PADA mulanya, suku-suku Indian meyakini benda bercahaya memiliki kekuatan spiritual, Sang Pemberi Kehidupan. Matahari, bulan, air sungai, dan batu mineral adalah jembatan yang melintasi kehidupan fisik dan spiritual.
Dengan kepercayaan ini, kilau mutiara menjadi “perwujudan rupa-rupa warna dan sensualitas cahaya kosmis yang menyatukan energi semesta,” tulis antropolog Nicholas J. Saunders dalam “Biographies of Brilliance: pearls, transformation of matters and being, c.AD 1492” (1999).
Bagi Kerajaan Spanyol, aura mewah mutiara adalah awal dominasi dunia. Selain emas, mutiara menjadi komoditas utama yang diharapkan Raja Ferdinand dan Ratu Isabella ketika membiayai perjalanan Columbus menemukan “dunia baru” pada 1492. Walau sempat membawa beberapa mutiara dalam dua ekspedisi awal, baru pada ekspedisi ketiga tahun 1498 kapal Columbus untuk kali pertama melewati perairan penghasil mutiara Cubagua (kini wilayah Venezuela).
Pertemuan ini sekaligus mengawali kegiatan “barter”; suku-suku Indian menukar koleksi mutiara mereka karena terpukau kilat gelas dan kaca yang dibawa rombongan kapal Spanyol. Sampai-sampai, seperti disebutkan George Frederic Kunz dan Charles Hugh Stevenson dalam The Book of the Pearl (2001), seorang awak kapal Columbus konon membanting mangkuk pecah-belah buatan Malaga dan menukar potongan-potongannya dengan seuntai kalung mutiara.
Baca juga: Negeri Berlian di Barat Kalimantan
Sejak itu, ambisi Kerajaan Spanyol menguasai mutiara pun meluas. Penerapan kerja paksa encomienda mulai diberlakukan pada abad ke-16 seiring penguasaan wilayah. Sejumlah besar laki-laki suku Indian, termasuk suku Lucayan yang mahir menyelam, menjadi budak penyelam mutiara di Cubagua sejak 1508. Dari pagi hingga sore, mereka menyelam dengan batu pemberat yang diikat di tubuh agar mudah meluncur ke kedalaman laut. Seutas jaring dililit di leher mereka sebagai tempat menaruh tiram mutiara.
“Tak ada yang lebih kejam dan terkutuk sepanjang riwayat Penciptaan dibandingkan kelakuan bangsa Spanyol memanfaatkan orang-orang asli untuk mengumpulkan mutiara. Sepanjang hari mereka dipaksa menyelam mencari tiram mutiara. Walau berhasil mengumpulkan tiram dan menyerahkannya kepada mandor Spanyol yang duduk di perahu, mereka tak bisa berlama-lama mengambil nafas. Mandor akan menarik rambut mereka, atau memukul dengan dayung sambil menekan kepala mereka agar kembali menyelam … Banyak penyelam hanya bertahan beberapa hari, sebagian mati tersedak oleh darah mereka sendiri akibat lamanya waktu menyelam, memar akibat pukulan mandor, atau oleh suhu air yang sangat dingin…,” kecam pastor Bartolomé de las Casas dalam A Short Account of the Destruction of the Indies (1552).
Kerja paksa ini diyakini menjadi salah satu faktor kepunahan suku Lucayan. Namun, keuntungan demi keuntungan menyebarkan demam mutiara di Eropa sepanjang abad ke-16 hingga ke-19, menenggelamkan keprihatinan atas nasib para budak penyelam Indian. Perhiasan mutiara menjadi status kaum bangsawan dan kelas atas. Tak hanya menghiasi leher jenjang para perempuan aristokrat namun juga menjadi ornamen kemewahan jubah dan tongkat kaum pria.
Baca juga: Pulau Emas di Barat Nusantara
Tingginya permintaan pasar mendorong pencarian tiram penghasil mutiara terbaik di belahan dunia lainnya. Salah satunya wilayah Laut Selatan –antara pesisir utara Australia hingga selatan China, yang menjadi habitat tiram jenis Pinctada maxima, penghasil mutiara putih keperakan atau keemasan yang berukuran besar. Dobo di Kepulauan Aru pada abad ke-19 terkenal sebagai penghasil mutiara Laut Selatan berkualitas tinggi.
“Kami mendarat di pagi hari dan menemukan Dobo, sebuah desa berukuran sedang yang cukup maju untuk sebuah tempat di ujung dunia seperti ini. Orang China, Arab, dan Melayu lalu-lalang di jalan besar, yang di sepanjangnya berjejer toko-toko. Di bawah naungan atap, sejumlah besar tripang dimasukan ke dalam karung untuk kami bawa ke perahu. Juga tumpukan cangkang tiram, di mana mutiara Aru yang indah berasal, tengah diatur dan dihitung untuk dikirim ke Eropa,” tulis Anna Forbes, istri naturalis Inggris Henry Forbes, dalam Unbeaten Tracks in the Islands of the Far East: Experiences of a Naturalist Wife in 1880s.
Nilai komersial mutiara Laut Selatan mendorong pedagang-pedagang asing, termasuk dari Australia, berdatangan ke Kupang dan pulau-pulau sekitarnya. Mereka mempekerjakan penduduk setempat sebagai penyelam mutiara. Salah seorang di antaranya, Henry Taunton, menulis proses perekrutan dalam Australind: Wanderings in Western Australia and the Malay East (1903). Menurut Taunton, kapten kapal terlebih dulu membayar biaya keamanan sejumlah awal kapal kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendapat izin berlayar ke pulau. Setibanya di pulau, kapten kapal memohon kepada penguasa setempat untuk bisa mempekerjakan penduduknya sebagai penyelam. “…tidak seperti penyelam Aborigin yang mau dibayar dengan makanan seadanya dan tembakau, penyelam-penyelam lokal meminta bayaran dalam mata uang setempat dan makanan khas daerahnya,” tulis Taunton.
Pada masa yang sama, keterampilan menyelam orang Jepang menjadi andalan industri mutiara. Hiroshi Shimizu dan Hitoshi Hirakawa dalam Japan and Singapore in the world economy (1999) menulis, beberapa pedagang dari Inggris pada 1893 mengirim sepuluh penyelam Jepang ke Dobo.
Seperti penyelam lokal, penyelam Jepang menghadapi medan berbahaya; kedalaman penyelaman mencapai 45,5 meter. Hosaka Hikotaro dalam A Survey of the South Seas (1916) menyebut banyak penyelam Jepang meninggal akibat penyakit atau kecelakaan. Namun, tingginya upah nelayan Jepang per musim untuk masa itu, sekitar 400-500 yen, membuat pekerjaan ini tak pernah sepi peminat. Hingga 1908, Shimizu dan Hirakawa mencatat 500 penyelam dan operator kapal Jepang di Dobo.
Baca juga: Kembalinya Berlian Lombok dari Belanda
Industri mutiara di perairan Laut Selatan terus mendatangkan keuntungan, kendati sempat terhenti pada masa Perang Dunia II. Geliat industri ini disikapi dengan usulan pemotongan upah penyelam pada 1948 oleh sekelompok pengusaha mutiara Australia. Usulan pemotongan ini mendapat respon keras dari para penyelam Asia yang bekerja di sana. Sistem kerja indenture, yang dipakai untuk kontrak para penyelam Asia di Australia, hanya mengupah penyelam sesuai jumlah tiram yang mereka kumpulkan; pemotongan akan semakin menurunkan taraf hidup mereka. Di bawah pimpinan Samsudin bin Katib, seorang penyelam mutiara asal Ujung Pandang, para penyelam mutiara Indonesia-Melayu membentuk sebuah asosiasi di kota Broome, Australia dan menuntut upah minimum.
Akibat perannya dalam asosiasi, para pengusaha mutiara Broome memboikot Samsudin sebagai penyelam. Tanpa pekerjaan menyelam, Samsudin rentan terhadap ancaman pemulangan (repatriasi). Meski mendapat kritik dari berbagai golongan yang menentang perlakuan diskriminasi terhadap Samsudin, yang juga pernah bergabung dalam militer Australia pada Perang Dunia II, pemulangan Samsudin ke Indonesia akhirnya dilakukan pada 7 Oktober 1948. Samsudin, seperti dikutip dari situs Uncommon Lives, meninggal dunia di Singapura pada 20 Desember 1950 dan tak ada yang tahu apakah dia pernah kembali ke Sumatra.
Kini, pengerukan mutiara laut secara besar-besaran dalam waktu lama ternyata berdampak pada berkurangnya populasi tiram penghasil mutiara. Selain itu, lamanya waktu yang dibutuhkan tiram memproduksi mutiara membuat harga mutiara alami menjadi sangat mahal. Persediaan mutiara alami pun menjadi minim. Namun ini mulai teratasi ketika Kokichi Mikimoto mengembangkan teknologi budidaya mutiara di Jepang pada 1916. Teknologi penyisipan inti mutiara ke dalam mantel tiram ini sekarang diterapkan secara global, termasuk di perairan yang dulu menjadi penghasil mutiara alami.
Profesi penyelam mutiara perlahan meredup seiring kelangkaan mutiara asli.
“Mutiara-mutiara itu sekarang telah lenyap,” ujar Nicholas El Gato, seorang bekas penyelam mutiara berusia 75 tahun, kepada jurnalis Stephen G. Bloom dalam Tears of Mermaids: The Secret Story of Pearls (2011), dengan nada seperti sedang “menjelaskan kematian seorang anak,” tulis Bloom.
Baca juga: Emas Kegemaran Bangsawan Jawa
Sepanjang hidupnya, El Gato tinggal di Nueva Punta de Piedras, sebuah kota pelabuhan di selatan Pulau Margarita, Venezuela. Sejak berusia belasan tahun, El Gato bekerja sebagai nelayan sekaligus penyelam mutiara di Cubagua, pulau “temuan” Columbus, yang dapat ditempuh dalam hitungan menit dengan perahu motor dari de Piedras. El Gato mengenang masa-masa ketika mutiara Cubagua melimpah.
“Pemilik kapal sering menjanjikan kami pembagian keuntungan dari penjualan mutiara. Namun dia kerap kembali kepada para penyelam dan mengatakan bahwa negosiasi tak berjalan baik, dan kami tak pernah mendapat bagian keuntungan. Kami tak berani mempertanyakannya atau melakukan sesuatu yang dapat mengganggu pekerjaan kami. Kami hidup dalam kekhawatiran; jika kami tak melakukan apa yang diminta, kami akan kehilangan pekerjaan.”
Satu-satunya harapan mereka adalah menjual mutiara temuan sendiri. El Gato pernah menemukan sebutir mutiara berukuran lima milimeter dari tiram Pinctada imbricata pada masa mudanya. “Seorang pedagang berjanji untuk menjualnya dengan harga tinggi. Hari itu menjadi saat terakhir saya melihatnya maupun mutiara yang saya temukan.”
Sejak hari itu pula, sekitar lima puluh tahun silam, El Gato tak lagi pernah menemukan mutiara di perairan Cubagua.*