SORE itu, ibu-ibu Nogotirto sudah berkumpul. Pakaian mereka necis. Harum semerbak parfumnya memenuhi ruang tamu. Mereka bersepuluh. Harus tunggu separuh lagi agar arisannya bisa dimulai.
“Ini kurang gulanya, ndak nanti disangka adoh seko Madukismo (nanti disangka jauh dari Madukismo, red),” ujar Sinta Heristyarini, si empunya rumah. Dia masih berkutat di dapur bersama putrinya menyiapkan 20 gelas teh manis hangat. Sebelumnya, gelas-gelas itu sudah diisi satu sendok makan gula pasir.
“Kalau di sini (Yogyakarta, red.) harus manis,” katanya lagi.
Mandukismo yang dimaksud Sinta adalah pabrik gula di Kasihan, Bantul. Letaknya sebelas kilometer ke selatan dari Kelurahan Nogotirto, di mana arisan itu berlangsung.
Ungkapan “jauh dari Madukismo” memang lazim diucapkan masyarakat sekitar untuk suguhan yang kurang manis. Namun, bagi masyarakat ungkapan ini dianggap sebagai sindiran. Maka, Sinta pun mengaduk satu sendok makan gula pasir lagi di setiap gelas belimbing teh hangat itu.
Keberadaan pabrik gula sedikit banyak mempengaruhi kesukaan wong Jawa pada rasa manis. Tapi sebelumnya didahului sistem tanam paksa di Jawa pada 1830. Gubernur Jenderal Van der Bosch memberlakukan tanam paksa karena Belanda menghadai masalah keuangan akibat Perang Diponegoro. Untuk mengatasi dana yang menipis, Jawa Barat diwajibkan menanam kopi. Sementara Jawa Tengah dan Jawa Timur menanam tebu. Sekitar 70 persen tanah pertanian diubah menjadi ladang tebu yang berdampak bencana kelaparan di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Murdijati Gardjito, profesor dan peneliti di Pusat Kajian Makanan Tradisional Pusat Studi Pangan dan Gizi Universitas Gajah Mada, menjelaskan apa yang terjadi di masa lalu itu mengakibatkan perbedaan kebiasaan dalam mengkonsumsi teh antardaerah di Jawa. Pada abad 19, di daerah Priangan ditanam perkebunan teh hingga maju. Namun, Kompeni menipu rakyat Priangan. Mereka mengekspor teh berkualitas baik. Sementara pribumi hanya disisakan gagang teh untuk dikonsumsi.
“Ya, mereka akhirnya tahunya teh seperti itu. Gagang teh dikasih air panas. Ya, sudah itu teh. Teh di sana (Jabar, red.) makanya tawar,” paparnya.
Sebaliknya, orang Belanda kemudian menyadari, lahan di Jawa Tengah dan Jawa Timur baik untuk padi dan tebu. Setelah memerintahkan penanaman tebu, pabrik gula pun banyak didirikan.
“Sehingga orang Jateng dan Jatim itu kenal gula lebih baik daripada orang Jabar,” kata Murdijati.
Namun, di balik itu, sesungguhnya tingkat kemampuan indra pencecap merasakan sesuatu juga bersifat alamiah. Murdijati menjabarkan, ada yang disebut sensory threshold atau ambang batas indra pencecap yang dimiliki manusia. Dalam hal ini, orang Jawa Tengah memiliki threshold terhadap rasa manis yang lebih tinggi. Mereka sanggup merasakan manis pada konsentrasi gula yang lebih tinggi dibandingkan, misalnya orang Jawa Barat dan Jawa Timur. Adapun orang Jawa Timur memiliki threshold terhadap garam yang tinggi. Maka, masakannya pun cenderung asin.
“Ini soal fisiologi, terbentuknya indra. Selain karena gen, threshold ini kemudian bisa dibentuk karena lingkungan tadi,” lanjut Murdijati.
Uswatun Hasanah, Dede R. Adawiyah, dan Budi Nurtama, peneliti dari Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor mencoba mempelajari pengaruh perbedaan kultur asal dan gender terhadap penerimaan dan ambang deteksi rasa manis. Mereka menggunakan responden sebanyak 90 orang mahasiswa baru (tingkat satu) IPB dari etnis Minang (Sumatera Barat), Jawa (Jawa Tengah) dan Nusa Tenggara, yang direkrut melalui Organisasi Mahasiswa Daerah.
Kesimpulan penelitian agak berbeda. Responden suku Minang memberikan rata-rata skor penilaian tertinggi pada teh dengan konsentrasi gula 12.5%. Sedangkan responden dari Nusa Tenggara dan Jawa memberikan rata-rata skor penilaian tertinggi pada teh dengan konsentrasi gula 10%. Setelah mencapai skor maksimum, grafik skor kesukaan suku Minang dan Nusa Tenggara masih cenderung tinggi pada kisaran 7 (agak suka), sedangkan grafik skor kesukaan suku Jawa cenderung menurun ke kisaran skor 6 (sedikit suka). Dengan demikian, dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa responden dari Sumatera Barat (Minang) memiliki preferensi intensitas rasa manis yang lebih tinggi daripada responden dari Jawa Tengah dan Nusa Tenggara.
“Hasil penelitian ini berlawanan dengan anggapan yang sekarang dianut oleh masyarakat luas yaitu meyakini bahwa orang yang berasal dari suku Jawa (Jawa Tengah) memiliki preferensi intensitas rasa manis lebih tinggi dari suku lainnya,” demikian laporan penelitian berjudul “Preferensi dan Ambang Deteksi Rasa Manis dan Pahit: Pendekatan Multikultural dan Gender” yang dimuat dalam Jurnal Mutu Pangan, Volume 1 edisi 1 April 2014.
Indonesia merupakan negara multikultural. Masing-masing suku atau etnis memiliki kebiasaan makan dan preferensi rasa manis yang berbeda pada makanan yang dikonsumsinya. “Kalau saya di rumah aslinya tidak suka terlalu manis. Satu sendok saja cukup. Tapi kalau suguhan mesti manis,” kata Sinta sebelum mengantar senampan teh manis hangat ke ruang tamu.