Masuk Daftar
My Getplus

Rasisme dalam Film Sejarah

Sejarah Indonesia tidak hitam-putih. Ada orang Belanda yang mendukung kemerdekaan Indonesia, sebaliknya ada pribumi yang nyaman menjadi pegawai pemerintah Belanda.

Oleh: Nur Janti | 19 Jul 2017
Film "Merah Putih" (2009).

Film-film sejarah seperti Merah Putih (2009), Sang Pencerah (2010), Soegija (2012), dan Soekarno (2013), di satu sisi berusaha mengenalkan sejarah perjuangan kemerdekaan. Namun, di sisi lain menampilkan rasisme karena melihat sejarah Indonesia secara hitam-putih. Orang Belanda selalu digambarkan sebagai orang jahat, orang Indonesia selalu nasionalis, khususnya pada film berseting tahun 1945-1949.

Demikian dikemukakan Ariel Heryanto, profesor di Monash University Australia, dalam diskusi “Gerakan Global Kiri dalam Perjuangan Kemerdekaan RI” di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, 17 Juli 2017. “Padahal, sebenarnya tidak begitu, orang kulit putih atau Belanda ada juga yang mendukung perjuangan Indonesia. Sebaliknya, orang Indonesia yang tidak ikut memperjuangkan kemerdekaan juga ada,” kata Ariel.

Menurut Ariel hubungan Belanda dan Indonesia tidak melulu buruk, bahkan cenderung saling menguntungkan. “Bahkan para bumiputra yang bekerja pada pemerintah kolonial merasa bangga dengan apa yang dilakukan. Mereka juga berharap anaknya akan melanjutkan jejaknya,” ujar Ariel.

Advertising
Advertising

Sejalan dengan pernyataan Ariel, sejarawan Henk Schulte Nordholt menulis dalam “Modernity and cultural citizenship in the Netherlands Indies: An illustrated hypothesis,” Journal of Southeast Asian Studies 42(3), 2011, bahwa tidak semua bumiputra mendukung gerakan kemerdekaan. Meningkatnya jumlah kelas menengah bumiputra seharusnya dibarengi dengan banyaknya pemuda yang bergabung dalam gerakan kemerdekaan.

Akan tetapi, Henk menunjukkan hal sebaliknya. Kaum bumiputra terbagi menjadi dua, yakni kelompok yang pro-nasionalis dan kelompok yang tidak tertarik untuk bergabung. Kelompok kedua adalah kelas menengah yang terlanjur merasa nyaman dengan kondisinya. Mereka lebih tertarik pada karier yang bagus di pemerintah kolonial dibanding ikut gerakan kemerdekaan. Pasalnya, yang mereka inginkan sejak awal adalah gaya hidup, bukan negara. Dan akses terhadap gaya hidup semacam ini dapat diperoleh dalam kerangka sistem kolonial.

Lebih lanjut Ariel menjelaskan bahwa film Indonesia bertema perjuangan selalu digambarkan melawan Belanda. Padahal, lawan Indonesia untuk memerdekakan diri tidak hanya Belanda, tatapi juga Inggris dan Prancis. Penceritaan dalam film tersebut akhirnya memisahkan cerita sejarah dari konflik global. “Yang menarik, film ini adalah film komersil yang jangkauan penontonnya lebih luas dari film indie,” jelas Ariel.

Menurut Ariel model penggambaran orang kulit putih dalam film-film bertema perjuangan hampir sama dengan penggambaran citra tokoh jahat dalam cerita-cerita bertema komunisme. Tokoh jahat dalam cerita pasca 1965 selalu digambarkan sebagai orang komunis. Hal yang paling umum ditemui adalah tokoh pandai tapi licik dan suka menipu atau lugu tetapi bodoh. Model penggambaran lain adalah tokoh yang bernasib sial karena menikah dengan orang kiri atau berurusan dengan pemerintah kiri.

“Film menegaskan norma yang dominan dalam masyarakat. Dari sini kita bisa melihat bagaimana masyarakat kita memandang sejarah bangsanya: tidak ada orang kulit putih atau komunis yang digambarkan baik,” pungkas Ariel.

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Warisan Budaya Terkini Diresmikan Menteri Kebudayaan Aksi Spionase Jepang Sebelum Menyerang Pearl Harbor Radius Prawiro Mengampu Ekonomi Masyarakat Desa Tuan Tanah Menteng Diadili Mimpi Pilkada Langsung Jurus Devaluasi dan Deregulasi Radius Prawiro Mobil yang Digandrungi Presiden Habibie Jenderal Belanda Tewas di Lombok Jusuf Muda Dalam Terpuruk di Ujung Orde Radius Prawiro Arsitek Ekonomi Orde Baru