Masuk Daftar
My Getplus

Geco, Makanan Antik Warisan Karuhun

Kisah Mang Iding menjalankan usaha geco warisan kakeknya sejak 1930. Mencoba bertahan di tengah maraknya trend kuliner.

Oleh: Hendi Jo | 22 Jan 2016
Foto: Hendi Jo/Historia@2016

SIANG yang dingin di Cianjur. Hujan turun rintik-rintik, saat dua perempuan bule terlihat kebingungan di sekitar pertigaan Masjid Agung. Seorang lelaki muda kemudian menghampiri mereka dan menyapa. Usai berbicara sekitar tiga menit, sang lelaki kemudian mengantar mereka ke suatu sudut di kawasan tersebut dan menunjuk tempat yang mereka sedang cari.

“Ternyata mereka mencari tempat mangkal saya,” ujar Zainuddin (60), penjual geco terkenal di Cianjur.

Geco adalah makanan lawas dan khas dari kota tauco, Cianjur. Bahan utamanya adalah tauco khusus Cianjur  yang dibungkus  karakas (daun pisang yang sudah tua), taoge segar yang direbus setengah matang, ketupat, potongan kentang kecil, potongan telur rebus, mie aci (sejenis mie yang terbuat dari kanji), cuka lahang (cairan fermentasi dari pohon enau), kecap manis dan sambal cabe rawit. Karena menggunakan bahan utama taoge dan tauco, itu sebabnya disebut geco.

Advertising
Advertising

“Tauconya dibuat seperti saus yang diracik menggunakan bawang putih, cabe merah, ketumbar dan sedikit kemiri, kemudian disiramkan ke bahan-bahan tadi,” ungkap lelaki yang biasa dipanggil langganannya Mang Iding itu.

Sudah 16 tahun Mang Iding berjualan geco. Kendati ada dua tukang geco lain di seluruh Cianjur, namun hanya geco yang diraciknya yang dikenal sebagai legenda. Itu wajar, jika mengingat racikan geco yang dikenal saat ini merupakan karya sang kakek yang bernama Noedji. Ceritanya, sekira 1930, Noedji yang merupakan penggemar tauco melakukan eksperimen dengan mencampur bahan-bahan yang sudah disebutkan di atas dengan siraman saus taco yang dibuatnya.

“Saat dicicipi para tetangga dan saudara-saudara lain, ternyata mereka suka…” kenang Iding.

Melihat respons yang luar biasa itu, Noedji memutuskan untuk berhenti menjadi buruh tani dan berpindah sebagai pedagang makanan hasil eksperimen-nya itu. Dengan cara dipikul, ia lantas menjajakan geco secara berkeliling. Dasar hoki Noedji memang di situ, hampir setiap hari dagangannya habis terjual. Dan peminat geco ini ternyata bukan saja dari kalangan orang-orang pribumi, para sinyo dan noni pun ikut-ikutan suka makanan tersebut.

“Makanya sekarang saya sering di datangi orang-orang Belanda. Rupanya mereka itu cucu atau cicit para sinyo dan noni tersebut. Mereka penasaran akan kelezatan geco seperti diceritakan para leluhurnya,” ujar Iding sambil tertawa.

Noedji baru pensiun sebagai penjual geco keliling saat dirinya sakit-sakitan pasca 1945. Saat ia meninggal pada 1947, usahanya kemudian dilanjutkan oleh salah seorang dari 12 anaknya yang bernama Abdurachman, yang dikenal orang-orang Cianjur sebagai Mang Endul. “Semua ilmu pergecoan dari kakek saya tersebut turun kepada ayah saya tersebut,” ungkap Iding.

Geco Mang Endul memang sangat melegenda di kalangan orang-orang Cianjur. Dengan menggunakan bahan bakar dari kayu pohon karet dan wadah saus tauco dari tanah liat (kendil), banyak kalangan tua terkesan. Sebut saja salah satunya adalah Atikah. Perempuan sepuh asli Cianjur itu mengungkapkan bahwa tak ada penjaja makanan yang paling ditunggu orang Cianjur selain geco-nya Mang Endul.

“Waktu kami muda, jajanan yang paling sering kami beli yaitu geconya Mang Endul,” ujar nenek kelahiran 1946 tersebut.

Bukan hanya kalangan rakyat biasa, para pejabat dan keluarganya pun kerap membeli geco bikinan Mang Endul. Sebagai contoh, Djoearta lurah Desa Nagrak pada tahun 1950-an, kerap membeli geco Mang Endul. “Bapak tak jarang menyuruh saya membeli geco  itu ke kota,” kenang Tjutju Sondoesijah, 70 tahun, putra sang lurah tersebut.

Capek memikul dagangan kemana-mana, pada 1981, Mang Endul lalu membuat sejenis kedai sederhana di sekitar pertigaan Masjid Agung Cianjur. Hoki-nya pun terus berlangsung hingga ia wafat 19 tahun kemudian. Bisnis keluarga lalu dilanjutkan oleh Iding hingga kini. “Dari sekian anak-nya Bapak, hanya saya yang sanggup meneruskan usaha ini,” ujarnya.

Iding mengaku kesanggupannya tersebut lebih dikarenakan tanggungjawab moralnya sebagai salah satu keturunuan Noedji. Kendati usaha geco yang dijalaninya telah menjadikan anak-anaknya bersekolah dan berumahtangga, namun bukan semata-mata soal keuntungan yang dipikirkannya. “Geco ini sekarang sudah menjadi makanan antik dan bagi saya secara pribadi ini adalah pusaka karuhun (nenek moyang) yang harus saya lestarikan sampai mati,” kata Iding.

Meskipun sudah “diserang” oleh makanan-makanan terkini, Iding tetap yakin geco akan tetap bertahan sebagai makanan khas orang-orang Cianjur. Karena itu, sebagai bentuk kesungguhannya untuk melestarikan makanan warisan para leluhurnya, ia kini tengah “menyiapkan” salah seorang putranya untuk menjadi pewaris kedai geco yang berpenampilan sangat sederhana ini.

“Saya melihat dia berbakat untuk berdagang dan memasak, doakan saja…” ujarnya. Ya, semoga saja geco tetap menjadi makanan yang mengisi hari-hari orang Cianjur.

[pages]

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Musuh Napoleon di Waterloo Hina Diponegoro Mengisap Sejarah Vape Diangkat jadi Nabi, Bung Karno tak Sudi Frozen Food Mengubah Kebiasaan Makan Orang Masa Kini Jatuh Bangun Juragan Tembakau Bule Jalan Perjuangan Tak Berujung dalam Perang Kota Dari Penaklukkan Carstensz hingga Serangan VOC ke Kesultanan Gowa Jejak Sejarah Seluncur Es Konservator: Profesi Penjaga dan Perawat Koleksi Sejak Kapan Toilet Dipisah untuk Laki-laki dan Perempuan?