SAMBIL membawa kaleng kerupuk, Beny (diperankan Benyamin Sueb) buru-buru keluar rumah. Dia bingung. Mimin (Aminah Cendrakasih), gadis tetangga yang “bertamu”, datang sambil membawa sapu dan marah-marah.
“Biar lu lelaki, gue kaga takut,” kata Mimin.
“Sabar..sabar! I kan lagi latian lenong,” timpal Beny sambil senyum.
“Gue kaga peduli. Lo mau jungkir balik, kek, bukan urusan gue. Lo udeh bikin brengsek begini.”
“Kita kan bertetangga, udah pantesnya saling tolong-menolong. Betul nggak?”
“Iye kalo tetangga bener. Ini tetangga sarap, kaga punya otak, sedeng.”
Adegan pertengkaran pemuda Benny dan gadis Mimin yang bertetangga itu merupakan cuplikan film Raja Lenong (1975) yang dibintangi antara lain oleh Benyamin Sueb, Aminah Cendrakasih, Hamid Arif, dan Wolly Sutinah (Mak Wok). Film besutan Syamsul Fuad itu mengisahkan kehidupan Beny yang berprofesi sebagai pemain lenong kerap harus menelan pahit-getir kehidupan lantaran pandangan miring masyarakat terhadap profesi itu.
Namun dalam kehidupan riil, lenong justru betahan sebagai salah satu kesenian Betawi yang paling populer hari ini. Kemunculan lenong sebagai teater rakyat betawi diawali oleh beberapa pertunjukan lain di era kolonial seperti Komedie Stambul, gambang kromong, dan tontonan wayang baru seperti Wayang Sumendar, Wayang Senggol, dan Wayang Dermuluk. Kelompok sandiwara Dardanella yang populer kemunculannya juga terjadi pada masa itu.
“Lenong baru tumbuh dan berkembang sekira tahun 1920-an. Itu teater yang dipengaruhi oleh Komedie Bangsawan dan Dardanella. Orang-orang Tionghoa tidak mau kalah. Mereka membuat teater yang seperti itu,” kata peneliti budaya Betawi Rachmat Ruchiyat.
Sejalan dengan pernyataan Rachmat, penulis buku Seni Pertunjukan Kebetawian Julianti Parani mengatakan pada Historia, perkembangan Lenong di era kolonial didukung oleh kondisi Batavia yang multikultur. Selain orang Betawi, berbagai suku-bangsa mulai orang Eropa, Asia Timur, hingga budak-budak dari beberapa wilayah Nusantara mendiami Batavia. “Perkumpulan yang multikultural itu benar-benar bisa mendorong orang untuk berkesenian,” kata Julianti.
Dalam kehidupan kolonial, sambung Julianti, selain terdapat penderitaan kaum terjajah, di lain sisi juga memberi ruang kepada pendidikan dan kesenian untuk berkembang. “Betawi itu semacam muncul karena ada hubungan dalam kehidupan perkotaan. Saya nggak mau bilang seni urban karena itu konotasinya lain. Tapi memang perkotaan yang membentuk kesenian Betawi. Meskipun ada cerita rakyat seperti Si Pitung, itu adalah wujud kesenian dari hububungan masyarakat dengan kolonial. Jadi ada satu tantangan dalam kehidupan kolonial yang membuat orang bergairah untuk berekspresi.” ujarnya.
Lenong sebagai produk dari kondisi multikultural menampilkan cerita dari berbagai daerah. Dalam setiap penampilan lenong, terselip pantun-pantun dalam dialognya dengan musik gambang kromong sebagai pengiring. Penggunaan gambang kromong sebagai pengiring pertunjukan lenong diprakarsai oleh pemimpin penduduk Tionghoa di Batavia Nie Hoe Kong.
Nie menggunakan peralatan gambang, soekong, hosiang, tehian, gihian, kongahian, suling, kecrek, dan ningnong –sebagian dari peralatan ini masih digunakan untuk mengiringi lenong Betawi hari ini– dalam pertunjukan musiknya. Bunyi “nong, nong, nong” yang dihasilkan gambang kromong inilah yang membuat masyarakat menyebut pertunjukan drama itu sebagai lenong.
Namun, itu bukan-bukan satu-satunya versi kelahiran lenong. Menurut Ary Setyaningrum dalam skripsi berjudul “Dinamika Keseniang Lenong Betawi 1970-1990”, lenong berasal dari nama seorang saudagar Tionghoa, Li En Ong. Karena dia kerap menggelar pertunjukan untuk menghibur masyarakat, orang lalu menyebut pertunjukan itu dengan lenong.
Dalam perkembangannya, lenong terbagi menjadi dua: lenong dines dan lenong preman. Lenong dines muncul lebih dulu, menceritakan kehidupan raja-raja zaman dulu. Disebut dines karena pertunjukannya lebih resmi dibanding lenong preman. Pertunjukannya pun menggunakan Bahasa melayu tinggi dalam dialognya. Sementara, lenong preman muncul pada 1960-an. lenong preman lebih banyak menceritakan kehidupan sehari-hari masyarakat dengan bahasa Melayu dan pakaian sederhana.
Kemunculan lenong preman menggusur kepopuleran lenong dines meski tetap tak mematikannya. Pada 1968, lenong sebagai teater rakyat saban bulan diangkat ke panggung Taman Ismail Marzuki. Penontonnya selalu penuh. Popularitas lenong meroket hingga akhirnya diangkat ke layar lebar. Bukan hanya itu, popularitas lenong juga melahirkan seniman-seniman terkenal seperti Mak Nori, Nasir, dan Bokir, yang kerap main dalam film horor Suzanna. “Kejayaan ini betahan hingga satu dekade,” kata Julianti.