PADA 1712 di atas geladak kapal Arentsduin milik VOC yang hendak berlayar ke Hindia, seorang perempuan tertangkap. Dia penumpang gelap karena ada larangan penumpang perempuan di kapal-kapal VOC. Rupa-rupanya dia tak rela berpisah dengan suaminya yang akan berlayar. Kapten kapal kemudian menugaskan dua penjaga untuk berpatroli siang-malam guna mencegah kejadian serupa terulang.
Perempuan itu tak menyerah. Dia kembali naik kapal, bahkan ikut berlayar, menyamar sebagai laki-laki. Di tengah perjalanan, identitasnya tersingkap sehingga dia ditahan. Tak jelas bagaimana nasib perempuan itu atau apakah dia sampai ke Batavia.
Pada abad ke-17 hingga 18 Belanda mengalami puncak kemakmuran. Tingkat pendapatan perkapitanya melampaui negara Eropa lainnya. Tapi kemiskinan masih membelenggu masyarakat lapisan bawah, terutama kaum perempuannya. Tak banyak pilihan profesi bagi perempuan kelas bawah. Mereka bisa menjadi pekerja kasar atau pelacur untuk mendapatkan penghasilan. Bagi mereka kemudian tinggal di Hindia menjadi pilihan yang amat menjanjikan.
Menurut Vern L. Bullough dalam buku Cross Dressing, Sex and Gender, meski Hindia dikenal sebagai sorga, kebijakanVOC yang keras nyaris tak mengizinkan perempuan turut serta dalam pelayaran. Ini menjadi alasan kuat sehingga seorang perempuan harus menyaru laki-laki.
Di sisi lain pemerintah Belanda tak permisif kepada para perempuan yang ketahuan menyamar menjadi laki-laki. Hukum Belanda, yang antara lain bersumber pada hukum adat dan Injil, melarang transvestisme. Perempuan tak diperkenankan berpenampilan seperti laki-laki, juga sebaliknya. Transvestisme adalah tindakan kriminal. Namun biasanya tuduhan itu dikenakan untuk memperberat tindakan kriminal lainnya.
Rudolf M. Dekker dan Lotte C.van de Pol dalam The Tradition of Female Transvestism in Early Modern Europe, menulis ada berbagai motif perempuan menyaru laki-laki: cinta, patriotisme, lari dari tuduhan kriminal, serta perbaikan kondisi ekonomi.
Maria Elisabeth Meening adalah salah satu contoh perempuan yang menyaru laki-laki. Dia adalah simpanan seorang kapten kapal yang akan berlayar ke Hindia. Di tengah jalan penyamarannya terbongkar. Sang kapten, yang tak mau bertanggungjawab, menikahkah Maria dengan anak buahnya. Maria dikirim kembali ke Belanda, dan akhirnya mendapatkan warisan ketika suaminya kembali dari Hindia.
Perempuan lainnya, Maeyken Blomme, justru mengalami nasib tragis. Tak rela berpisah dengan kekasihnya yang akan berlayar ke Hindia, dia menyamar. Penyamarannya terbongkar dan dia dikirim pulang. Mayken menjadi gila dan dipenjara di Middelburg. Biaya perawarannya dipotong dari gaji kekasihnya.
Hanya sedikit perempuan yang berhasil sampai di Hindia. Jannetje de Ridder menyamar agar bisa berkumpul dengan keluarganya di Hindia. Ketika identitasnya terungkap, awak kapal yang ditumpanginya jatuh kasihan padanya dan membiarkan Jannetje meneruskan perjalanan.
Di koloni yang sedang berkembang itu, populasi laki-laki kulit putih tak sebanding dengan perempuan kulit putih. Perempuan kulit putih jadi rebutan. Jika mereka tak berhasil mendapatkan pasangan pun, mereka menempati kedudukan lebih tinggi dibandingkan perempuan pribumi. Setibanya di Hindia, mereka lalu bersalin rupa kembali jadi perempuan. Mereka mendapatkan pasangan hidup laki-laki Eropa dan menjadi nyonya besar dengan segala kemewahannya.
Naiknya posisi sosial para perempuan itu dicatat Nicolaus De Graaff, seorang dokter yang lima kali mengunjungi Hindia pada abad ke-17. Graaf terkesima melihat pola hidup bermewah-mewah para perempuan Eropa yang bermigrasi ke sana. “Para perempuan itu… tenggelam dalam kemewahan, begitu arogan, begitu boros, sampai-sampai mereka tak tahu bagaimana cara berperilaku (yang baik). Mereka dengan sengaja memamerkan harta kekayaan mereka, dilayani bak putri raja, dan tak jarang memiliki banyak sekali budak untuk melayani keperluannya. “
Menurut Rudolf M. Dekker dan Lotte C.van de Pol, ada 119 kasus transvestisme atau perempuan menyaru laki-laki sejak 1550 hingga 1839 di daratan Eropa. Sebagian besar terkonsentrasi di barat laut Eropa, terutama di Inggris, Belanda, dan Jerman. Sebanyak 83 di antaranya bekerja sebagai serdadu atau pelaut, berlayar ke Hindia Barat atau Hindia Timur di bawah bendera Perserikatan Perusahaan Hindia Timur (VOC) dan Perserikatan Dagang Hindia Barat (VWC). Sebanyak 22 orang lainnya bekerja sebagai tentara yang berpangkalan di daratan. Di kalangan sipil, banyak kasus transvestisme tak terungkap karena umumnya hidup dari pekerjaan-pekerjaan informal seperti pengemis, pencuri, atau penipu.
Transvestisme, perempuan menyaru laki-laki tak eksklusif, menggejala bukan hanya di atas kapal-kapal VOC atau ketentaraan Belanda tapi juga di Inggris. Motif ekonomi tetap menjadi alasan utama transvestisme. Salah satu yang terkenal adalah Mary Lacy yang masuk angkatan laut dan mengganti nama menjadi William Chandler. Dia bekerja sebagai tukang kayu di atas kapal Sandwich. Hebatnya, penyamaran Lacy tak terbongkar sepanjang 12 tahun karier militernya sampai dia mengundurkan diri pada 1771 karena penyakit rematik. Identitas asli Lacy terungkap setelah dia memutuskan untuk menerbitkan sebuah biografi berjudul Female Shipwright pada 1773. Juga ada kisah Hannah Snell alias James Grey yang ikut bertempur melawan Prancis di Devicotta, India, pada 1749, dan William Brown yang dikagumi karena kecakapannya sebagai seorang pelaut.
Fenomena transvestisme perlahan menghilang di Belanda dan negara-negara Eropa lainnya, pada abad ke-19. Makin ketatnya birokrasi yang berhubungan dengan pencatatan penduduk semisal registrasi sipil, wajib militer, membuat semakin sulit bagi perempuan untuk bepergian tanpa surat keterangan resmi. Persamaan hak laki-laki dan perempuan juga kian berkembang. Perempuan tak perlu lagi menyaru laki-laki untuk mendapatkan kehidupan dan kedudukan sosial yang lebih baik.
Pada abad ke-19, penduduk Eropa di Hindia berkembang pesat, khususnya jumlah perempuannya. Menurut Tineke Hellwig dalam Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda, salah satu hasil dari kehadiran perempuan Eropa ialah Eropanisasi masyarakat Hindia. Para Eropa totok membentuk lapisan atas masyarakat dan diskriminasi pun meningkat. Perempuan Eropa dipandang sebagai puncak peradaban Barat. Ia dibebani tanggungjawab menjaga agar suaminya tetap menempuh jalan yang lurus. Kedatangan para perempuan kulit putih memberi tekanan pada hegemoni kulit putih.