KRISIS Kongo yang pecah sejak 5 Juli 1960 mengharuskan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) turun tangan. Sekjen PBB Dag Hammarskjöld lalu mengirim misi ONUC atau Operasi PBB di Kongo.
Krisis di Kongo dipicu perang saudara antara pihak pemerintah Kongo dan separatis Katanga di bawah Moïse Tshombe. Seiring keluarnya Resolusi 143 Dewan Keamanan PBB pada 14 Juli 1960, elemen militer Belgia yang tersisa pasca-kemerdekaan Kongo (30 Juni 1960) diperintahkan mundur dari Kongo. Kontingen pasukan misi perdamaian ONUC lantas dibentuk dari gabungan militer Irlandia, India, Federasi Malaya (kini Malaysia) , Indonesia, Italia , Ethiopia, Ghana, Mesir, Nigeria, dan Swedia. Total berkekuatan sekira 20 ribu personel.
Menukil laman PBB, pasukan ONUC diminta keterlibatannya oleh Presiden Kongo Joseph Vasa-Kubu untuk membantu memulihkan keamanan dan mencegah gangguan militer asing yang menyokong separatis Katanga. Pasukan ONUC didatangkan berangsur-angsur dalam sembilan kontingen sejak Mei di bawah Panglima ONUC Mayjen Carl van Horn dari Swedia. Untuk urusan sipilnya di lapangan, Hammarskjöld mempercayakannya kepada diplomat Irlandia Connor Cruise O’Brien sebagai perwakilan khusus.
Yang menjadikan situasinya problematik adalah “efek samping” dari Operasi Morthor pada 13 September 1961. Operasi itu lanjutan dari misi serupa dalam Operasi Rumpunch (28 Agustus 1961) di Élisabethville atas perintah sekjen PBB yang dilancarkan untuk menangkapi para perwira kulit putih dan tentara bayaran yang menyokong Gendarmerie Katanga. Bedanya, Operasi Morthor diinisiasi O’Brien tanpa berkonsultasi dengan sekjen PBB.
Baca juga: Rais Abin, Panglima Perdamaian Dunia
Namun, Operasi Morthor itu tak berjalan damai seperti halnya Operasi Rumpunch. Operasi Morthor memantik tembak-menembak pertama antara pasukan PBB dengan separatis Katanga yang menewaskan 13 personel pasukan PBB dan 200 warga sipil serta serdadu separatis Katanga. Akibatnya pasukan separatis Katanga membuat perhitungan terhadap pasukan PBB lain, tepatnya Kompi A, Batalyon ke-35 Angkatan Darat Irlandia.
Pasukan Irlandia yang berbasis di Jadotville dan hanya berkekuatan 155 prajurit pimpinan Mayor Patrick Quinlan itu dikepung lebih dari tiga ribu pasukan separatis Katanga dan tentara bayaran Belgia, Prancis, dan Rhodesia sepanjang 13-17 September 1961. Situasinya makin runyam bagi PBB setelah tersiar kabar bahwa pesawat charter Transair Sweden SE-BDY yang ditumpangi Hammarskjöld jatuh di Ndola, Rhodesia (kini Zambia) sehari pasca-pasukan Irlandia itu disandera usai Pengepungan Jadotville itu.
Krisis Pasca-Kematian Sekjen PBB
Sekjen PBB Dag Hammarskjöld memutuskan datang ke Kongo menyusul keberhasilan Operasi Rumpunch. Ia lantas menjadwalkan pertemuan demi menegosiasikan gencatan senjata dengan Moise Tshombe di Ndola, Rhodesia pada 17 September 1961.
Pesawat DC-6 milik maskapai Transair Sweden yang membawa Hammarskjöld dari New York, sempat transit di Ghana, sebelum akhirnya tiba di Bandara N’Djili di Léopoldville, Kongo pada 13 September 1961 petang. Hammarskjöld baru mendengar soal rencana Operasi Morthor dari O’Brien saat masih transit di Ghana.
“Hammarskjöld mendarat di Léopoldville pada 13 September sesuai jadwal (pukul 2 siang, red.), beberapa jam setelah Operasi Morthor dimulai. Para menteri Kongo menyambutnya di landasan pacu, termasuk perdana menteri yang baru, Cyrille Adoula yang sesumbar bahwa separatisme Katanga telah berakhir berkat bantuan (PBB). Hammarskjöld sendiri menolak berkomentar soal itu kepada pers yang turut hadir,” tulis Ravi Somaiya dalam Operation Morthor: The Death of Dag Hammarskjöld and the Last Great Mystery of the Cold War.
Baca juga: Membuka Borok PBB di Bosnia
Malamnya, Hammarskjöld baru mendengar kabar tentang kacaunya Operasi Morthor dan kemelut dalam Pengepungan Jadotville. Makanya ia meminta pertemuan dengan Tshombe di luar Kongo, tepatnya di Ndola, Rhodesia Utara yang masih merupakan protektorat Inggris.
Ia pun berangkat lagi dengan pesawat yang sama dari Léopoldville bersama 10 penumpang lain dan lima kru. Menukil laporan PBB tanggal 19 September 1961 bertajuk “Special Report on the Fatal Flight of the Secretary-General’s Aircraft”, ke-10 penumpang yang menemani Hammarskjöld yakni Heinrich A. Wieschoff (direktur Departemen Politik dan Dewan Keamanan), Vladimir Fabry (penasihat istimewa ONUC), William Ranallo (ajudan pribadi Sekjen PBB), Alice Lalande (Sekretaris Kantor ONUC), Sersan Harold M. Julien (Plt. Kepala dinas keamanan ONUC), Sersan Serge L. Barrau (perwira ONUC), Sersan Francis Eivers (penyidik ONUC), serta Serma S.O. Hjelte dan Prajurit P.E. Persson sebagai pengawal sekjen PBB.
Akan tetapi, menurut laporan yang sama, pesawat itu dilaporkan oleh beberapa saksi mata terbakar di udara sekira pukul 1 dini hari 18 September 1961. Pesawat itu kemudian jatuh di tengah hutan sekira 15 kilometer sebelah barat Bandara Ndola.
Dari 16 orang di pesawat itu, ungkap Susan Williams dalam Who Killed Hammarskjöld? The UN, the Cold War, and White Supremacy in Africa, hanya Julien penyintasnya. Ia mengalami luka bakar di separuh tubuhnya dan mengalami retak pada tulang tengkoraknya. Julien akhirnya nyawanya juga tak terselamatkan setelah lima hari dirawat intensif.
Sengkarut soal penyebab kecelakaan makin kusut lantaran terdapat perbedaan hasil laporan, baik dari Komisi Investigasi PBB maupun Dinas Investigiasi Rhodesia. Dinas Investigasi Rhodesia berkesimpulan, kecelakaannya disebabkan human error pada pilot Kapten Per Hallonquist, kopilot Lars Litton, dan teknisi Nils Göran Wilhelmsson.
Baca juga: Black Hawk dalam Oktober Kelabu
Sementara, laporan investigasi PBB menyimpulkan, kemungkinan serangan eksternal. Toh menurut kesaksian Julien sebelum tewas dalam perawatan, terjadi beberapa ledakan sebelum pesawat itu jatuh.
“Dag Hammarskjöld sedang berada pada titik untuk mencapai sesuatu saat mereka membunuhnya. Camkan kata-kata saya, ‘saat mereka membunuhnya,’” tutur Presiden Amerika Serikat Harry S. Truman, dikutip Williams.
Siapa “mereka” yang disebutkan Truman sendiri masih samar. Spekulasi tentang kematian Hammarskjöld karena pembunuhan pun menguat walau sampai saat ini belum bisa dibuktikan pihak mana pelakunya.
Kematian Hammarskjöld mengakibatkan tampuk kepemimpinan PBB kosong. DK PBB mesti segera mencari suksesornya, mengingat padatnya agenda PBB di tengah “panasnya” Perang Dingin.
“Karena kematian Hammarskjöld yang tiba-tiba, tidak ada kampanye lanjutan dari pihak lain sebelum mencari sekjen baru secara formal. Sebelum tewasnya Hammarskjöld, Uni Soviet sempat mengusulkan skema troika dengan sistem triumvirat kepemimpinan,” tulis Bernard J. Firestone dalam artikel “U Thant, 1961-1971” yang termaktub dalam The UN Secretary-General and the Security Council: A Dynamic Relationship.
Persoalan suksesi mencari pengganti Hammarskjöld, tulis suratkabar The New York Times edisi 26 September 1961, juga menjadi persoalan konstitusional lantaran Piagam PBB tidak menyebutkan soal suksesi pejabat sekjen. Amerika dan Inggris berargumen bahwa Majelis Umum bisa bertindak sendiri untuk mencari figur yang meneruskan masa jabatan Hammarskjöld. Beberapa negara Eropa mengusulkan pemegang jabatan penggantinya tidak bisa disebut sebagai plt. sekjen karena pemilihannya harus dilakukan di DK PBB. Uni Soviet, India, Irlandia, dan beberapa negara Skandinavia mengusulkan suksesor Hammarskjöld tetap harus dipilih via DK PBB.
Baca juga: Ali Alatas Calon Kuat Sekjen PBB
Beberapa calonnya lantas muncul di DK PBB. Antara lain Mongi Slim dari Tunisia, U Thant dari Burma (kini Myanmar), dan Frederick Boland dari Irlandia –walau kemudian ia batal mencalonkan diri. U Thant kemudian menjadi kandidat terkuat, yang didukung banyak anggota PBB yang juga anggota Gerakan Non-Blok.
Intrik politik, utamanya di antara Soviet dan Amerika mengemuka, sampai terjadi beberapa kali negosiasi antara Valerian Zorin (duta besar Soviet untuk PBB) dan Adlai Stevenson (duta besar Amerika untuk PBB). Baru pada 29 September 1961 keduanya bersepakat pada dua hal: Soviet urung memaksakan usul skema troika dan Amerika batal menyokong Slim dalam persaingannya dengan U Thant.
Dalam pertemuan tertutupnya pada 3 November 1961, DK PBB akhirnya mengadopsi Resolusi 168 untuk merekomendasikan U Thant ke Majelis Umum. Di hari yang sama, Majelis Umum menerima rekomendasi DK PBB lewat hasil voting 103 anggota menerima tanpa satupun yang menolak atau abstain. U Thant pun resmi mejabat Plt. Sekjen PBB yang meneruskan masa jabatan Hammarskjöld hingga 10 April 1963.