PADA awal abad ke-20, kesadaran menjaga kebersihan tubuh mulai berkembang di kalangan masyarakat Eropa dan Amerika Serikat. Mandi mulai rutin setiap hari untuk membunuh kuman dan menghindarkan diri dari berbagai penyakit. Kendati demikian, kepedulian terhadap bau badan masih tergolong rendah, hanya orang-orang tertentu, umumnya mereka yang berasal dari golongan atas, yang memandikan tubuhnya dengan parfum dan wewangian untuk menghilangkan bau tak sedap dari tubuh. Hal ini menjadi tantangan bagi berbagai produk deodoran maupun antiperspiran yang muncul di awal abad ke-20.
Pengembangan deodoran secara modern sesungguhnya telah berlangsung sejak akhir abad ke-19. Produk bernama Mum, yang diciptakan di Amerika Serikat pada 1888, disebut sebagai deodoran pertama yang dapat membunuh bakteri penghasil bau. Helen Pilcher menulis dalam Small Inventions That Made a Big Difference, Mum berbentuk seperti cream wax yang mengandung zat antibakteri dan dikemas dalam botol kaca kecil dengan tutup ulir. “Krim ini dioleskan ke ketiak, tetapi orang-orang menganggapnya terlalu berminyak dan berantakan saat digunakan,” tulis Pilcher.
Beberapa tahun berselang, pada 1903, muncul Everdry, antiperspiran pertama di dunia yang beredar di pasaran. Produk ini mengandung partikel kecil aluminium klorida, yang menyumbat pori-pori dan membantu mengurangi keringat. Meski begitu, produk ini juga tak luput dari masalah. Kandungan asam di dalam Everdry dapat menyebabkan iritasi kulit dan tak jarang meninggalkan noda pada pakaian setelah digunakan.
Baca juga:
Cara Orang Zaman Dulu Mengatasi Bau Badan
Di balik sejumlah masalah yang muncul akibat penggunaan berbagai produk pencegah bau badan modern, tantangan terbesar dalam memasarkan produk ini ada pada kondisi di mana orang-orang pada masa itu tidak secara terbuka membicarakan tentang keringat atau bau badan di depan umum. Mereka yang khawatir dengan keringat merembes melalui pakaian biasanya akan mengenakan pelindung pakaian, kapas atau bantalan karet yang diletakkan di area ketiak saat beraktivitas di hari yang panas.
Perubahan signifikan penjualan deodoran dan antiperspiran terjadi seiring munculnya Odorono pada 1910-an, yang menjadi pesaing utama Mum. Pengembangan produk ini berawal dari seorang ahli bedah bernama Murphey yang mencari solusi mencegah keringat terus muncul di tubuh dan tangannya saat melakukan operasi. Sang dokter mengetahui bahwa aluminium klorida dapat membantu mencegah keringat berlebih dan mulai mengembangkan produk deodoran dengan memanfaatkan kandungan tersebut.
Putri sang dokter, Edna Murphey, tertarik dengan penemuan ayahnya. Ia menguji produk yang dinamai Odorono (diucapkan Odour – Oh No) itu pada ketiaknya. Setelah dicoba, Edna meraskan kandungan di dalam deodoran itu dapat mencegah keringat berlebih yang muncul pada ketiak. “Ia dapat melihat potensi komersil dari produk temuan sang ayah, jika saja orang-orang dapat menyadari kegunaannya,” tulis Pilcher.
Kesempatan memasarkan Odorono secara lebih luas muncul pada 1912 melalui pameran Atlantic City. Kendati mulanya tak terlalu menarik minat para pengunjung, stand Edna Murphy mulai dilirik ketika cuaca panas menyengat –pameran tersebut berlangsung di sepanjang musim panas– membuat banyak pengunjung kepanasan dan keringat membasahi pakaian mereka. Ketertarikan terhadap Odorono pun mulai meningkat. Setelahnya, Murphy memiliki pelanggan di seluruh negeri dengan jumlah penjualan mencapai puluhan ribu dolar.
“Meski produk deodoran dan antiperspiran pada masa itu masih belum sempurna, manfaat-manfaat yang terkandung di dalamnya cukup dapat membantu menghentikan bau. Manfaat-manfaat ini cukup penting sehingga dalam beberapa tahun setelah diperkenalkan, satu produk, Odo-Ro-No, menjadi sangat sukses dan mulai diiklankan secara nasional pada 1914,” tulis Karl Laden dalam “Antirespirants and Deodorants: History of Major HBA Market”, termuat di Antirespirants and Deodorants.
Salah satu yang membuat popularitas Odorono meningkat adalah klaim bahwa produk ini mampu menghentikan keringat hingga tiga hari lebih lama dibandingkan deodoran maupun antiperspiran modern lainnya. Akan tetapi, seperti produk-produk lain yang serupa, Odorono juga menimbulkan masalah. Tak sedikit pelanggannya yang mengeluh produk ini menyebabkan rasa terbakar dan peradangan pada ketiak. Selain itu, Odorono juga merusak banyak pakaian mewah, besar kemungkinan karena kandungan asam dalam produk tersebut.
Baca juga:
Untuk menghindari masalah ini, para pengguna Odorono disarankan untuk menghindari bercukur sebelum menggunakan dan mengusapkan produk ke ketiak sebelum tidur, sehingga zat yang keluar dari produk itu dapat mengering secara menyeluruh. Di sisi lain, untuk meningkatkan penjualan dan menarik lebih banyak konsumen, Murphey memutuskan untuk menyewa jasa biro iklan New York bernama J. Walter Thompson Company, yang memasangkannya dengan James Young, seorang penulis naskah yang berperan besar dalam popularitas Odorono di kemudian hari.
Mulanya, Young berfokus pada upaya untuk melawan kepercayaan umum masyarakat yang menganggap bahwa mencegah keringat itu tidak sehat. Fakta bahwa deodoran ini dikembangkan oleh seorang dokter membuat pemasaran produk ini pada awalnya memanfaatkan hal tersebut untuk meningkatkan kepercayaan publik. Odorono mencoba menarik minat konsumen dengan menyampaikan informasi bahwa deodoran tersebut dirancang oleh seorang dokter, dan mencoba meyakinkan orang-orang bahwa “keringat berlebih” adalah kondisi medis yang memalukan dan perlu diatasi.
Meski hasil penjualan produk ini cukup mengesankan, Odorono menyadari masih lebih banyak orang yang belum menggunakan produk mereka karena menganggap bau badan sebagai hal yang umum terjadi pada banyak orang. Oleh karena itu, deodoran tersebut kini mencoba untuk bermain dengan pikiran dan standar ideal seorang wanita.
Alison K. Hoagland menulis dalam The Bathroom: A Social History of Cleanliness and the Body, iklan satu halaman penuh dari Odorono pada 1919, yang menunjukkan gambar seorang wanita dengan anggun menjangkau seorang pria, diberi judul “Dalam Lekuk Lengan Wanita.” Iklan di Ladies Home Journal edisi 1919 itu semakin menarik perhatian dengan subjudulnya yang bertuliskan, “Sebuah diskusi yang jujur tentang subjek yang terlalu sering dihindari,” yang menunjukkan bahwa konsumen mungkin tidak menyadari “pelanggaran sosial” yang dilakukannya.
Pelanggaran yang dimaksud dalam iklan itu adalah bau badan. Tak hanya menyebut bau badan yang tidak sedap lebih mungkin disadari oleh orang lain daripada diri sendiri, iklan itu juga menyiratkan pesan secara gamblang, “Jika anda ingin mempertahankan seorang pria, sebaiknya anda tidak berbau”.
Iklan Odorono sontak menarik perhatian para pembaca Ladies Home Journal yang kebanyakan wanita yang masih merasa tidak nyaman untuk membahas persoalan keringat dan bau badan. Sekitar 200 pembaca Ladies Home Journal merasa sangat terhina dengan iklan tersebut sehingga mereka memilih untuk membatalkan langganan majalah mereka. Meski begitu, setelah iklan ini muncul di surat kabar, penjualan Odorono pun meningkat pesat. Pada akhirnya, tak butuh waktu lama hingga produk lain melakukan cara pemasaran yang sama, yakni mengeksploitasi rasa tidak percaya diri wanita.
Baca juga:
Panduan Kebiasaan Mandi untuk Wisatawan Asing
Menurut Tracy Penny Light dalam “Consumer Culture and the Medicalization of Women’s Roles in Canada, 1919-39”, termuat di Consuming Modernity: Gendered Behaviour and Consumerism before the Baby Boom, iklan seperti itu meningkatkan jumlah konsumen deodoran dan antiperspiran di kalangan wanita, karena melalui iklan tersebut wanita didoktrin bahwa jika ingin berhasil dalam peran “alamiahnya”, mereka perlu membeli produk-produk yang disediakan untuk mengatasi berbagai masalah yang dapat menghambat kemampuan mereka untuk tampil terbaik.
“Wanita diharapkan tidak hanya terlihat cantik, tetapi juga wangi… Perusahaan Odorono menyatakan pada 1932 bahwa dengan menggunakan produknya, seorang wanita akan lebih mudah menemukan pasangan. […] Iklan deodoran lainnya mencatat bahwa bau keringat sangat sensitif dan dapat menyebabkan gangguan serius. […] Pesan yang disampaikan kepada para wanita oleh produk-produk konsumen adalah bahwa mereka membutuhkan cara-cara alamiah untuk terlihat dan wangi jika mereka berharap mendapatkan suami dan mempertahankannya,” tulis Light.
Di lain pihak, berbeda dengan wanita, bau badan justru tak dianggap sebagai masalah bagi pria karena hal ini dipandang sebagai bagian dari maskulinitas. Akan tetapi hal ini mulai berubah setelah Depresi Besar melanda Amerika Serikat pada 1930-an. Perusahaan deodoran dan antiperspiran mulai menyasar para pria untuk membeli produk mereka. Seperti halnya wanita, iklan produk tersebut juga memainkan rasa takut dan rasa tidak percaya diri para pria, khusunya dalam lingkungan kantor. Hal ini bersinggungan erat dengan awal mula diciptakannya Air Conditioner (AC). Kala itu deodoran diprediksi akan kehilangan pasar karena suhu dingin yang dihasilkan AC akan mengurangi keringat dalam tubuh.
Namun, iklan lagi-lagi berperan besar dalam mempertahankan penjualan produk deodoran dan antiperspiran. Iklan cetak awal untuk produk Arrid misalnya, menjelaskan secara gamblang bahwa keringat terdiri dari dua jenis, yakni keringat fisik dan emosional. Keringat fisik berasal dari pekerjaan dan olahraga, sementara keringat emosional muncul dari rasa gembira dan ketegangan.
“Bahkan pada saat yang tenang, keringat yang keluar secara tiba-tiba dapat membuat anda malu,” tulis iklan produk tersebut. Dengan demikian, tak butuh waktu lama hingga produk deodoran maupun antiperspiran berubah dari produk musiman yang banyak digunakan saat musim panas, menjadi produk yang digunakan kapan saja di sepanjang tahun.
Lambat laun deodoran dan antiperspiran menjadi produk yang tak hanya digandrungi para wanita. Masalah keringat dan bau badan pun menjadi perhatian para pria. Kehadiran deodoran roll-on pada akhir tahun 1940-an dan deodoran aerosol pada 1950-an mendorong diciptakannya produk khusus untuk pria, dengan nama-nama yang macho dan dikemas dalam wadah yang juga maskulin, seperti dalam botol yang terlihat seperti sebuah botol wiski kecil. Seiring dengan dikembangkannya formulasi yang lebih aman, serta kemasan produk yang lebih praktis bagi konsumen, deodoran maupun antiperspiran kini menjadi salah satu produk yang paling banyak dibeli oleh masyarakat.*