Salah satu momen bersejarah bagi Indonesia dalam kancah internasional terjadi pada 30 September 1960. Saat itu berlangsung Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-15. Presiden Sukarno menyampaikan pidato monumental berjudul “To Build The World Anew” (Membangun Dunia Kembali). Pidato itu disebut-sebut sebagai salah satu pidato terbaik yang pernah dikemukakan dalam forum tertinggi organisasi PBB dan layak diajukan menjadi warisan ingatan dunia (Memory of World).
“Pidato Bung Karno di PBB adalah akumulasi dari pemikiran dan gagasan sejak sebelum Indonesia merdeka,” kata sejarawan Asvi Warman Adam dalam diskusi terpumpun “Arsip Sukarno: To Build The World Anew sebagai Memory of The World (MoW)” yang diselenggarakan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), 23 April 2020.
Menurut Asvi, pidato Sukarno itu mempunyai keunggulan dibandingakan dengan pidato pemimpin dunia yang lain. Bukan hanya menggugat kolonialisme tapi Sukarno juga mengkritik PBB yang tidak mewakili secara global. Bung Karno mengangkat negara besar seperti Republik Rakyat Tiongkok yang belum tergabung sebagai anggota. Begitu pula konflik yang terjadi di Aljazair, Korea, dan Vietnam. Dia juga menyoal Irian Barat yang belum dikembalikan kolonialis Belanda.
Baca juga: Sukarno dan Gebrakan 30 September
Namun yang terpenting, Sukarno menawarkan Pancasila sebagai solusi dari berbagai persoalan maupun krisis yang terjadi di dunia pada saat itu. Menariknya, Sukarno menempatkan nasionalisme sebagai sila kedua. Asvi menafsirkan bahwa itu bukanlah kekeliruan penerjemah semata namun Sukarno punya tujuan khusus sehubungan dengan pidatonya disampaikan di luar negeri.
“Bahwa nasionalisme itu sangat penting untuk mengarahkan kemerdekaan, sehingga ditempatkan lebih dulu dari internasionalime dan kemanusiaan,” jelas Asvi. “Itulah sebabnya nasionalisme disebutkan sebagai sila kedua (setelah sila Ketuhanan).”
Pada awal pidatonya, Sukarno mengutip kitab dari dua agama besar: Islam dan Kristen. Dari Al Qur'an dan Injil, menurut Bonnie Triyana, Sukarno ingin menarik aspek kesetaraan dan kemanusiaan. Selain itu, Sukarno tidak sebatas tampil sebagai orang Indonesia melainkan mewakili dunia Timur. Suatu gambaran bangsa yang pada abad 20 mulai memerdekakan dirinya dari penidasan kolonialisme.
“Sukarno menampilkan dirinya sebagai orang Timur kebanyakan yang seringkali dipresentasikan dalam bentuk objek pameran oleh bangsa Barat pada masa kolonialisme,” kata Bonnie, pemimpin redaksi majalah sejarah Historia.
Baca juga: Membaca Sejarah Bangsa dari Arsip Sukarno
Terkait dengan isi pidato, Bonnie menyoroti sosok Sukarno bukan hanya sebagai ideolog yang jago retorika namun dia juga turut beraksi di lapangan. Ketika mengangkat kasus perjuangan Aljazair di PBB, Sukarno sudah lebih dulu mewujudkan dukungannya secara konkret. Pada 1956, Sukarno membantu National Front Liberation Aljazair lewat perwakilannya di Jakarta bernama Lakhdar Brahimi berupa rumah yang terletak di Jalan Serang, Menteng. Bonnie menyitir pula kisah Nelson Mandela - pejuang kemanusian Afrika Selatan penerima Nobel perdamaian – yang sempat dilatih kemiliteran oleh National Front Liberation Aljazair yang dananya disponsori Sukarno. Hal ini menjadikan figur Sukarno sangat terkenal di beberapa negara Afrika.
Dari perspektif politik luar negeri, pidato Sukarno merupakan momentum penting bagi diplomasi Indonesia. Pidato itu menonjolkan Indonesia sebagai penggalang solidaritas antar negara-negara yang baru merdeka di tengah ketegangan Perang Dingin. Menurut Riefki Muna, peneliti politik LIPI, substansi pidato Sukarno berupaya membangunkan kesadaran dunia atas realitas dunia internasional yang masih diwarnai dengan eksploitasi kolonialisme.
“To Build The World Anew memberikan dasar intelektual, visi, dan pondasi bagi berkembangnya norma-norma kemanusiaan pada tingkat dunia yang memperjuangkan kemerdekaan dan anti penindasan yang berlaku di seluruh bangsa-bangsa tanpa terkecuali,” kata Riefki Muna.
Baca juga: Arsip Konferensi Asia Afrika Menjadi Warisan Ingatan Dunia
Duta arsip Indonesia, Rieke Dyah Pitaloka menyatakan sangat setuju apabila pidato Sukarno menjadi memori dunia. Menurut Rieke pengakuan terhadap gagasan Sukarno mengandung nilai-nilai universal yang masih relevan dengan keadaan dunia saat ini. Sebagai contoh, dalam pidatonya Sukarno menentang negara-nagara maju mengggunakan bom atom dan hidrogen karena membahayakan umat manusia. Demikian pula yang terjadi kekinian bila dikaitkan dengan isu global perlombaan senjata yang merambah pada senjata kimia penyebab wabah.
Sejak 2018, pihak ANRI telah menominasikan pidato Sukarno “To Build The World Anew” untuk diajukan kepada UNESCO sebagai arsip warisan ingatan dunia. Rekam memori pidato ini terdiri atas 27 lembar arsip kertas, 2 arsip foto, dan 5 rol arsip film berdurasi 37 menit. Sebanyak tujuh negara telah menyatakan dukungannya, antara lain: Belanda, Singapura, Vietnam, Laos, Filipina, Serbia, dan Aljazair.
“Pidato Sukarno ini sesungguhnya memiliki peran serta keterlibatan internasional yang layak sebagai Memory of World UNESCO,” kata Mego Pinandito Ketua Komite Nasional Indonesia untuk UNESCO (KNIU). “Hal inipun semakin membuat kita yakin bahwa Bung Karno bukan hanya milik Indonesia tetapi juga milik dunia.”