Masuk Daftar
My Getplus

Humor ala Bakir

Seorang penyalin dan penggubah naskah membubuhkan humor agar naskahnya laris disewa.

Oleh: Yudi Anugrah Nugroho | 18 Jun 2014
Ilustrasi pada Sair Ken Tambunan, sebuah cerita panji yang disalin oleh Muhammad Bakir pada 1897, berupa gambar seekor burung dengan tulisan syair pada bulu-bulunya. Foto: repro Katalog Naskah Pecenongan Koleksi Perpustakaan Nasional Sastra Betawi Akhir Abad ke-19.

RAWANA mengadakan pesta. Ia memberi minuman kepada raksasa, berupa “brandi dan konyak syampanye, maka sekaliannya mabuk... Maka piala yang bertatahkan ratna mutu manikam pun diisi oranglah daripada minuman arak dan brem dan anggur sampanye dan brandi konyak”.

Cuplikan adegan dalam Hikayat Sri Rama, yang disadur Muhammad Bakir bin Syafian bin Usman bin Fadli, terasa janggal bila pembaca berbekal bingkai cerita Ramayana. Naskah yang selesai disalin pada 17 Desember 1896 ini memang memuat cerita yang bersumber pada Ramayana. Namun Bakir menyisipkan kejadian aktual. Bahkan, dalam cerita wayang dan petualangan, dia memasukan nama-nama tempat di Jawa; Batavia, Gunung Gede, Muara Ancol, Muara Baru, Pasar Baru, dan Bekasi.

Tujuannya, “memberikan aspek realis, modern, dan profan kepada cerita fiksi, kuno, dan sedikit banyak sakral,” tulis Henri Chambert-Loir dalam pengantar Katalog Naskah Pecenongan Koleksi Perpustakaan Nasional: Sastra Betawi Akhir Abad-19.

Advertising
Advertising

Bakir merupakan seorang penyalin dan penggubah naskah Melayu. Dia menghasilkan 32 jilid naskah, dengan total lebih dari 6.000 halaman yang ditulis dalam kurun waktu 14 tahun. Selain itu, dia pemilik tempat penyewaan naskah (taman bacaan) yang pada abad ke-19 menjamur di wilayah Batavia. Lokasi penyewaan naskah Bakir beralamat di Kampung Pecenongan Langgar Tinggi, Gang Terunci. Gang itu kini berubah nama jadi Jalan Pintu Air V di kawasan Pecenongan.

Tak ada jejak rumah lama dan keluarga Bakir yang tersisa. “Satu-satunya Langgar Tinggi yang masih dikenal di Jakarta dewasa ini berlokasi di kawasan Pekojan di tepi kali Angke,” tulis Dumarçay & Chambert-Loir dalam “Le Langgar Tinggi de Pekojan, Jakarta”, dimuat jurnal Archipel Vol. 30.

Bakir memiliki kekhasan dalam karyanya. Salah satu ciri khas Bakir, menurut Chambert-Loir, adalah penggunaan lelucon sederhana terkadang kasar atau joroks serta efek kontras dari anakronisme (kerancuan waktu). Dalam Lakon Jaka Surkara, dia menyinggung Letusan Gunung Krakatau, Pengemis Betawi, Lapangan Gambir, Kampung Cibubur, dan Dursasana (salah satu tokoh pewayangan) yang mengharumkan tubuhnya dengan minyak Cologne.

Aspek kontras juga muncul melalui pertentangan aspek luhur nan agung dan sakral pada tokoh pewayangan dengan dunia modern sehari-hari. Dalam Hikayat Asal Mulanya Wayang, dia menampilkan Dewi Kunthi, ibu para Pandawa, “iseng-iseng maka lalu membaca kitabnya dengan suara yang keras seperti piring jatuh dari ubin.” Sementara dalam Hikayat Wayang Arjuna, Pendeta Durna “mendek-mendek lakunya seperti ayam jago mau bertelur rupanya.”

Cerita-cerita, yang digubah maupun disalin Bakir, disewakan untuk dibaca keras-keras di depan khalayak. Ongkos sewanya 10 sen sehari-semalam. Terkadang humor Bakir yang bersifat lisan atau untuk dilafalkan juga dituliskan pelafalannya. Dalam satu jilid Hikayat Sultan Taburat, bunyi-berbunyi ditulis “cak cuk cuk”, tulang patah berbunyi “kelatak kelatik kelatuk”, bunyi anak panah “serawat serawit”, bunyi adu senjata “gememprang gememprung”, dan pukulan di dada raja “kedabak kedabuk”.

Cara berbicara anak kecil dan aksen orang Tionghoa juga dimasukkan. Pada jilid lain Hikayat Sultan Taburat tersurat kisah sesosok hantu Tionghoa yang mengeluh kepada temannya bahwa calon pengantin perempuannya digaet “tukang kebiri ayam” yang menyuap ibu gadis itu, “peluntungan tiada bel-laku, bial-lah aku kawin sama orang lain saja”.

Sempalan humor yang digurat Bakir dibubuhkan di tengah cerita atau sisipan cerita. Pembubuhan ini dilakukan agar pembaca dan penikmat merasa dekat dengan cerita. Bakir yang hidup di masa transisi mengadaptasi karya sastra Melayu lama lalu menyampaikan kembali dengan gaya yang sesuai pada saat itu.

“Tujuan Bakir menggunakan perbandingan cerita dengan situasi yang berubah pada masanya bertujuan agar masyarakat tetap mau menyewa naskahnya. Dengan demikian, ia dapat mempertahankan usaha penyewaan naskahnya yang menjadi sumber penghidupannya” ujar Dewaki Kramadibrata, dosen Program Studi Indonesia di Universitas Indonesia, kepada Historia.

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Nafsu Berahi Merongrong Kamerad Stalin (Bagian I) Aksi Spionase di Balik Kematian Leon Trotsky Eks Pesindo Sukses Satu Episode Tim Garuda di Olimpiade Ibnu Sutowo dan Anak Buahnya Kibuli Wartawan Kisah Bupati Sepuh AS Kembalikan Benda Bersejarah Peninggalan Majapahit ke Indonesia Mata Hari di Jawa Menjegal Multatuli Nobar Film Terlarang di Rangkasbitung