Masuk Daftar
My Getplus

Keluarga Reuneker yang Katanya Rumahnya Angker

Keluarga berdarah Belanda ini amat cinta Indonesia. Bahkan sebelum Indonesia merdeka.

Oleh: Petrik Matanasi | 30 Jun 2023
Ilustrasi rumah Reuneker di Salatiga, Jawa Tengah. (M.A. Yusuf/Historia.ID).

DI Salatiga, terdapat rumah tua yang punya reputasi sebagai rumah angker. Rumah tersebut berada di Jalan Pattimura. Banyak orang menyebut rumah itu sebagai rumah Reuneker. Keluarga Reuneker memang sangat terkenal di Salatiga.

Dulu, di Salatiga memang terdapat seorang arsitek Belanda bernama Johan Leonard Reuneker. Lebih dari separuh hidupnya dia tinggal di Salatiga.

Mantan Menteri Penerangan Boediardjo mengenal dekat keluarga Reuneker sedari remaja. Menurutnya, Johan Reuneker yang biasa disapa Romo Reuneker merupakan pecinta budaya Jawa. Saking cintanya, dia sampai mendirikan dan menjalankan kelompok sandiwara wayang orang yang cukup dikenal, Sri Koentjoro.

Advertising
Advertising

Koran De Locomotief edisi 13 Maret 1952 menyebut Johan Reuneker berusia 80 tahun ketika tutup usia di tahun 1952 dan pemakamannya pada Senin sore 10 Maret 1952 dihadiri banyak orang. Sebelum tutup usia, dia termasuk warga tertua Salatiga. Selain itu, sebelum tutup usia dia menjadi warga negara Indonesia dengan nama keluarga Kusumaatmadja.

Baca juga: Pilot Bumiputra Pertama

Dengan Siti Amanah istrinya, Johan Reuneker punya banyak anak. Salah satunya George Reuneker yang tentu punya wajah Indo. Menurut Marsekal Madya Boediardjo dalam Siapa Sudi Saya Dongengi, George yang biasa dipanggil Cok pandai menari. Sebab, Siti ibunda George masih terhitung saudara jauhnya.

Waktu Perang Dunia II meletus, George terkena wajib militer di bawah Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL). Boediardjo sudah duluan di KNIL sebagai petugas radio pada bagian penerbangan Militaire Luchvaart (ML) setelah gagal jadi pilot. Waktu Boediardjo dan George sama-sama berada di Cimahi, George mengajari Boediardjo tari Jawa.

Baca juga: PC2, Radio Penjaga Eksistensi Indonesia

Setelah KNIL kalah pada 1942, George jadi tawanan perang. Menurut kartu tawanan perang atas nama dirinya yang tersimpan di arsip nasional Belanda, George kelahiran 19 Januari 1917 dan berpangkat prajurit milisi zeni kelas dua dengan nomor stamboek 107917. Jabatan George adalah montir radio. Ketika tertangkap, George sedang bertugas di Magelang. George lalu ditawan di sebuah kamp tawanan Jepang di Pulau Jawa.

Sementara, istri George waktu jadi tawanan berada di daerah Krajan Dua, Salatiga, yang dilintasi Jalan Pattimura. Di sana, Johan Reuneker kata koran Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indië edisi 23 Agustus 1924 memiliki sebuah tanah di sana.

George baru dibebaskan pada 1945 usai Jepang kalah perang. Ia lalu berdinas lagi di ML KNIL. Sementara, Boediardjo sudah bergabung dengan tentara “Kiblik” dan kemudian menjadi kapten di Angkatan Udara Republik Indonesia (kini TNI-AU). Namun, George akhirnya berubah pikiran.

”Rupanya Mas Cok sendiri waktu berniat desersi dari ML, dan menggabungkan diri dengan TNI,” aku Boediardjo.

Baca juga: Kisah Tiga Pilot AURI

George memang akhirnya menyeberang ke pihak RI. Dengan menebeng kereta api dia tiba di wilayah republik dan diterima. Setelah bergabung dengan Angkatan Udara, ia diberi pangkat Opsir Moeda Oedara Satoe (setara letnan satu). Buku Awal Kedirgantaraan di Indonesia: Perjuangan AURI 1945-1950 (2005: 67) menyebut George pernah menjadi kepala bagian penerbangan sipil. George juga pernah menjadi kepala Biro Aero Club, sebuah organisasi yang mewadahi orang-orang yang punya minat ada dunia penerbangan.

Pada 1958, George keluar dari AURI dengan pangkat terakhir mayor udara. Sementara saudara jauhnya, Boediardjo, terus berkarir di AURI hingga berpangkat bintang dua dan menjadi dan menteri penerangan di masa Orde Baru.

George lalu jadi pengusaha. Bersama Ibnu Soetowo, direktur Perusahaan Minyak Nasional (kini Pertamina), dia menjadi importir pesawat. Mereka mendatangkan 5 unit pesawat Aero-commander dari Amerika. George Reuneker meninggal dunia pada 30 Januari 1974. Salah satu anak George, yakni Frank Delano Reuneker, juga terjun ke bisnis penerbangan. Frank adalah pendiri Airfast, sebuah perusahaan penerbangan yang jaya di era 1980-1990-an.*

TAG

salatiga

ARTIKEL TERKAIT

Peristiwa G30S di Kota Salatiga Jawa Terbelah Tiga di Salatiga Kisah Penyair Besar Prancis Jadi Serdadu di Salatiga Mutiara yang Hilang Tokio Jokio, Film Animasi Propaganda AS Masa Perang Dunia II Kisah Pemalsu Lukisan-lukisan Terkenal Ramalan-ramalan Tjokrokario Sebelum Ahmad Albar Sukses di Indonesia Di Balik Lagu “Nuansa Bening” Awal Mula Deodoran