Masuk Daftar
My Getplus

Ketika Mataram Dilanda Kelaparan

Hampir dua tahun lamanya, penduduk Jawa harus menghadapi hari-hari tanpa makanan. Bencana alam dan peperangan menjadi pencetus semua itu terjadi.

Oleh: M. Fazil Pamungkas | 25 Jan 2021
Lukisan penyerangan pasukan Mataram ke Batavia (Wikimedia Commons)

Gempa yang dahsyat, banyak gunung tinggi meletus sehingga banyak desa di sekelilingnya tertutup tanah dan batu-batu besar dari gunung. Sumber-sumber air dari Gunung Merapi meluap dan airnya mengalir deras, menggenangi tanah-tanah datar selama beberapa hari. Terjadi gerhana matahari, sampai segala-galanya tidak tampak. Turunlah hujan abu, dan berbagai penyakit melanda seluruh Mataram, mengakibatkan kematian manusia dan kebinasaan kerbau serta sapi dalam jumlah yang tidak terhingga…

Begitulah gambaran bencana alam di dalam Serat Kandha, yang terjadi di hampir seluruh Pulau Jawa, terutama wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram, pada pertengahan abad ke-17. Bencana itu sampai meluluhlantakkan tatanan kehidupan rakyat di sana.

Serat Kandha menyebut jika bencana terjadi secara bertubi-tubi. Musim kering yang panjang, hujan deras, gempa, banjir, hingga gunung meletus, berlangsung secara tiba-tiba. Rakyat dibuat kewalahan karena menghadapinya tanpa persiapan. Selama hampir dua tahun lamanya (1674-1676) mereka hidup dalam kekhawatiran. Khawatir jika rentetan kejadian itu menjadi pertanda kehancuran bagi rakyat Mataram.

Advertising
Advertising

Baca juga: Pasukan Mataram Diserang Wabah Penyakit

“Lagi pula, akhir abad Jawa telah dekat. Tradisi istana Jawa memercayai suatu siklus abad-abad yang menunjukkan runtuhnya kerajaan-kerajaan pada akhir setiap abad,” ungkap sejarawan M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008.

Menurut Ricklefs, berbagai bencana yang terjadi telah menghancurkan tidak hanya tempat bernaung, tetapi juga hampir seluruh kebutuhan hidup masyarakat. Bahkan ketika sedang disibukkan dengan upaya pemulihan, rakyat kembali dibuat pusing oleh munculnya petaka lain, yakni kelaparan.

Dikisahkan H.J. De Graaf dalam Runtuhnya Istana Mataram, bencana kelaparan itu menyerang tepat setelah rentetan peristiwa terjadi. Rakyat gagal menyiapkan kebutuhan pangan mereka selama bencana. Pasokan dari luar pun tidak pernah bisa mencapai daerah-daerah yang letaknya jauh dari pesisir. Mereka pun terpaksa harus mengandalkan persediaan pangan dari dalam daerahnya, yang dijual dengan harga sangat mahal. Sehingga tidak semua orang bisa membelinya.

Mulanya bencana kelaparan itu terjadi lantaran kemarau panjang, yang menyebabkan tanaman warga tidak mendapatkan cukup air. Ditambah hasil tanam mereka diserang hama. Musim kering itu berlangsung sebelum munculnya bencana alam lain. Kemudian hujan mulai turun. Namun dalam intensitas yang terlampau besar. Akibatnya tanaman warga mati akibat tergenang oleh air.

Baca juga: Berebut Takhta Mataram Kuno

Berdasar laporan pemerintah Belanda pada akhir 1674, di Mataram sekoyan beras dijual dengan harga 25 rial. Menjelang awal tahun harga terus meningkat. Tercatat sekoyan beras di Jepara pada Maret 1675 dihargai 52 ringgit. Di Mataram bahkan sekoyan beras dijual 150 ringgit. Harga itu terus naik seiring dengan berkurangnya pasokan beras di dalam negeri. Residen pun mengungkapkan jika tidak mungkin bisa menemukan 10 liter beras di satu tempat.

“Kebayanyakan orang hidup dari akar-akar pohon, ubi, dan sebagainya. Tetapi Tuhan rupanya akan memberi kemudahan. Tanaman di seluruh daerah pedalaman tampak rimbun dan tumbuh subur, sehingga dua bulan lagi pasti akan membawa panen yang bagus. Sementara menunggu itu kekurangan pangan dan harga yang mahal masih akan terasa,” tulis De Graaf.

Namun alangkah kecewanya rakyat ketika mengetahui hasil panen mereka tidak memenuhi harapan. Bahkan mungkin terlampau buruk. Sampai-sampai Residen Belanda Jacob Couper yang mencari tahu informasi penen tersebut mengatakan: “… begitu buruk sehingga kecuali jika Tuhan berkenan menurunkan hujan, tiada harapan lagi akan panen padi yang cukup banyak di pantai timur Jawa”.

Baca juga: Perang Jawa Libur Selama Ramadan

Di sebelah timur Gresik sebenarnya panen lumayan memberi hasil. Bahkan cukup untuk dijual ke luar. Pada awal 1676, tiga kapal bermuatan beras dan minyak kelapa dari daerah itu berlayar menuju Jepara. Namun belum sempat membongkar muatan, para pedagang mendengar kabar di Batavia sekoyan beras dihargai 80 ringgit. Mereka pun segera mengangkat sauh dan berlayar menuju barat.

Pada akhir 1676 keadaan mulai menjadi baik. Beberapa wilayah di pedalaman Jawa berhasil mempertahankan panen. Hasilnya pun berlimpah, cukup untuk memasok tempat-tempat yang sebelumnya terdampak bencana kelaparan. Harga sekoyan hanya 25 ringgit, amat murah jika dibandingkan harga di permulaan tahun.

“Tetepi belum lagi orang Jawa yang malang itu sempat dapat bernapas lega kembali karena panen yang baik, perang meletus sehingga membawa malapetaka baru. Khususnya Jawa Tengah menderita sekali. Kesengsaraan ini pastilah mengguncang lahir batin. Dan karena segala penderitaan ini maka tenaga manusia di ibu kota kerajaan pada saat-saat yang menentukan justru menjadi sangat sulit,” terang De Graaf.

Baca juga: Murka Amangkurat I

Penderitaan rakyat semakin lengkap kala perselisihan di dalam keluarga kerajaan Mataram semakin meluas. Adipati Anom, putra mahkota Mataram, yang melakukan pemberontakan untuk menurunkan ayahnya (Amangkurat I) dari takhta kerajaan Mataram membuat semua wilayah bergejolak. Peperangan terjadi di banyak tempat, utamanya di pusat kerajaan Mataram dan sekitar istana.

Perselisihan ayah dan anak itu berdampak kepada semakin terpuruknya kehidupan rakyat  (sebagian besar di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur). Persediaan pangan yang dengan susah payah dikumpulkan rakyat musnah. Mereka pun kembali harus menhadapi hari-hari penuh rasa lapar. Naskah Babad Tanah Jawi, terjemahan Meinsma, menggambarkan kondisi itu sebagai “hujan yang jatuh pada waktu tidak semestinya”.

TAG

mataram bencana alam kelaparan

ARTIKEL TERKAIT

Raja Airlangga Mengembalikan Kejayaan Mataram Kuno Menggali Isi Prasasti Airlangga di Museum India Perselingkuhan Berdarah di Mataram Ketika Amangkurat I Dikhianati Jatuhnya Istana Mataram Bertahan Hidup di Tanah Bencana Hari-hari Terakhir Amangkurat I Jawa Terbelah Tiga di Salatiga Dari Bagelen ke Purworejo Murka Amangkurat I