TAK seperti saat ini, pada 1950-an dan 1960-an Negeri Paman Sam bukanlah tempat tinggal ideal bagi kaum homoseksual. Sebelum Perang Dunia II, masyarakat Amerika yang agraris sedang mengalami transisi menjadi masyarakat industri. Ini memberikan peluang bagi berkembangnya homoseksualitas. Keluarga tradisional tak lagi menjadi satu-satunya pilihan bagi individu. Bermunculan kota-kota besar, di mana individualitas dan otonomi menjadi ciri utamanya. Kehidupan pribadi yang bebas menjadi sepenuhnya hak individu.
“Afeksi, hubungan intim, dan seksualitas berpindah dengan cepat ke ranah individu, yang seolah-olah terputus sepenuhnya dari cara masyarakat memproduksi barang-barang yang dianggap vital bagi keberlangsungan hidup (individu),” tulis John D’Emilio dalam Sexual Politics, Sexual Communities: The Making of a Homosexual Minority in the United States, 1940-1970. Di kota-kota besar New York, Chicago, Los Angeles, San Fransisco, New Orleans, dan Miami, homoseksualitas mulai terlihat.
Namun mulai merebaknya homoseksualitas tak diikuti kondisi sosial-politik yang kondusif. Orang Amerika umumnya memandang homoseksualitas sebagai suatu bentuk “kelainan”. Tak jarang pandangan semacam ini muncul dalam pikiran kaum homoseksual. Sebagian dari mereka berusaha “menyembuhkan” diri dengan memilih preferensi seksual “normal”, menjalani pernikahan heteroseksual, atau menyembunyikannya rapat-rapat (in the closet).
Militer Amerika melarang keras homoseksualitas. Pasca-Perang Dunia II ratusan gay dan lesbian dipecat dengan tidak hormat dari kemiliteran. Pada 1953, Presiden Dwight D. Eisenhower menandatangani Surat Perintah 10450 yang memandatkan pemecatan semua pegawai federal yang homoseksual. Badan-badan pemerintahan dan perusahaan swasta ikut mengamini mandat itu.
FBI juga melaksanakan program pengawasan terhadap mereka yang dicurigai homoseksual. Menurut tulisan Reading Homosexuality in America di situs safezone.slu.edu, Jawatan Pos dan Giro Amerika ikut andil dengan meletakkan alat pelacak dalam surat orang-orang yang dicurigai homoseksual guna mengumpulkan bukti-bukti untuk memecat atau bahkan menangkap mereka di kemudian hari.
Paul Welch dalam “Homosexuality in America”, yang dimuat majalah Life, 26 Juni 1964, menulis bahwa sesungguhnya tak ada hukum yang secara spesifik melarang homoseksualitas di negara bagian manapun di Amerika. Hukum melarang tindakan seksualnya. Sebagai misal, hukum Amerika menganggap aktivitas seksual dalam bentuk apapun yang tak punya kemungkinan prokreasi sebagai tindakan kriminal. Ini memberikan dasar bagi polisi di negara bagian manapun untuk merazia dan menangkap homoseksual.
Pemukulan, pelecehan, dan dipermalukan di depan umum menjadi makanan sehari-hari homoseksual di masa itu. Lesbian dan waria kerap mengalami perkosaan dan pelecehan lainnya justru ketika mereka berada di kantor polisi. Dalam kondisi seperti inilah peristiwa Stonewall terjadi.
Dini hari, 28 Juni 1969, serombongan polisi berpakaian preman dari Kantor Kepolisian Sektor Enam New York yang dipimpin Deputi Inspektur Seymour Pine menyeruak masuk Stonewall Inn, sebuah bar di Jalan Christopher, Greenwich Village. Bar itu adalah salah satu tempat populer di kalangan homoseksual serta transgender New York.
Seperti biasa polisi meminta tanda pengenal para pengunjung, dan menggeledah beberapa di antara mereka. Tak seperti biasanya, beberapa orang menolak. Sementara di jalan, di luar bar, kabar tentang razia mengundang banyak orang untuk berkumpul. Tak berapa lama terdengar orang-orang meneriakkan “Gay Power” –sebutan saat itu untuk menyebut komunitas lesbian, gay, biseks, dan transgender (LGBT)– dan mengumpat tindakan polisi. Kekacauan mulai terjadi.
Kaum homoseksual yang selama ini tertekan seolah menemukan suara mereka yang hilang. Ratusan orang berkumpul di luar Stonewall Inn dan berteriak: “Out of the closets and into the street!” Keluar dari persembunyian dan turunlah ke jalan! Hingga tiga malam kemudian, kekacauan dan aksi protes digelar di jalan-jalan kota New York.
Stonewall menandai terbebasnya kaum homoseksual dari belenggu yang selama ini mengikat mereka. Allan Ginsberg, seorang aktivis politik-cum-penyair yang juga seorang homoseksual, datang ke Stonewall Inn beberapa hari setelah insiden. Mengamati kondisi bar itu dia mengatakan, “Para laki-laki di sana terlihat begitu cantik. Mereka tak lagi punya penampilan terluka seperti yang dipunyai seluruh kaum gay sepuluh tahun lalu.”
Stonewall juga menyulut aktivisme di kalangan homoseksual Amerika. Berdirilah Gay Liberation Front (GLF) yang resmi berdiri pada 15 Oktober 1969 dan Gay Activist Alliance (GAA) pada Desember 1969. GLF mengadaptasi pandangan politik, taktik, dan militansi organisasi kiri semisal National Liberation Front. Sementara GAA memfokuskan diri pada kebebasan berekspresi kaum gay. Sepanjang 1970, komunitas gay dan lesbian juga mendorong pemberlakuan hukum antidiskriminasi bagi homoseksual.
Sebelum peristiwa Stonewall, bermunculan berbagai organisasi yang bertujuan membela hak-hak kaum homoseksual, seperti organisasi gay Mattachine Society pada 1950 dan organisasi lesbian Daughters of Bilitis pada 1954. Namun kondisi politik sebelum Stonewall melemahkan organisasi-organisasi ini, sehingga kegiatan utama mereka hanya berkampanye untuk kaum heteroseksual bahwa homoseksualitas bukanlah ancaman dan tak akan mengganggu sistem nilai mereka.
Aktivisme yang disulut peristiwa Stonewall mencapai kemenangan lain, ketika American Psychological Association mencabut homoseksualitas dari daftar kelainan jiwa dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM) III pada 1973. Sementara pada 1977, untuk kali pertama seorang yang mengakui homoseksualitasnya terpilih sebagai pejabat publik; Harvey Milk memenangi pemilihan pejabat kota San Fransisco.
Meski Stonewall punya makna penting bagi gerakan LGBT di seluruh dunia, gerakan itu bukanlah satu-satunya. Di banyak negara Eropa sejak awal 1950-an terjadi peningkatan kesadaran akan hak-hak kaum LGBT. Muncul organisasi-organisasi yang punya kemiripan dengan The Mattachine Society atau the Daughters of Bilitis di Swedia, Norwegia, Prancis, Inggris, dan negara-negara lainnya. Di Belanda sejak 1946 berdiri Cultuur en Ontspanningscentrum (COC). Sementara di Denmark berdiri Forbundent League 1948. Di Zurich, Swiss sejak 1930-an terbit jurnal Der Kreis (Lingkaran) yang menulis aspirasi kaum LGBT di Eropa.
Negara-negara Dunia Ketiga juga punya gerakan serupa: Argentina mulai pada 1969, diikuti Meksiko pada 1971 dan Puerto Rico pada 1974. Dan sejak Stonewall, di Dunia Ketiga, “Banyak dari mereka menunjukkan keberanian luar biasa dengan membuka kehidupan mereka dan menuntut hak-hak mereka di tengah kebencian dan kekerasan,” tulis Peter Drucker dalam “In the Tropics There Is No Sin’: Sexuality and Gay-Lesbian Movements in the Third World”.
Di Indonesia, akhir 1960-an, kaum waria menjadi pelopor kehadiran seksualitas alternatif di masyarakat dengan berjuang meningkatkan kesejahteraan dan derajat mereka. Mereka kemudian mengorganisasi diri ke dalam Himpunan Wadam (Hiwad), kemudian menjadi Himpunan Waria (Hiwaria). Disusul kemudian dengan kaum gay dan lesbian, yang meski sembunyi-sembunyi di kantong-kantong aman.
Namun memang tak ada yang punya gaung sekuat peristiwa Stonewall. Hingga kini, peristiwa Stonewall menjadi bagian penting sejarah kaum LGBT.
[pages]