FILM ini dibuka dengan sebuah adegan yang sedikit mengganjal hati: Jaya (Tio Pakusadewo), eksil yang bermukim di Praha, masih harus bekerja pada usia senja. Tapi baiklah, mungkin latar belakang periode film ini menceritakan ketika Jaya masih berusia di bawah 60 tahun, usia pensiun sebagaimana umumnya warga di Ceko yang lahir sebelum 1950, berdasarkan peraturan yang dibuat oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Sosial di Republik Ceko, Ministerstvo práce a sociálních vÄ›cí.
Maka, sosok Jaya pun digambarkan silih berganti: ulang-alik antara lelaki gagah perkasa dan seorang renta yang dimakan usia. Penggambarannya sebagai lelaki tua terlihat ketika pinggangnya keseleo saat mengikuti gerakan menari dan berjalan tertatih ditopang tongkat. Selain tentu saja uban kelabu yang menghiasi rambutnya.
Dari tempat kerjanya di gedung opera, Jaya menjemput Bagong, anjing kesayangannya. Bersama anjing jenis labrador retriever itu, Jaya berjalan tanpa bantuan tongkat. Entah tertinggal di mana tongkatnya. Pada adegan berikutnya, selang seling tongkat itu kadang digunakan, kadang tidak. Kalau penggambaran sosok di dalam film membutuhkan konsistensi, inilah kekhilafan pertama dari film besutan Angga Dwimas Sasongko, sutradara muda yang sedang berkemilau namanya itu.
Adegan lain yang cukup mengganjal adalah saat Larasati (Julie Estelle) tertidur di sofa, sementara Jaya setengah sadar karena mabuk, memandanginya seraya duduk. Bayangannya lari ke wajah Sulastri (Widyawati), kekasih Jaya di masa lalu, ibu kandung Larasati. Alih-alih wajah Lastri muda yang muncul dalam lamunan Jaya, malah Lastri tua yang hadir pada rupa Larasati. Seakan-akan Jaya merekam ingatannya terhadap Lastri dalam keadaan terkini: seorang ibu yang tak lagi muda sebagaimana yang ditemuinya dua puluh tahun sebelumnya.
Seperti ranjau yang tak tentu tempatnya, film ini dipenuhi kejutan. Satu contoh insiden permen merk kiss, buatan Indonesia, yang dituangkan ke dalam jambangan kaca pada sebuah bar di kota Praha. Tapi untungnya keberadaan permen itu punya penjelasan: tergambar dalam dialog antara Dewa (Rio Dewanto) dengan Larasati (Julie Estelle) tentang kopi kesukaan Jaya asal Indonesia yang dibawa oleh kawan Dewa dari Jakarta. Dengan kata lain bisa jadi permen itu juga datang sebagai buah tangan.
The devil is in the detail, detil memang serupa iblis. Persis kerikil dalam sepatu. Biar kecil tapi mengganggu. Tentu ini kabar buruk untuk film Surat dari Praha. Lantas apa kabar baiknya? Film yang hampir sepenuhnya berlokasi di Praha itu punya gambar yang menawan. Mungkin karena kemampuan juru kameranya atau pula karena kota tua di Eropa timur itu memang indah. Yang pasti gabungan kesemua itu menimbulkan kesan kuat pada film.
Syair-syair lagu karya Glenn Fredly yang dinyanyikan memberikan nuansa romantisme yang kuat, tanpa harus menjadi film musikal yang mendayu-dayu sendu. Dialog antar pemain, terutama Jaya dengan Larasati, cukup mengesankan sehingga film ini tak perlu flashback untuk menggambarkan apa yang terjadi pada hidup Jaya setelah kudeta 1 Oktober 1965 terjadi di Jakarta. Lewat mulut Jaya, bingkai besar riwayat pergolakan politik era Sukarno ke Soeharto bisa membantu pemahaman penonton yang ahistoris dan kesulitan melekatkan kisah percintaan yang terhalang karena politik ini.
[pages]Gagasan besar dalam kisah kelam sejarah peristiwa 1965 berselubung cerita cinta ini adalah tentang keadilan yang pincang. Menyampaikan kepada semua penontonnya bahwa pada suatu masa pernah ada sepasang kekasih harus putus tanpa alasan jelas kecuali karena kekuasaan Soeharto yang anti-komunis, yang menghabisi siapapun yang dianggap pendukung PKI dan Presiden Sukarno.
Mungkin bagi sebagian generasi muda di masa kini, sulit untuk membayangkan kesengsaraan memadu kasih terpisah jarak. Terlebih di zaman ini, di saat hubungan LDR, Long Distance Relation (hubungan jarak jauh), begitu kata anak muda sekarang, bisa tetap terjalin dengan bantuan perangkat komunikasi dan segala macam rupa medium lainnya, mulai media sosial sampai skype.
Pada masa itu berkirim surat pun menjadi sebuah kemewahan yang riskan. Sebagaimana yang terjadi pada hubungan Jaya dengan Sulastri. Sehingga Jaya baru mengabari keberadaannya kepada Lastri berpuluh tahun kemudian setelah menghilang tak tentu kabar. Tapi takdir memang tak bisa ditolak: Lastri sudah jadi istri orang, beranak satu dari hasil pernikahannya. Cintanya pada Jaya memang tak pernah padam, bersemayam dalam hatinya.
Kisah percintaan begini bukan isapan jempol belaka. Banyak eksil yang bermukim di luar negeri bertahan hidup melajang atas nama cintanya yang tak pernah kesampaian. Ada pula kisah sepasang suami istri yang terpaksa harus hidup terpisah puluhan tahun tanpa pernah saling mengetahui nasib masing-masing namun akhirnya bertemu ketika Soeharto berhenti jadi presiden dan Indonesia memasuki babak reformasi.
Selain menghibur, film ini juga memenuhi panggilannya sebagai narasi pengimbang versi sejarah yang pernah dibuat oleh rezim Soeharto. Kalau boleh bikin batas minimum, paling tidak film ini sukses menyuguhkan wacana tentang kejahatan serius kemanusiaan yang terjadi pada kurun tahun 1965-1966 ke hadapan penontonnya yang sebagian besar datang dari kalangan muda.
Sutradaranya sendiri mengaku pembuatan film ini berangkat dari keprihatinan dia terhadap pengetahuan sejarah anak-anak muda tentang peristiwa 1965 yang sangat terbatas. Itu bisa dipahami karena selama bertahun-tahun stigmatisasi terhadap mereka yang terkena imbas pergolakan politik 1965 terlalu kuat.
Namun satu catatan yang agaknya layak didiskusikan secara kritis dalam film ini adalah penggambaran mahasiswa ikatan dinas (Mahid) yang kadang-kadang tampak apolitis, kalaupun melek politik berafiliasi kepada nasionalis-Sukarnois dan sama-sama diikat oleh anti-Soeharto. Sedangkan wujud komunis tetap tak terjelaskan dengan baik – kalau bukan malah tetap digambarkan sebagaimana stigmatisasi oleh rezim Soeharto: sebagai ideologi jahat, yang dianut oleh orang-orang tak berprikemanusiaan dan keji.
Hal itu terkesan dari dialog Jaya dengan Larasati, saat Jaya menampik tuduhan sebagai komunis. “Saya menolak Orde Baru dan atas keputusan itu saya kehilangan kewarganegaraan, tapi saya bukan komunis!” kata Jaya dengan penekanan pada kata komunis. Boleh jadi benar dia bukan komunis dan karena secara faktual memang demikian adanya. Tak semua penyintas dan eksil peristiwa 1965 datang dari kalangan komunis. Ada yang nasionalis, bahkan pula ada yang apolitis.
Soal yang mencemaskan adalah pelanggengan gambaran komunis atau anggota PKI ciptaan rezim Soeharto, yang tanpa disadari atau tidak tetap tersisa sampai hari ini. Banyak orang lupa, partai terlarang ini adalah partai resmi sampai dengan dibubarkan pada 12 Maret 1966. Ada jutaan anggota dan simpatisannya yang tak bisa begitu saja dinyatakan bersalah atas ulah segelintir pemimpinnya yang bahkan sampai hari ini pun belum pernah dibuktikan seberapa berat kadar kesalahannya di muka pengadilan.
Sehingga dengan tidak menampilkan realita historis secara utuh, pada medium apapun, baik film maupun buku, berpotensi mereduksi dan mendistorsi realita masa lalu itu sendiri. Timbul kesan yang terjadi pada 1965 akibat ulah komunis semata yang membawa bencana bagi mereka yang ada di luar garis ideologi komunisme. Maka kesalahan sepenuhnya menjadi milik anggota dan simpatisan PKI. Apa yang terjadi pada diri dan keluarga mereka, baik pemenjaraan tanpa pengadilan, penghilangan paksa, pemerkosaan serta pencabutan kewargangeraan adalah balasan setimpal atas apa yang terjadi pada 1 Oktober 1965.
Sebaliknya mereka yang di luar garis komunisme yang turut terkena dampak peristiwa 1 Oktober 1965, tak pantas menerima semua segala macam hal ketidakadilan sebagaimana yang diterima oleh mereka yang berada di dalam lingkaran PKI. Dialog Jaya dengan Larasati meneguhkan gambaran tersebut, terlebih film ini tak menampilkan figur seorang mahasiswa komunis yang bisa jadi bersikap selayaknya sosok mahasiswa lain yang diperankan dalam film ini.
Terlepas dari urusan cerita dan realita, film ini jelas menghibur. Tujuan pertama dari film sebagai hiburan telah tercapai. Begitu juga sebagai penyampai kabar dari masa lalu tentang morat-maritnya nasib cinta sepasang manusia akibat prahara politik yang diwarnai intrik dan kesewenangan, film ini sukses menyampaikannya. Kalau saja belajar sejarah harus dibikin mengasyikan, film Surat dari Praha ini salah satu contohnya.
[pages]