PADA 21 Februari 1830 atau empat hari menjelang bulan puasa tiba, Pangeran Diponegoro tiba di Menoreh, pegunungan perbatasan Bagelen dan Kedu. Kedatangannya berdasarkan kesepakatan yang dibuatnya bersama Jan Baptist Cleerens, pada 16 Februari 1830, di daerah Remokamal tepi kali Cincinggoling. Cleerens adalah utusan De Kock untuk menemui Diponegoro.
Kabar kedatangan Diponegoro tercium masyarakat. Meski mendapat predikat musuh Belanda nomor wahid, masyarakat masih mengelu-elukannya. Dia datang diiringi 700 prajurit. Di sana dia tinggal di sebuah rumah besar, berdinding bambu, dan beratapkan daun kelapa. Rumah singgahnya itu terletak di sebuah kawasan tanjung, di tepi Kali Progo, yang oleh masyarakat disebut daerah Metesih.
"Pesanggrahan itu letaknya tepat di sebelah barat laut Wisma Keresidenan Kedu," kata Peter Carey dalam surel kepada Historia.
Baca juga: Tujuh kebiasaan Pangeran Diponegoro yang belum diketahui banyak orang
Di pesanggrahan itu, pengikut Diponegoro membengkak menjadi 800 orang. Sebagian besar bersenjatakan tombak. Pasukannya sekarang tampil dalam balutan sorban dan jubah hitam, pemberian Cleerens. Setiap pagi selama bulan puasa, Diponegoro beserta 800 orang prajuritnya tetap giat berlatih olah kanuragan dan menjalankan ibadah.
“Dia mempunyai suatu batu yang lebar dan lurus dekat Kali Progo untuk ngibadah (beribadah, red.),” kata Peter Carey.
Awal Maret 1830, Diponegoro berpesan kepada De Kock melalui Cleerens, bahwa selama bulan puasa dia takkan melakukan pembicaraan apapun soal perang. Jika ada pertemuan, itu pun hanya ramah-tamah biasa. De Kock menerimanya.
De Kock bahkan bermanis muka kepada Diponegoro dengan memberinya seekor kuda yang bagus warna abu-abu dan uang f10.000 yang dicicil dua kali untuk biaya para pengikutnya selama bulan puasa. Dia juga mengizinkan anggota keluarga Diponegoro yang ditawan di Yogyakarta dan Semarang, untuk bergabung dengan sang pangeran di Magelang.
Baca juga: Pusakanya dirampas Belanda, Diponegoro merasa akan mendapat bahaya
Bukan hanya De Kock yang menyambangi Diponegoro. Anggota staf senior De Kock, seperti ajudan sekaligus menantunya, Mayor F.V.H.A. de Stuers, dan Residen Kedu, Valck, sering berkunjung ke pesanggrahan Dipanegoro di Metesih sambil minta diberitahu apa saja keperluannya.
Masyarakat Kedu pun banyak yang berkunjung di pesanggrahan pangeran. Mereka banyak yang membawakannya gula Jawa, meski sebenarnya Diponegoro tak suka makanan yang manis. Dia tetap menerimanya sebagai tanda penghormatan mereka kepadanya sebagai pemimpin Jawa (lajering Jawa).
De Kock bertemu dengan Diponegoro dalam tiga kesempatan yang berbeda: dua kali saat jalan subuh di taman keresidenan dan sekali ketika dia datang sendiri ke pesanggrahan pangeran.
Baca juga: Kajian ilmuwan Belanda berhasil menjinakkan Diponegoro
Perlakuan De Kock yang manis ternyata bermuatan politis. Dia membiarkan Diponegoro menikmati jaminan keamanan semu, sembari berharap sang pangeran menyerah tanpa syarat.
“Motif dan cara tidak terhormat seperti ini tentu tidak dikatakan secara terbuka, namun dalam pandangan De Kock, apa boleh buat, tujuan menghalalkan segala cara,” tulis Peter Carey dalam Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855).
Namun, sikap manis De Kock selama bulan puasa tak dapat meruntuhkan pendirian Diponegoro. Tumenggung Mangunkusumo, mata-mata yang ditanam residen Valck dalam kesatuan Diponegoro, melaporkan bahwa Diponegoro tetap kukuh dalam niatnya untuk mendapat pengakuan sebagai sultan Jawa bagian selatan. Tapi perwira senior Belanda lain menyatakan bahwa Diponegoro sebagai ratu paneteg panatagama wonten ing Tanah Jawa sedaya (ratu dan pengatur agama di seluruh Tanah Jawa).
Baca juga: Detik-detik menegangkan saat Belanda menjebak Diponegoro
Mendengar kabar tersebut De Kock mengambil langkah tegas. Pada 25 Maret 1830, dua hari sebelum bulan puasa berakhir, dia memberi perintah rahasia kepada dua komandannya, Louis du Perron dan A.V Michels, untuk mempersiapkan kelengkapan militer guna mengamankan penangkapan sang pangeran. Gencatan senjata yang berlangsung selama Ramadan berakhir tragis: Diponegoro ditangkap pada hari kedua lebaran, 28 Maret 1830.