Masuk Daftar
My Getplus

Repatriasi Artefak Indonesia dan Virus Dekolonisasi

Masih seabrek artefak Indonesia di Belanda bakal dipulangkan. Imbas desakan isu dekolonisasi yang dimulai Prancis.

Oleh: Randy Wirayudha | 13 Mar 2020
Artefak-artefak Indonesia mulai dipulangkan dari Belanda sejak Desember 2019 dan masih ada ribuan lainnya yang tengah diupayakan pemulangannya. (Fernando Randy/Historia).

SUDAH 189 tahun keris milik Pangeran Diponegoro berada di Belanda. Kini, keris itu akhirnya dikembalikan pemerintah Kerajaan Belanda kepada Indonesia pada Selasa (3/3/2020) pagi waktu Den Haag.

Penyerahan keris dilakukan Menteri Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan Ingrid van Engleshoven dan Direktur Nationaal Museum van Wereldculturen Stijn Schoonderwoerd kepada Duta Besar Republik Indonesia untuk Belanda I Gusti Agung Wesaka Puja. Setelah itu keris Pangeran Diponegoro itu diserahkan lagi ke Museum Nasional, Kamis (5/5/2020).

Keris itu sempat dinyatakan hilang hingga akhirnya ditemukan dan diidentifikasi tim riset Belanda. Pada 23-24 Februari 2020, Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid bersama sejarawan Sri Margana dan Pemimpin Redaksi Historia Bonnie Triyana mengecek dan mengonfirmasi keris itu di Den Haag sebelum resmi diserahterimakan ke pihak Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI).

Advertising
Advertising

“Jadi kita ke sana sebagai semacam tim yang diminta untuk melakukan review dan konfirmasi, apakah kesimpulan yang dibuat tim riset Belanda sudah benar atau tidak,” ujar Sri Margana kepada Historia.

Baca juga: Hilang Ratusan Tahun, Keris Diponegoro Ditemukan di Belanda

Bukan hanya sebilah keris kondang itu. Mereka juga menjajaki rencana repatriasi ribuan artefak Indonesia lainnya yang masih tersebar di sejumlah museum Belanda.

Keris milik Pangeran Diponegoro yang dikembalikan Belanda ke Indonesia (Foto: rijksoverheid nl)

Upaya repatriasi kali ini sedikit berbeda dari yang sudah digulirkan Desember 2019. Saat itu informasi sejarah sekira 1.500 benda yang dikembalikan Museum Nusantara di Delft belum semuanya terdata. Pasalnya pengembalian barang-barang itu berkaitan dengan gulung tikarnya museum tersebut.

“Sesuai perundingan dengan pihak Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, dan Ilmu Pengetahuan Belanda, repatriasi nanti bukan semata-mata pengembalian. Tapi ada riset terlebih dulu untuk mendapatkan wawasan pengetahuan yang jelas. Baik itu asal-usul bendanya, sampai soal sebab-musabab benda itu bisa sampai di Belanda,” timpal Bonnie.

Gegara Macron

Wacana dan inisiasi repatriasi seabrek artefak Indonesia yang masih terebar di sejumlah museum, di antaranya Rijksmuseum di Amsterdam dan Nationaal Museum van Wereldculturen di Rotterdam, datang dari pemerintah Belanda. Gara-garanya wabah “virus” dekolonisasi yang dipicu pidato Presiden Prancis Emmanuel Macron di Universitas Ougadougou, Burkina Faso, 28 November 2017. Muncullah reaksi dari beberapa negara Eropa lainnya yang bertindak sebagai kolonialis di masa lalu.

“Iya, wacana repatriasi kali ini datang dari Belanda karena di Eropa muncul banyak desakan mengenai repatriasi benda-benda budaya milik negara-negara koloni, baik itu Prancis, Inggris, Belanda,” lanjut Sri Margana.

Baca juga: Belanda Kembalikan Ribuan Benda Bersejarah

Macron mencetuskan isu dekolonisasi itu berlandaskan agenda membuka lembaran baru dalam hubungan internasional di kawasan Afrika. Salah satu poinnya adalah pernyataan bahwa benda-benda bersejarah Afrika sudah semestinya dikembalikan para mantan kolonialis. Macron pribadi menjanjikan Prancis mengembalikannya dalam jangka waktu lima tahun.

 “Warisan Afrika tak boleh hanya eksis dalam koleksi-koleksi pribadi dan museum-museum Eropa. Warisan Afrika mestinya tidak hanya dipamerkan di Paris, namun juga di Dakar, Lagos, dan Cotonou. Pengembalian artefak-artefak ini akan jadi pekerjaan dan kemitraan ilmu pengetahuan dan museum yang besar,” cetus Macron dalam potongan pidatonya, dikutip situs pemerintah Prancis, Élysée, 28 November 2017. Dakar, Lagos, dan Cotonou merujuk pada kota-kota besar di Senegal, Nigeria, dan Benin.

Tekanan terhadap negara-negara Eropa lain yang di masa lalu ongkang-ongkang kaki menguasai Afrika mengemuka. Terutama setelah pidato Macron dipublikasikan lebih luas oleh akademisi Senegal Felwine Sarr dan sejarawan Prancis Benedicte Savoy dalam artikel bertajuk “Rapport Sur la Restitution du Patrimoine Culturel Africain” pada 23 November 2018.

Presiden Prancis Emmanuel Macron (tengah) kala menggaungkan isu dekolonisasi di Universitas Ougadougou, Burkina Faso, 28 November 2017 (Foto: elysee.fr)

Beberapa reaksi positif bermunculan bak jamur di musim hujan. Jerman misalnya, yang menyimpan banyak artefak jarahan dari Namibia, Togo, Kamerun, hingga Tanzania. Pada awal 2019 Ethnologisches Museum Berlin membuka pintu kerjasama tim riset Tanzania dari Universitas Dar es Salaam dalam sebuah proyek berbagi pengetahuan sejarah.

Belgia, tempat Musée Royal de I’Afrique Centrale di Tervuren memiliki banyak artefak asal Kongo, mulai berkenan membuka diri, meski belum menyatakan mau mengembalikan. Sebelumnya mayoritas dari sekira 180 ribu koleksi itu disimpan di gudang. Menyusul rampungnya renovasi museum pada Desember 2018, benda-benda asal Kongo itu mulai dipamerkan secara terbuka di ruangan-ruangan khusus.

Portugal baru tahap pembahasan di parlemennya. Gagasan repatriasi dimunculkan pada 28 Januari 2020.

Inggris memberikan reaksi berbeda. Banyak koleksi artefak asal Afrika Utara dan Afrika Timur tersebar di British Museum di London, Pitt Rivers Museum di Oxford, hingga Victoria & Albert Museum di London. Sayangnya Kementerian Kebudayaan Inggris menolak permintaan repatriasi dari negara-negara asal benda-benda itu.

Baca juga: Sepuluh Benda Bersejarah Hasil Repatriasi dari Belanda

Keengganan beberapa negara Eropa bisa dimaklumi. Tak serta-merta ingin mengklaim atau memiliki artefak-artefak itu. Namun juga ada kewaspadaan terkait rentannya pengawasan di negeri asal dan potensi lenyap di pasar gelap, sebagaimana juga dikhawatirkan Macron.

“Di banyak negara Afrika, kadang para kurator lokal-lah yang mengatur perdagangan barang-barang bersejarah. Karenanya ini adalah pekerjaan besar dan tak boleh ada kelengahan sedikit pun. Karena kalau boleh saya mengatakan, warisan Anda adalah warisan kita semua sebagai warga dunia,” tandas Macron.

Pintu Terbuka

Belanda sendiri, selain mewacanakan repatriasi benda-benda budaya Nusantara, juga mengembalikan sebuah mahkota raja berbahan tembaga asal Ethiopia dari abad ke-18. Mahkota itu sebelumnya berada di tangan seorang pengungsi Ethiopia, Sirak Asfaw, yang mencari suaka di Belanda empat dekade silam.

Asfaw mengaku menemukan mahkota itu di sebuah tas yang ditinggalkan salah satu tamu yang datang ke flat-nya pada 1998. Asfaw enggan segera mengembalikannya lantaran merasa rezim Ethiopia di masa itu justru akan menjualnya, bukan malah melestarikannya. Setelah rezim berganti, dia mengembalikannya ke negeri leluhurnya lewat bantuan Menteri Perdagangan Belanda Sigrid Kaag sebagai kepanjangan tangan pemerintah Belanda.

“Senang akhirnya bisa melihat pengembalian mahkota kuno kepada Ethiopia setelah sempat dinyatakan hilang sejak 25 tahun lalu. Pemerintah Belanda mempromosikan perlindungan bagi warisan budaya dunia di bawah perjanjian UNESCO,” kicau Kaag di akun Twitter resminya, @SigridKaag, 20 Februari 2020.

Belanda kembalikan mahkota kuno Ethiopia diwakili Perdana Menteri Ethiopia Abiy Ahmed (Foto: Twitter @SigridKaag)

Baca juga: Kisah Benda-Benda Bersejarah Indonesia Dibawa ke Negeri Orang

Langkah di atas merupakan salah satu kebijakan pintu terbuka Belanda untuk melakukan repatriasi lainnya, termasuk ribuan artefak Indonesia yang masih tercecer di Negeri Kincir Angin. Sayangnya, lanjut Sri Margono, justru pemerintah Indonesia cenderung pasif menanggapi isu yang sudah bergulir sejak 2017 itu.

“Pada pengembalian keris Pangeran Diponegoro, Belanda sudah punya tim provenance research dan kita kemarin hanya mengonfirmasi. Ini menunjukkan ada kehati-hatian. Nah, Indonesia belum punya, kita baru mau menggagas tim itu,” tandas Sri Margana.

TAG

keris diponegoro repatriasi

ARTIKEL TERKAIT

Seputar Prasasti Pucangan Menyibak Warisan Pangeran Diponegoro di Pameran Repatriasi Dedikasi Peter Carey Meneliti Pangeran Diponegoro Koleksi-koleksi Repatriasi Benda Bersejarah Mengenal Kelompok Seni Pita Maha Menyongsong Wajah Baru Museum Nasional Indonesia dan Pameran Repatriasi Sejarah Perkembangan Repatriasi dari Belanda ke Indonesia Menteri Nadiem: Masih Banyak Benda Bersejarah Indonesia yang Belum Dikembalikan Ke Mana Perginya Barisan Sentot Pengikut Diponegoro? Jenderal "Jago Perang" Belanda Meregang Nyawa di Pulau Dewata