Masuk Daftar
My Getplus

Sukarno dan Gebrakan 30 September

Bagaimana Presiden Sukarno menawarkan Pancasila sebagai dasar persatuan antar bangsa-bangsa di forum PBB.

Oleh: Martin Sitompul | 10 Okt 2019
Presiden Sukarno ketika berpidato dalam Sidang Majelis Umum PBB XV didampingi ajudannya, Mangil Martowidjojo. Foto: gettyimages.

BAHASA Indonesia akan menjadi bahasa pengantar resmi dalam berbagai forum dunia. Gebrakan ini diresmikan oleh Presiden Joko Widodo setelah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 63 tahun 2019. Salah satu isi Perpres tersebut menerangkan tentang kewajiban para pejabat negara menggunakan Bahasa Indonesia dalam pidatonya di berbagai forum baik nasional maupun internasional. Jokowi meneken Perpres ini pada 30 September 2019.

Jokowi seolah mengikuti jejak pendahulunya, Presiden Sukarno. Tepat pada tanggal yang sama (30 September), tahun 1960, Bung Karno “menggebrak” Sidang Majelis Umum PBB ke-15. Pada forum tertinggi organisasi dunia itu, Sukarno mengecam PBB sebagai lembaga yang macet dan gagal menjalankan fungsinya. PBB yang seyogianya bersikap netral menurut Sukarno lebih terikat kepada konsepsi blok Barat.

“Selama lima belas tahun ini Barat telah mengenal perdamaian, atau sekurang-kurangnya ketiadaan perang. Kami di Asia tidak pernah mengenal keadaan damai! Setelah perdamaian di Eropa, kami merasai akibat bom-bom atom,” ujar Sukarno dalam pidatonya yang berjudul “To Build a World Anew” (Membangun Dunia Kembali) yang terhimpun dalam kumpulan pidato  Pancasila dan Perdamaian Abadi.

Advertising
Advertising

Baca juga: Sukarno Tantang PBB

Untuk memperkuat argumentasinya, Sukarno merujuk konflik bersenjata yang terjadi di Vietnam, Korea, dan Aljazair. Saat itu negara-negara tersebut tengah dilanda gejolak akibat intervensi asing. Campur tangan pihak pihak ketiga ini oleh Sukarno diterjemahkan sebagai wujud kolonialisme model baru (nekolim).

Namun yang paling mencengangkan adalah gagasan Sukarno untuk mencantumkan Pancasila ke dalam piagam PBB. Menurut Sukarno piagam PBB sudah ketinggalan zaman untuk memecahkan persoalan-persoalan dunia. Tanpa ragu-ragu, Sukarno menguraikan filosofi Pancasila di hadapan para pemimpin dunia yang hadir dalam sidang. Sukarno menganjurkan agar nilai-nilai dari dasar negara Indonesia itu diterima oleh semua anggota PBB.

“Saya yakin, ya, saya yakin seyakin-yakinnya bahwa diterimanya kelima prinsip itu dan mencantumkannya dalam piagam, akan sangat memperkuat Perserikatan Bangsa-Bangsa. Saya yakin, bahwa Pancasila akan menempatkan Perserikatan Bangsa-Bangsa sejajar dengan perkembangan terakhir dari dunia,” kata Sukarno penuh keyakinan.

Baca juga: Menimbang Tafsir Bung Karno

Selain mempromosikan Pancasila, Sukarno juga memperkarakan markas PBB yang berlokasi di New York, Amerika Serikat. Menurutnya, New York bukan tempat yang tepat karena berada di salah satu negara adikuasa. Sukarno menyarankan agar markas PBB dipindahkan ke Jenewa atau negara Asia-Afrika yang lebih netral. Tidak lupa pula Sukarno mengangkat kepentingan nasionalnya dalam sidang. Sukarno menegaskan bahwa toleransinya atas Irian Barat sudah hampir habis. Kegagalan PBB dalam menengahi sengketa ini berarti pemakluman atas tindakan imperialisme Belanda.    

Pidato itu menurut Ganis Harsono, juru bicara departemen luar negeri yang menyaksikan orasi Sukarno, padat isi, tajam dalam argumentasi, dan bulat keyakinannya. Pidato ini merupakan satu pidato politik dari berbagai persoalan yang diperas ke dalam 70 halaman. Semuanya berhubungan langsung dengan Majelis Umum PBB.

“Sebuah pidato yang paling kontroversial yang pernah disampaikan di hadapan Sidang Majelis Umum PBB,” tulis Ganis dalam Cakrawala Politik Era Sukarno.    

Baca juga: "Say Cheese, Mr. Aidit!"

Mangil Martowidjojo, ajudan yang sering mendampingi Sukarno saat berpidato, mengenangkan pengalaman takjub yang serupa. Dalam Kesaksian Tentang Bung Karno 1945-1967, Mangil ingat betul sejak Sukarno memasuki ruang sidang riuh tepuk tangan silih berganti menyambut. Para pemimpin dunia yang kumpul di markas PBB hari itu terkesima menyaksikan Sukarno berpidato.

Sejarawan Peter Kasenda menyitir pendapat pakar hubungan internasional Michael Leifer mengatakan gagasan yang termuat dalam pidato Sukarno sebenarnya telah berpikir satu dekade lebih cepar dari zamannya. "Untuk itu, tidak usah heran kalau Dr. Soedjatmoko, cendekiawan nomor satu yang dimiliki oleh Republik ini mengatakan bahwa Sukarno adalah seorang visioner," tulis Peter dalam Bung Karno Panglima Revolusi

Tepuk tangan kembali mengiringi Sukarno saat memungkasi pidatonya. Karena begitu terkesan, Perdana Menteri Inggris Harold Macmillan sampai menyempatkan diri mendatangi Bung Karno yang menginap di Hotel Waldorf Astoria. Kunjungan kehormatan yang sama juga dilakukan oleh pemimpin Kamboja, Pangeran Norodom Sihanouk.      

Baca juga: Tahi Gajah Pangeran Kamboja

 

 

 

TAG

sukarno pbb jokowi

ARTIKEL TERKAIT

Guyonan ala Bung Karno dan Menteri Achmadi Pejuang Tanah Karo Hendak Bebaskan Bung Karno Rencana Menghabisi Sukarno di Berastagi Supersemar Supersamar Yang Tersisa dari Saksi Bisu Romusha di Bayah Kemaritiman Era Sukarno Obrolan Tak Nyambung Sukarno dengan Eisenhower D.I. Pandjaitan Dimarahi Bung Karno Anak Presiden Main Band Gaza dalam Lintasan Sejarah