MAKAN daging anjing dengan sayur kol. Kalimat tersebut merupakan nukilan lirik lagu berjudul Sayur Kol yang dipopulerkan band Punxgoaran. Band punk asal Siantar, Sumatera Utara ini memang kerap mengusung budaya Batak dalam lagunya.
Lagu Sayur Kol berkisah tentang seorang pemuda Batak yang berkelana ke Siborong-borong. Di tengah jalan dia terjebak hujan deras. Beruntung, seorang namboru (tante) boru Panjaitan mengajak sang pemuda berteduh di rumahnya. Di rumah namboru, mereka menyantap daging anjing dan sayur kol dengan nikmatnya.
Karena terdengar lucu, lagu itu kini jadi viral, bahkan anak bocah ikut menyanyikannya. Namun kritik datang dari komunitas pecinta satwa. Salah satunya Garda Satwa Indonesia yang menganggap lagu itu kurang etis. Sebabnya, yang tak banyak diketahui orang adalah proses pengolahan daging anjing terbilang sadis. Investigasi membuktikan, anjing-anjing mengalami penyiksaan sebelum dihidangkan.
Baca juga: Salah Anjing Apa?
Beberapa metode anarkis dipakai dalam menjinakkan anjing untuk kemudian dimasak. Mulai dari dicekik pakai tongkat, dipukul, digebuk dalam karung, diberi racun, hingga langsung dibakar atau dikuliti. “Jika penyiksaan dianggap lucu, sudah hancurlah moral bangsa ini. Jiwanya sudah sakit,” tulis Garda Satwa Indonesia dalam laman Facebook-nya.
Komunitas seperti Garda Satwa Indonesia gencar menyerukan kampanye berhenti makan anjing. Masalahnya, bagi sebagian kalangan, daging anjing lumrah dimakan, salah satunya suku Batak.
Nikmat Bersama Tuak
Menurut E.H. Tambunan dalam Sekelumit Mengenai Masyarakat Batak Toba dan Kebudayannya, orang Batak punya tradisi kuat makan daging. Dalam setiap upacara adat maupun upacara agama di kalangan penganut agama leluhur, daging selalu menjadi hidangan atau sesajian. Hewan yang disembelih beragam. Mulai dari yang halal seperti kerbau, ayam, dan kambing hingga non-halal seperti babi atau anjing.
Baca juga: Kiai Pelihara Anjing
Berbeda dengan babi yang jelas hewan ternak, bagi orang Batak anjing diperlihara sebagai penjaga rumah atau penjaga ternak. Tapi, ketika di meja makan, keduanya sama saja: menjadi santapan. Kenapa anjing ikut disantap? Jan Johannes van de Velde, asisten residen Belanda di Tapanuli, punya jawaban.
Pada 3 Maret 1940, van de Velde mendampingi residen ke dataran tinggi Habinsaran, sebelah selatan Kota Balige. Tujuan van de Velde dan rombongannya saat itu hendak meninjau huta-huta (perkampungan) terpencil. Perjalanan dinas ini memberikan van de Velde pengalaman kuliner dan kultural yang berkesan.
“Pada suatu kesempatan, kami dijamu dengan segelas tuak enak, semacam anggur terbuat dari nira pohon enau; minuman ini digemari orang-orang Batak dan seminggu sekali bisa dibeli di pasar besar, di Porsea. Apalagi kalau ditemani sepotong daging anjing, maka mereka lebih menikmati tuak itu,” kenang van de Velde dalam korespondensinya yang dibukukan,Surat-surat dari Sumatra 1928-1949.
Baca juga: Tradisi minum tuak zaman Mataram Kuno
Van de Velde saat itu merasa enggan menyantap daging anjing karena jijik. Tapi di lain kesempatan dia mencicipi juga. Pada 17 November 1940, van de Velde kedatangan tamu dari Yale University, Profesor Karl Peltzer, yang datang untuk meneliti gejala erosi di Balige. Sebagai jamuan, seorang koki lokal menyajikan sepinggan daging anjing goreng dan rebus dengan cara khas Batak.
“Kami mencicipi kedua masakan itu dan rasanya lumayan,” kata van de Velde. Namun van de Velde juga menyaksikan keadaan miris yang dialami oleh anjing-anjing santapan. Mereka kerap diperlakukan secara kasar dan kurang berharga.
Baca juga: Sukarno dan Anjingnya
“Kita tak perlu mengasihani anjing-anjing di sini, di huta-huta, mereka sering ditendangi, dipukul, diusir, lagipula, jumlahnya memang terlalu banyak. Di Pasar Balige pun, bisa dibeli anjing yang sudah disembelih, juga yang sudah dimasak, dan sering dimakan di tempat, dengan ditemani segelas dua tuak,” demikian tutur van de Velde.
Mengisi Daya Tondi (Roh)
Kebiasaan orang Batak makan daging anjing terbawa hingga ke perantauan. Firman Lubis dalam memoarnya Jakarta 1950-an sering mendengar identifikasi yang ditujukan kepada orang Batak di Jakarta. Biasanya dilontarkan sebagai sentimen kesukuan atau ejekan.
“Batak tukang makan orang atau tukang makan anjing – saya sendiri sering terkaget-kaget waktu ada yang melontarkan ejekan ini kepada saya karena kedua orang tua saya ‘cukup Islami’ dan saya agak takut dengan anjing,” kenang Firman Lubis.
Baca juga: Seperti apa kanibalisme di Nusantara
Rumah-rumah makan Batak ataupun lapo tuak yang menyajikan daging anjing lazimnya melabelkan kode B1 dalam daftar menu. B1 diambil dari bahasa Batak, biang yang artinya anjing, untuk membedakannya dari daging babi yang diberi kode B2. Dibandingkan babi, daging anjing memiliki tekstur keras dan tak berlemak.
Jika menarik lebih jauh akar sejarah dan budayanya, makan daging anjing lebih dari sekedar penganan pendamping saat minum tuak. Tradisi menyatap anjing punya kaitan dengan keparcayaan animisme Batak kuno. Mengonsumsi daging anjing diyakini memberikan kekuatan kepada tondi (roh) manusia.
Sebelum masuknya pengaruh agama Samawi, suku Batak Toba percaya bahwa tondi adalah tenaga yang menghidupkan segala sesuatu yang ada di bumi. Keberadaan seseorang di dunia bergantung kepada persediaan dan kebesaran tondi-nya. Beberapa hewan seperti anjing, babi hutan, dan harimau mempunyai persediaan tondi yang jauh lebih besar ketimbang hewan lain.
“Anjing mampu berlari cepat karena tondi-nya lebih kuat,” tulis Bisuk Siahaan dalam Batak Toba: Kehidupan Di Balik Tembok Bambu. “Memakan daging anjing akan menambah persediaan tondi secara besar-besaran.”
Baca juga: Batak dalam tanda kutip
Kepercayaan mengenai mustajabnya daging anjing menghinggap pada diri orang Batak tempo dulu yang gemar berperang. Menurut teolog Rudolf Pasaribu dalam Agama Suku dan Bataknologi, kebiasaan memakan anjing dalam tradisi kuno punya maksud agar mereka berani dan gesit dalam peperangan. Dalam tubuh anjing dipercayai mengandung semacam zat yang merangsang keberanian.
Konsep magis demikian dalam masyarakat modern hari ini tak lebih dari omong kosong belaka. Kendati demikian, tradisi makan anjing telah terlegitimasi turun-temurun dari generasi ke generasi. Apalagi daging anjing disebut-sebut berkhasiat untuk menyembuhkan penyakit lepra –yang belum terbukti secara medis– ataupun keluhan seperti keletihan akut. Dan tentu saja karena faktor rasa, yang katanya enak.