Masuk Daftar
My Getplus

Menyuarakan Nasib Nelayan Melalui Lukisan

Lukisan-lukisan karya Itji Tarmizi mengangkat realitas sosial. Dia “dihilangkan” rezim Orde Baru.

Oleh: Randy Wirayudha | 05 Agt 2017
Lelang Ikan karya Itji Tarmizi.

Lukisan berjudul “Lelang Ikan” salah satu ikon lukisan koleksi Istana yang dipamerkan di Galeri Nasional Jakarta, 2-30 Agustus 2017. Lukisan terbaik Itji Tarmizi ini menjadi gambar utama di katalog pameran.

Lukisan berukuran 140x195 cm itu menggambarkan seorang tengkulak yang dikelilingi nelayan, seorang ibu berkutang dengan bawahan kain dan anaknya tanpa pakaian kemungkinan istri salah satu nelayan, kuli panggul, hingga nelayan lain di belakang si tengkulak menatap tajam sambil memegang parang. Para nelayan itu seakan pasrah ikan-ikannya dibeli sang tengkulak dengan harga yang tidak diharapkan.

Itji menggambarkan tengkulak itu ditemani anak atau cucunya yang mengenakan pakaian bagus lengkap dengan kalung mutiara. Dia mengenakan peci hitam, berkulit terang, berpakaian ala penguasa tapi juga mengenakan bawahan kain, lengkap dengan ikat pinggang besar.

Advertising
Advertising

“Kalau melihat ikat pinggang besarnya yang dipakai orang itu, dan detail lain macam perahu-perahu nelayan di belakangnya, sepertinya Itji Tarmizi mengambil gambar lokasinya di pesisir timur Pulau Jawa (Jawa Timur atau Pulau Madura),” ujar Mikke Susanto, kurator pameran, kepada Historia.

Lukisan tahun 1963 itu, kata Mikke, konsepnya dinamis, tidak statis seperti lukisan pemandangan. Lukisan itu menjadi manifestasi ketimpangan sosial. Itji menghadirkan drama ketegangan dan dinamika pelelangan ikan. Karya itu tidak lepas dari pengaruh Sanggar Pelukis Rakyat, semasa Itji studi di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta.

“Dalam kelompok itu, Itji mendapatkan pengajaran tentang konsep lukisan yang cenderung menampilkan keadaan sosial. Dalam membuat karya-karyanya, dia turun ke lapangan atau observasi. Termasuk karya ini (Lelang Ikan),” kata Mikke.

Dalam biografi Amrus Natalsya dan Bumi Tarung, Misbach Tamrin menyebut Itji sebagai anggota Sanggar Pelukis Rakyat, sering sendiri turba (turun ke bawah) ke tengah kehidupan nelayan di pantai utara Jawa. Dalam turbanya selama beberapa hari itu, dia hidup bersama kaum nelayan untuk menyelami kehidupan mereka yang penuh tantangan alam sosial. Karena Indonesia negeri maritim, pilihan obyek turba pelukis Itji ini cukup tepat. Keindahan pantai dan laut dengan pulau-pulau cukup eksotik, kehidupan nelayan dengan segala pertarungannya menghadapi alam dan manusia, amat menarik untuk digarap sebagai karya seni rupa.

“Dari sinilah muncul karya lukisnya yang terbaik, ‘Tengkulak Ikan,’ yang kemudian dikoleksi Presiden Sukarno,” tulis Misbach.

Kritikus seni Jim Supangkat mengatakan karya-karya Itji yang menggambarkan kehidupan rakyat sempat dituding politis dan kekiri-kirian. Ini mesti diluruskan.

“Pernah ada diskusi tentang karya-karya Itji Tarmizi yang dituduh kekiri-kirian. Ini yang harus diluruskan. Memang karya-karyanya mempertunjukkan keadaan masyarakat dan sosial di permukaan. Tentang nasib nelayan yang berkaitan dengan ketidakadilan, tapi karyanya ini punya benang merah dalam perkembangan seni rupa dari awal abad 20,” kata Jim kepada Historia.

Jim melanjutkan, karya-karya yang menggambarkan keadaan sosial dan humanisme seperti itu sudah ada sejak era Raden Saleh pada 1930-an. Walau memang pada masa Itji membuat lukisannya di era 1960-an, Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) sedang vokal menyuarakan penderitaan rakyat lewat karya seni.

“Karya-karyanya yang detail dianggap sangat politis yang kekiri-kirian. Padahal Itji membuat karya yang detail itu sebagai ungkapan pribadinya yang universal. Tarmizi sebagai seniman yang punya idealisme dan humanisme, ditafsirkan memiliki kandungan ideologi komunisme,” kata Jim. Oleh karena itu, Itji “dihilangkan” rezim Orde Baru.

“Setelah sempat direhab penguasa Orba (Orde Baru), dia masih beberapa kali mengeluarkan karya-karya lainnya yang juga bagus. Tapi saya rasa, andai dia tidak dihilangkan, dia akan bisa menghasilkan banyak karya yang tidak hanya bagus, tapi juga luar biasa,” kata Jim.

Itji, seniman tunarungu dan tunawicara kelahiran Tanah Datar, Sumatra Barat 21 Juli 1939, tutup usia pada 27 November 2001 di usia 62 tahun di Jakarta.

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Warisan Budaya Terkini Diresmikan Menteri Kebudayaan Aksi Spionase Jepang Sebelum Menyerang Pearl Harbor Radius Prawiro Mengampu Ekonomi Masyarakat Desa Tuan Tanah Menteng Diadili Mimpi Pilkada Langsung Jurus Devaluasi dan Deregulasi Radius Prawiro Mobil yang Digandrungi Presiden Habibie Jenderal Belanda Tewas di Lombok Jusuf Muda Dalam Terpuruk di Ujung Orde Radius Prawiro Arsitek Ekonomi Orde Baru