Pada Juni 1993, Daniel Perret, seorang Prancis dengan kemampuan cakap berbahasa Indonesia, datang kepada Usman Pelly, antropolog senior Universitas Negeri Medan. Perret membincangkan rancangan riset doktoralnya yang prestisius sekaligus sensitif mengenai identitas Batak dan Melayu sepanjang periode kolonialisme. Sejak 1990 sampai 1993, Perret menggelar penelitian lapangan dengan cakupan wilayah Indonesia timur laut –tempat manipulasi identitas Batak dan Melayu dibangun untuk kepentingan para kapitalis perkebunan.
Juli 2010, dalam forum diskusi buku di Medan, Perret kembali datang dengan sumringah. Usman Pelly melihat Perret tak hanya membawa gelar doktornya. Perret, lanjut Usman, mengusung kesimpulan betapa dikotomi Batak dan Melayu merupakan strategi kolonialisme pemerintah Belanda. Buku inilah karya Perret yang dimaksud.
Buku ini lebih dahulu meluncur di Prancis pada 1995 dengan judul La Formation d’un Paysage Ethnique: Batak & Malais de Sumatra Nord-Est. Penerbitnya Ecole francaise d’Extreme-Orient (EFEO), satu badan penelitian bergengsi milik Prancis yang bergerak di ranah ilmu sosial untuk kawasan Timur Jauh, termasuk Indonesia. Pada 1952, sejarawan Louis-Charles Damais membuka cabang EFEO di Jakarta. Sejak itu, peneliti-peneliti EFEO rancak menyelusup ke bagian barat Indonesia.
Baca juga: Misi Nommensen di Tanah Batak
Semula Daniel Perret mengajukan riset ini sebagai disertasi doktornya di Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (Paris) pada 1994. Di kampus tersebut, filsuf Jacques Derrida, yang tersohor dengan konsep dekonstruksinya, tercatat sebagai seorang guru besar yang sangat berpengaruh. Tatkala Perret merampungkan risetnya, Institut National des Langues et Civilisations Orientales, Prancis, mengganjarnya dengan Penghargaan Jeanne Cuisinier.
Pengaruh konsep dekonstruksi Derrida terekam kuat di sekujur buku ini. Biarpun tak memberi banyak ruang pada bahasan teoretis, bahkan nama dan karya Derrida tak ditemukan dalam daftar pustaka, Perret menuliskan karyanya secara dekonstruktif. Perret bergerak dari kegelisahan Rita Smith Kipp, profesor antropologi University of Michigan, AS, yang dalam Beyond Samosir: Recent Studies of the Batak Peoples of Sumatra sempat “mengakui” begini: ”Sebagai ahli tentang Indonesia dan antropolog, kita nilai berguna dan bahkan perlu adanya kategori Batak serta subkategorinya. Kategori dan subkategori itu melambangkan sebuah kepakaran tertentu, memungkinkan untuk melabel pengetahuan kita…. Kita menciptakan orang Batak.” Inilah yang dikatakan Perret sebagai manipulasi identitas kelompok etnis.
Perret sedemikian berhasrat untuk menggugat bangunan ilusif Barat semacam itu. Perret memahami benar bahwa, sebagaimana di Afrika, konsep kelompok etnis merupakan alat yang diciptakan dan digunakan pemerintah kolonial untuk mengontrol penduduk lokal. Dalam konteks ini, Batak dan Melayu merupakan entitas sosial yang bergantung satu sama lain, berinteraksi dalam hal pengolahan lahan bahkan sampai berkeluarga, sejak setidaknya akhir milenium pertama Masehi hingga akhir abad ke-19.
Baca juga: Mengapa Orang Batak Suka Daging Anjing?
Baru pada paruh pertama abad ke-19, kata Perret, orang Barat mengutarakan pandangan dan menciptakan peta mereka berdasarkan serentetan perbedaan yang dianggap mendasar antara penduduk pesisir (Melayu) dan pedalaman (Batak). Batak adalah the others yang dianggap membahayakan Belanda dalam memperoleh konsesi dari para penguasa lahan, yakni sultan-sultan Melayu. Islamisasi orang-orang pedalaman, salah satunya, dianggap akan mengacaukan proses kolonisasi Sumatra, terutama lantaran Belanda juga tengah gencar-gencarnya menggulung gerilya prajurit-prajurit Aceh.
Untuk itu label dan kesadaran etnis ditumbuhkan, sampai-sampai memecahkan Perang Sunggal (1872), perang saudara antara etnis Batak dan Melayu. Sebutan Batak dikapling menurut batasan geografis, yakni mereka yang tinggal di pedalaman dan lereng pegunungan Bukit Barisan. Mereka inilah yang dalam literatur Barat disebut sebagai etnis kanibal dan kasar. Sebuah label etnisitas yang kini mengeram di kesadaran awam, yang terus bertahan sekalipun masa kolonialisasi Belanda telah tamat lebih dari setengah abad silam. Batak yang kita kenal kini sejatinya label budaya hasil konstruksi kolonial.
Jangan heran jika Anda menemui kata “Batak” yang diapit tanda kutip di sekujur halaman buku ini. Di titik itulah, pemahaman semiotik kita tentang objek etnis Batak terbangun, justru dari karya dekonstruktif dengan pendekatan sejarah. Buku Perret ini berhasil mendudukkan diri sebagai riset antropologi-historis seputar identitas Batak dan Melayu termutakhir yang monumental dibandingkan studi para etnolog Sumatra sebelumnya.
Baca juga: Melacak Jejak Kerajaan Panai di Tanah Batak
Sayang, Perret tak begitu saja menyerang para ahli etnografi dan pelaku kolonialisasi. Kelakuan mereka, dalam pandangan Perret, “tidak selalu berarti telah menciptakan satuan-satuan fiktif atau nama-nama secara acak, tetapi memberi kesempatan untuk memetakan gerakan pasang-surut berkaitan dengan identitas, yang dipastikan telah ‘menghidupkan’ berbagai jejaring dan ruang sepanjang zaman yang diteliti di sini.”
Saya rasa tak berlebihan bila kita menakar Daniel Perret dan karya ini sedalam tarikan napas Edward Said dalam buku Orientalisme-nya, “…mereka telah memahat suatu bidang kajian dan sekumpulan gagasan yang pada gilirannya menciptakan komunitas cendekiawan yang silsilah keturunan, tradisi-tradisi, dan ambisi-ambisinya bersifat intern bagi ranah kajian itu sendiri, bahkan bersifat cukup ekstern untuk menjadi prestise umum.” Prestise intelektual yang mendekonstruksi dikotomi budaya Batak dan Melayu.