Masuk Daftar
My Getplus

Masuknya Aksara Pallawa ke Nusantara

Aksara Pallawa dibawa dari India. Mengalami perubahan di Nusantara.

Oleh: Risa Herdahita Putri | 06 Jun 2020
Aksara Kadiri Kwadrat pada Prasasti Pohsarang (Lucem) 934 saka (1012 M) yang ditemukan di Desa Pohsarang, Kabupaten Kediri, Jawa Timur.

Para brahmana dari India mengawali tradisi menulis di Nusantara dengan memperkenalkan aksara Pallawa. Pallawa merupakan dinasti di India Selatan yang berkuasa dari abad ke-4 hingga abad ke-8.

Aksara Pallawa menyebar ke Asia Tenggara, seperti Burma, Laos, Kamboja, Thailand, Vietnam, dan Indonesia di Kalimantan, Sumatra, Jawa, dan Bugis.

Arkeolog Universitas Gadjah Mada, Mimi Savitri, mengatakan di wilayah lain, aksara Pallawa tidak banyak berubah, sedangkan di Nusantara mengalami perubahan. Di tempat asalnya, Pallawa berbahasa Sanskerta. Sedangkan di Nusantara, ketika Pallawa berubah jadi Jawa Kuno, bahasanya Jawa Kuno. Walaupun ada juga Jawa Kuno berbahasa Sanskerta. Aksara Jawa Kuno banyak digunakan dalam prasasti-prasasti pada masa Mataram Kuno hingga Majapahit.

Advertising
Advertising

"Karena masyarakat Nusantara bisa mengubah Pallawa ke Jawa Kuno dan kadang bentuk aslinya tak tampak, apakah sebelumnya mereka sudah bisa menulis tapi tidak terdokumemtasi?" kata Mimi dalam diskusi "Mengenal Aksara Jawa Kuno" via aplikasi zoom yang diadakan Balai Arkeologi Yogyakarta dalam rangkaian acara Hari Purbakala 14 Juni 2020.

Baca juga: Aksara Menunjukkan Peradaban Nusantara

Dihubungi secara terpisah, Titi Surti Nastiti, ahli epigrafi Pusat Penelitian Arkeologi Nasional menjelaskan, tulisan dalam prasasti di Sumatra dan Kalimantan sama dengan di Jawa. Bedanya dalam pemakaian bahasa dan cara menulis.

"Itu aja. Nanti kita bisa tahu, ini tulisan dari Sumatra Kuno bukan Jawa Kuno," kata Titi.

Sejauh ini, bukti tradisi menulis tertua di Nusantara ditemukan di Kalimantan bagian timur dari abad ke-4, yaitu Prasasti Yupa yang dikeluarkan Kerajaan Kutai. Prasasti sezaman ditemukan di Jawa bagian barat, yaitu beberapa prasasti yang dikeluarkan oleh Kerajaan Tarumanegara. Prasasti dari Kutai dan Tarumanegara menggunakan aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta.

Baca juga: Kutai Kartanagara pada Zaman Kuno

Menurut Titi, orang-orang di Nusantara mengambil aksara Pallawa berbahasa Sanskerta karena mendatangkan para brahmana dari India. Bahasa Sanskerta hanya dikenal oleh kalangan terbatas, misalnya kaum brahmana Hindu agar ajarannya tak bocor.

"Kebiasaan menulis belum banyak. Mungkin yang pertama kali juga brahmana. Di India cuma brahmana yang bisa menguasai bahasa dan tulisan," kata Titi.

Aksara Pallawa kemudian berkembang menjadi aksara Jawa Kuno berbahasa Jawa Kuno, seperti digunakan pada prasasti Mataram Kuno, Kadiri (abad ke-12), Singhasari, hingga Majapahit. Kendati demikian, ada pula aksara Jawa Kuno berbahasa Sanskerta, seperti digunakan pada prasasti-prasasti awal Kerajaan Mataram Kuno dan Kanjuruhan.

"Lama kelamaan kita bisa menulis menggunakan aksara Jawa Kuno dan masih bahasa Sanskerta, ke sini lagi sudah berbahasa Jawa Kuno. Dari tahun 760-an mulai memakai Jawa Kuno," kata Titi.

Aksara Jawa Kuno kemudian berkembang menjadi aksara Bali Kuno (abad ke-8-13) dan Sunda Kuno (abad ke-14-16). Aksara Jawa Kuno berkembang lagi menjadi aksara Jawa Baru atau dikenal dengan hanacaraka.

Penanda Masa

Perubahan aksara yang dipakai pada masa Mataram Kuno hingga Majapahit juga mengalami perkembangan. Setiap masa memiliki gaya tulisan masing-masing. Ada aksara Kawi (Jawa Kuno, red.) awal standar yang biasanya dipakai pada prasasti masa Mataram Kuno periode Jawa Tengah, yaitu masa pemerintahan Balitung (abad ke-8 sampai ke-9) hingga abad ke-10.

"Tulisannya rapi, bagus, jelas," kata Titi.

Bentuk tulisannya berubah pada masa Mpu Sindok yang memerintah Mataram Kuno periode Jawa Timur. Tulisannya cenderung persegi.

Baca juga: Menggagas Aksara Kesatuan

Kemudian ada perkembangan bentuk aksara kwadrat. Cirinya: huruf ditulis besar, memiliki tulisan yang menonjol, dan berbentuk persegi empat. Penggunaaan aksara ini ditemukan di Jawa Timur, ada juga di Jawa Tengah dan Bali.

Menurut Titi, aksara kwadrat di Jawa sudah dikenal sejak masa Raja Dharmawangsa Tguh (991–1016 M). Meskipun demikian, gaya ini sudah ditemukan pada dinding Petirtaan Jalatunda di lereng Gunung Penanggungan dari 899 Saka (977).

Titi menjelaskan aksara kwadrat dengan detail lewat tulisannya "Perkembangan Aksara Kwadrat di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali: Analisis Paleografi", yang terbit dalam Forum Arkeologi Volume 29, Nomor 3, November 2016.

Menurut Titi, aksara kwadrat juga dipakai oleh anak-anak Udayana dan Guṇapriyadharmmapatni, penguasa Bali Kuno, yaitu Airlangga, Marakatapangkaja, dan Anak Wungsu.

Baca juga: Bali Sebelum Dikuasai Majapahit

Pada masa Airlangga di Jawa (1021–1042), aksara kwadrat ditulis dengan bentuk persegi empat tapi masih polos. Aksara kwadrat mulai diberi ornamen pada masa Anak Wungsu di Bali (1049–1077). Ini yang kemudian berkembang pada masa Kaḍiri dan dikenal dengan aksara kwadrat Kaḍiri. Aksara pada masa ini memiliki ornamen yang sudah kaya.

"Era pemerintahan Dharmawangsa Tguh masih sederhana, tapi mulai di Bali jadi ada keriting-keritingnya, biasanya hiasan. Aksara kwadrat ini termasuk yang susah dibaca karena terlalu banyak hiasan," kata Titi.

Aksara kwadrat masih digunakan di Jawa Tengah pada masa Majapahit akhir (abad ke-15), seperti ditemukan di Candi Sukuh, Candi Ceto, dan Candi Planggatan. Aksara kwadrat pada ketiga candi ini sangat berbeda dengan aksara kwadrat dari masa sebelumnya.

Pada masa Majapahit muncul gaya penulisan lain. "Gaya aksaranya beda lagi karena banyak kadewaguruan (pusat pendidikan agama, red.)," kata Titi.

Baca juga: Pencipta Aksara Perjuangan Kaum Bugis

Masing-masing periode pemerintahan memiliki penulis prasastinya sendiri. Ketika pemerintahan berubah, seorang citralekha biasanya akan ikut diganti.

"Setiap periode biasanya ganti-ganti. Informasi si penulis disebut juga di akhir prasasti, biasanya satu atau dua orang. Kecuali dalam prasasti pendek," kata Titi.

Karenanya gaya menulis aksara juga bisa menentukan kira-kira kapan prasasti itu dibuat, khususnya untuk prasasti yang tak berangka tahun. Namun, untuk memastikannya seorang epigraf akan mencari nama pejabat yang tertera pada prasasti itu.

"Itu saja tidak cukup (gaya tulisan, red.)," kata Titi. "Pas saya baca ada nama pejabatnya masa Balitung. Oh, jelas berati. Pejabatnya kan sama. Pernah juga disebutkan dalam prasasti Balitung lainnya."

TAG

aksara

ARTIKEL TERKAIT

Prasasti Damalung yang Hilang Ditemukan di Negeri Seberang Runtuhnya Kesultanan Banten Cerita Dua Arca Ganesha di Pameran Repatriasi Mengungkap Lokasi Pertempuran al-Qadisiyyah Seputar Prasasti Pucangan Liangan Bukan Permukiman Gersang Satu Rumpun Bahasa Susunan Pemerintahan VOC Cerita di Balik Repatriasi Arca Brahma Pulangnya Arca Ganesha dari Lereng Semeru