piati Picu Kemarahan PKI Operasi Pelikaan Ditolak, Gagak Bertindak di Ibukota Republik Jenderal Nasution Mengucapkan Selamat Hari Natal Waktu The Tielman Brothers Masih di Indonesia Runtuhnya Kesultanan Banten Filantropi Tjong A Fie Menjelang Blitzkrieg di Ibukota Republik