Masuk Daftar
My Getplus

Susahnya Jadi Orang Gemuk

Orang gemuk bukan hanya menghadapi ancaman berbagai penyakit, tapi juga persepsi publik.

Oleh: M.F. Mukthi | 31 Jul 2013
Fat Men′s Clubs. Foto: www.men-in-full.livejournal.com.

ALBERT Buitenhuis, seorang juru masak asal Afrika Selatan, terancam dideportasi dari Selandia Baru gara-gara obesitas. Pejabat imigrasi menyatakan bobot tubuh Albert yang mencapai 130 kg tidak memiliki “standar kesehatan yang bisa diterima”. Berat badan Albert meningkatkan risiko diabetes, penyakit jantung, kanker, dan pelemakan hati, sehingga berdampak pada tingginya biaya pelayanan kesehatan.

Menurut BBC Indonesia (28/7), Selandia Baru merupakan negara dengan tingkat obesitas tertinggi di antara negara maju. Hampir tiga puluh persen dari populasi warganya mengalami masalah kegemukan.

Albert dan istrinya menggugat putusan Departemen Keimigrasian ke pengadilan. “Kami disamakan seperti pelaku kejahatan hanya karena suami saya gemuk,” ujar Marthie.

Advertising
Advertising

Kasus Albert mungkin masalah hukum pertama di dunia terkait kegemukan. Namun sejarah mencatat, kegemukan sudah jadi perbincangan ramai di Barat sejak lebih dari seabad silam. Menurut Derek J. Oddy dan Peter J. Atkins dalam kata pengantar bukunya, The Rise of Obesity in Europe: A Twentieth Century Food History, kegemukan punya banyak segi: sebagai fenomena ekonomi, sosial, budaya, dan fisik/medis zaman modern. Dari kegemukan pula “diet” jadi topik perbincangan sejak akhir 1800-an.

Demi alasan kesehatan, orang-orang di masa lalu mengatur pola makan agar terhindar dari kegemukan. Alkitab, yang juga menyeru manusia untuk mengendalikan nafsu makan, menjadi salah satu faktor penting yang membentuk konstruksi “tubuh ideal”. Kala itu tubuh ideal diidentikkan dengan ramping. Dengan bertubuh ramping, orang bukan hanya menjaga kesehatan tapi juga menjalankan ajaran Kristiani –Islam, yang muncul beberapa abad setelah itu, juga mengajarkan kesehatan dengan mengatur asupan makanan selain berpuasa. Ajaran tersebut bertahan hingga ke Abad Pertengahan, di mana para pemuka Nasrani kerap menganjurkan umatnya berpuasa.

Kultur Barat mengidentikkan kegemukan dengan kerakusan makan. Maka orang gemuk bisa dikategorikan pendosa, satu definisi yang dilahirkan Thomas Wright, seorang puritan Inggris abad ke-17. Menurut Wright, salah satu bentuk dosa akibat kerakusan adalah makan melebihi kebutuhan alami tubuh.

Namun, Revolusi Industri mengubah pola hidup orang Eropa. Penemuan demi penemuan mempermudah hidup seseorang. Tak perlu keluar tenaga untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Mesin siap menggantikannya. Meningkatnya kesejahteraan kelas menengah juga mengubah gaya hidup; asupan makanan meningkat, yang memicu kegemukan. Keadaan tersebut terus berlangsung hingga berganti abad, kecuali di masa perang.

Perusahaan farmasi dan kosmetik mengambil keuntungan dari kondisi tersebut. Iklan-iklan yang menggambarkan jahatnya kegemukan memenuhi ruang-ruang publik. Persepsi publik pun terbentuk bahwa obesitas merupakan “makhluk” jahat.

Kelas menengah di Amerika Serikat, antara 1890-1910, mulai berjuang melawan kegemukan. Penelitian dan berbagai cara dilakukan untuk mengatasi kegemukan. “Belum pernah terjadi sebelumnya satu hal menjadi perhatian publik secara sistematis, diet atau rasa bersalah akibat tak diet menjadi bahan pokok peningkat kualitas kehidupan pribadi, bersamaan dengan kuatnya arus ‘cap’ menjijikkan terhadap mereka yang mengidap obesitas,” tulis Peter Stearns dalam Fat History: Bodies and Beauty in the Modern West.

Konsep mengenai kegemukan terus berjalan hingga kini. Di berbagai tempat, tak terkecuali di negara-negara berkembang, orang mati-matian menghindari obesitas. Meski secara klinis berbahaya, kegemukan juga memakan korban lain di luar konteks kesehatan. Albert hanyalah satu dari jutaan orang yang mengalami diskriminasi akibat kegemukan. Kegemukan, ujar Sander Gilman dalam Fat: A Cultural History of Obesity, menjadi target kampanye kesehatan masyarakat dan mendorong pemikiran ulang secara global.

“Kampanye yang mulanya terhadap lemak, lalu memperoleh bentuk pada 1900-an, akan tampak jinak bila dihadapkan pada standar hidup akhir abad ke-20, tapi hal itu membentuk budaya secara mendasar,” tulis Peter Stearns.

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Johny Pardede dari Sepakbola hingga Agama Tuah Guru Soeharto Muhammadiyah dan Musik Sengkarut Tragedi Sekjen PBB di Tengah Misi Perdamaian Om Genit Mata Keranjang Raja Jacob Ponto Dibuang ke Cirebon Ali Alatas Calon Kuat Sekjen PBB Mempertanyakan Solusi Dua Negara Israel-Palestina Dari Grand Tour ke Study Tour Guru Soeharto