Masuk Daftar
My Getplus

Museum Lima Malam untuk Mengenang Masa Kelam

Merayakan kemanusiaan melalui karya seni. Mengenang kepedihan sekaligus memetik pelajaran darinya.

Oleh: Bonnie Triyana | 08 Des 2015
Museum temporer Rekoleksi Memori menampilkan karya anak muda menafsir sejarahnya sendiri. Foto: Aryono/Historia

BANGUNAN itu terdiri atas puluhan perancah yang terpasang membentuk kubus berukuran sekira 200 meter persegi dengan tinggi lima meter. Jaring hitam menyelubungi bangunan, membuat bagian dalam ruangan tetap bisa dilihat sama-samar dari luar. Ia bukan sembarang bangunan tanpa makna, paling tidak untuk seminggu ke depan. Bangunan itu didapuk sebagai museum bertajuk Rekoleksi Memori.

Puluhan karya instalasi, seni fotografi dan videografi tersaji di dalamnya. Hasil kerja bareng Komisi Nasional HAM, Dewan Kesenian Jakarta dan Partisipasi Indonesia itu digelar di pelataran sisi timur Taman Ismail Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, mulai 7 sampai 12 Desember mendatang. Pameran dalam rangka memperingati hari Hak Asasi Manusia Internasional 10 Desember itu dipersembahkan kepada seluruh korban pelanggaran HAM dan mereka yang masih terus memperjuangkan keadilan.

“Dari kegiatan ini, harapan kita, dapat mendorong untuk pendirian museum nasional HAM. Dari museum HAM ini, kita bisa belajar masa lalu. Museum HAM bisa jadi akan menjadi model bagi penyelesaian masalah HAM,” kata Nur Kholis, Komisioner Komnas HAM dalam sambutannya.

Advertising
Advertising

Sementara itu Ketua Umum Pengurus Harian Dewan Kesenian Jakarta Irawan Karseno mengatakan program ini merupakan wujud kehendak bersama seluruh masyarakat untuk menumbuhkan budaya dan peradaban yang lebih baik. Hal senada dikatakan oleh Yulia Elvina Bhara, direktur Partisipasi Indonesia dengan mengajukan pertanyaan sejarah seperti apa yang akan diwariskan kepada generasi penerus jika kebohongan terus direproduksi?

“Tak ada pilihan lain. Kita harus sudi menengok ke belakang, mencoba menggali suara dari masa lalu, merekoleksi memori kita untuk dapat memahaminya dengan nalar dan matahati,” katanya.

Museum Rekoleksi Memori ini mengikutsertakan beberapa pegiat seni dan kreatif yang sudah mengakrabi masalah HAM dalam setiap karya mereka. Salah satunya karya fotografer Sigit Pratama yang yang berjudul or.de. Begitu masuk ke museum, pengunjung langsung disuguhi sepuluh karya Sigit, mulai dari sosok kanak kanak hingga potret bangunan beton menara TVRI dan monumen Lubang Buaya.

Karya menarik lain adalah karya videografer Yovista Ahtajida. Anak muda yang biasa nongkrong di sekitar museum Lubang Buaya, Pondok Gede, Jakarta Timur itu itu membuat instalasi video kanal ganda bertajuk Wahana Loebang Maoet. Menurutnya, monumen Lubang Buaya bukan lagi wahana pembelajaran, melainkan wahana penyebar horor.

“Hanya ada kengerian di sana. Seperti masuk rumah hantu saja. Dan itulah karya terpenting Orde Baru,” ujar lelaki berambut kriting jebolan FISIP UI itu.

Dia mengaku, tak banyak kesulitan membuat video solo pertamanya ini. Dalam salah satu video, memperlihatkan bagaimana Yovi membuat semacam print ad yang disebar dibeberapa wilayah Jakarta untuk memperluas jangkauan pembentukan wacana baru terhadap museum Lubang Buaya.

Beberapa karya lainya adalah Pemenang Kehidupan karya fotografer Adrian Mulya tentang sepuluh potret perempuan penyintas, mantan anggota Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Lalu karya Elizabeth Ida yang berjudul Sejarah Siapakah?; karya video instalasi Kiki Febriyanti berjudul His (story) (a) history yang menggambarkan anak kecil berseragam SD yang memakai topeng bergambar wajah Soeharto dan menanyai setiap orang yang ditemuinya tentang topeng yang ia kenakan; kemudian ada karya instalasi Jompet Kuswidananto bertajuk Untitled.

Selama enam hari, lima malam, masyarakat disuguhi gambaran kelam masa lalu bangsa ini untuk memetik pelajaran dari pelbagai peristiwa sejarah yang mengempaskan nilai-nilai kemanusiaan ke jurang peradaban terendah. “Museum ini untuk generasi muda, untuk dapat membantu memberikan informasi tentang sejarah pelanggaran HAM yang sampai saat ini tak ada di buku pelajaran sejarah,” pungkas Yulia. 

[pages]

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Nafsu Berahi Merongrong Kamerad Stalin (Bagian I) Aksi Spionase di Balik Kematian Leon Trotsky Eks Pesindo Sukses Satu Episode Tim Garuda di Olimpiade Ibnu Sutowo dan Anak Buahnya Kibuli Wartawan Kisah Bupati Sepuh AS Kembalikan Benda Bersejarah Peninggalan Majapahit ke Indonesia Mata Hari di Jawa Menjegal Multatuli Nobar Film Terlarang di Rangkasbitung