Masuk Daftar
My Getplus

Menjaga Kelestarian Lewat Pameran

Sebuah pameran yang tak semata untuk merespon kondisi kekinian, tapi juga untuk menghidupkan sekaligus mengabadikan Balai Budaya selaku tempat bersejarah dalam dunia seni-budaya bangsa.

Oleh: Nur Janti | 06 Jan 2018
Pameran seni rupa bertema "Solidarity, Peace, and Justice" di Balai Budaya, Jakarta, 4-11 Januari 2018/Foto: Nur Janti/Historia.

GADIS cilik itu asik bermain lompat tali. Di dekatnya bocah lelaki sedang balap karung. Keduanya bukan anak manusia, tapi patung karya Bambang Win.

Tak jauh dari keduanya, gadis lain berdiri dekat pintu masuk sambil membawa satu vas berisi bunga. Seakan hendak menyambut para tamu dan memberi hadiah bunga, gadis dalam lukisan Remy Sylado berjudul “Katakan dengan bunga” itu mengawali deretan lukisan yang mengisi pameran bertajuk “Solidarity, Peace, and Justice” yang digelar di Balai Budaya, Jakarta, 4-11 Januari 2018.

Ada 30 seniman yang berpartisipasi dalam pameran tersebut. Mereka berasal dari generasi berbeda-beda, mulai dari yang senior seperti Aisul Yanto, Cak Kandar, Remy Sylado, Ika Ismurdiyahwati, hingga yang muda macam Chrysnanda Dwilaksana dan Idris Brandy.

Advertising
Advertising

Selain lukisan dan patung, pameran juga memajang karya instalasi Edi Bonetsky. Berada di sudut kanan seberang pintu masuk, Edi meminta pengunjung menggambar apapun di atas buku sejarah berbahasa Jerman.

Tema “Solidarity, Peace, and Justice” dipilih untuk merespon keadaan baik keseharian maupun konflik besar yang terjadi dewasa ini. Sementara, Balai Budaya dipilih sebagai tempat pameran karena memiliki banyak nilai sejarah untuk perkembangan seni Indonesia. “Jadi kita mengingat kembali hal-hal yang sudah lalu. Kami terharu dengan adanya Balai Budaya Jakarta yang sudah sangat tua tapi sangat bersejarah, jadi kami berusaha supaya ini diingat lagi. Harus ada aktivitas,” kata Ika Ismurdiyahwati, kurator pameran.

Balai Budaya merupakan titik nol kebudayaan Indonesia pasca-proklamasi, kata Aisul, yang juga merupakan sekretaris jenderal Balai Budaya. “Tahun 1954, waktu itu Mohammad Yamin memfasilitasi seniman. Salah satunya dengan gedung ini. Di gedung ini, para seniman melahirkan berbagai pemikiran dan praktik kebudayaan yang ada di Indonesia,” katanya kepada Historia.

Di antara seniman besar yang pernah memamerkan karya seni di Balai Budaya, ada Sudjojono, Basuki Resobowo, Affandi, dan Rendra. Arsip koran milik IVAA-online.org antara lain menulis, Gerakan Seni Rupa Baru –sebuah gerakan yang mendobrak konservatisme seni rupa di Indonesia– pernah melakukan pameran di Balai Budaya pada Agustus 1976. Pameran yang diikuti para seniman muda dari Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta ini dihelat dalam rangka merayakan setahun kelahiran Seni Rupa Baru.

Di Balai Budaya pula pelukis Nashar menjadi besar. Pada Juni 1983, dia menggelar pameran tunggal di sana. Pemeran yang memajang 30 karya itu disponsori Cak Kandar, pelukis yang juga aktivis seni.

“Ada Manifesto Kebudayaan, pameran tunggal, pementasan karya, dan petisi 50 di sini. Pusat kesenian Jakarta juga lahir di sini. Markas Malari juga di sini. Di sinilah sumber dari pusat peristiwa kesenian dan kebudayaan yang menjadi tonggak maupun kelahiran organisasi-organisasi kesenian dan kebudayan. Jadi gedungnya sendiri bersejarah walaupun secara fisik sederhana,” kata Aisul.

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Nafsu Berahi Merongrong Kamerad Stalin (Bagian I) Aksi Spionase di Balik Kematian Leon Trotsky Eks Pesindo Sukses Satu Episode Tim Garuda di Olimpiade Ibnu Sutowo dan Anak Buahnya Kibuli Wartawan Kisah Bupati Sepuh AS Kembalikan Benda Bersejarah Peninggalan Majapahit ke Indonesia Mata Hari di Jawa Menjegal Multatuli Nobar Film Terlarang di Rangkasbitung