BIOSKOP kelas rakyat di Pasar Rumput, Manggarai, Jakarta, kedatangan calon penonton sejak sore. Calon penonton mengerumuni loket karcis demi beroleh kesempatan menyaksikan film pertama, pukul 18.15. Sejumlah kanak-kanak di bawah umur ikut masuk kerumunan. Rebutan karcis. Mereka mengabaikan papan peringatan “Untuk 17 tahun ke atas” pada poster film.
“Padahal saya percaya, mereka itu tidak mengetahui arti film yang hendak dipertunjukan itu. Hal ini di muka bioskop rakyat, tetapi keadaan ini pun tidak asing pula di muka bioskop cabang atas,” tulis BS, saksimata antrean bioskop, kepada majalah Wanita, No. 15, Agustus 1950. Dia menilai anak-anak tak bakal beroleh banyak faedah dari menonton film berkategori 17 tahun ke atas.
Menurut saksimata, anak-anak selayaknya menonton film untuk anak-anak. Misalnya The Little Ballerina dan Circus Boy. Dua film buatan Inggris ini pernah tayang di Garden Hall (Kebun Binatang Jakarta). “Anak-anak sungguh bergembira melihatnya, sebab hampir semua yang dipertunjukan itu dapat ditangkap oleh jiwa akal si anak,” tulis BS.
BS berharap perusahaan film nasional berkenan membuat film serupa. Sebab film untuk anak-anak masih amat jarang tayang di bioskop. Padahal anak-anak butuh tontonan untuk membantu tumbuh-kembangnya jiwa dan pikiran mereka.
Berniat memenuhi kebutuhan film untuk anak-anak, Perusahaan Film Negara (PFN) memproduksi film Si Pintjang pada 1951. “Dalam soal film anak-anak ini, Perusahaan Film Negara telah mempelopori membuatnya untuk ikut memberikan gambaran sebagian dari watak anak-anak yang beribu-ribu macam watak,” tulis Minggu Pagi, 9 September 1951.
Kotot Sukardi, sutradara dan penulis skenario Si Pintjang, memberi anak-anak terlantar ruang berekspresi. Dia mempercayakan pemeran utama film pada anak-anak itu. Cerita utama film pun seputar kehidupan anak-anak, korban pendudukan Jepang. Perang memisahkan mereka dari orangtua dan saudara kandung.
Tayang pada 1952, Si Pintjang hanya beroleh sedikit apresiasi. Salahsatunya dari Usmar Ismail, tokoh sohor perfilman Indonesia. “Si Pintjang film Kotot Sukardi yang pertama sebagai sutradara mempunyai arti penting karena pemakaian anak sebagai pemain dengan secara efektif,” tulis Usmar dalam Usmar Ismail Mengupas Film. Apresiasi lebih justru datang dari luar negeri. Panitia Festival Film Internasional Praha, Cekoslowakia, memberi Si Pintjang penghargaan pada 1952.
Begitu Si Pintjang hilang dari bioskop dalam negeri, film untuk anak-anak lainnya hadir menggantikannya. Antara lain Membalas Budi dan Si Melati. Sebenarnya banyak film menampilkan anak-anak sebagai pemeran. Tapi mereka tak lantas bisa berlabel film untuk anak-anak. Sebab cerita dan dialognya jauh dari dunia anak-anak.
Star Weekly, 5 Februari 1955, menyebut hanya ada tiga film untuk anak-anak buatan dalam negeri sejak 1926 hingga 1955 : Si Pintjang, Membalas Budi, dan Si Melati. Ini sangat sedikit dari total produksi film dalam negeri.
Publik, terutama guru dan orangtua, menyoroti kekurangan film untuk anak-anak. Mereka berpendapat film menjadi lapangan pendidikan ketiga, setelah rumah dan sekolah. Maka mereka minta perusahaan film lebih giat lagi memproduksi film untuk anak-anak.
Perusahaan film sulit memenuhi permintaan itu. “Secara praktis, membuat film anak-anak memang lebih sukar dari pembuatan film orang dewasa,” tulis Purnama, No. 1, 1961. Secara finansial, hasilnya pun kurang menguntungkan.
Kekurangan film untuk anak-anak berlanjut hingga 1970-an. Untuk mengatasi kekurangan film untuk anak-anak, pemerintah mengeluarkan kebijakan: tiap 10 film impor, harus ada 1 film untuk anak-anak. Demi terpenuhinya kebutuhan anak-anak terhadap film, pemerintah juga memotong dana pungutan film impor untuk anak-anak. “Dana untuk impor dewasa Rp250.000 per film, sedangkan untuk film anak-anak hanya Rp75.000 per film,” tulis Kompas, 30 April 1973.
Saat bersamaan, perusahaan film dalam negeri mulai berusaha kembali memproduksi film untuk anak-anak. Jumlah film untuk anak-anak pada 1973 mencapai 8 buah. Jumlah ini turun lagi pada tahun-tahun berikutnya. Sejumlah cendekiawan, budayawan, dan pendidik lalu menggelar seminar untuk membahas permasalahan film untuk anak-anak pada September 1988 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
“Membuat film anak-anak adalah pekerjaan sulit. Dan kalau mau membuat film anak-anak sebaiknya menjauhkan guru, ahli pendidikan, dan para ahli psikologi dari proyek ini,” kata Asrul Sani, budayawan sekaligus pembicara seminar, dalam Kompas, 30 September 1988. Dia lebih percaya pada orang yang pandai bercerita dalam urusan pembuatan film untuk anak-anak.
Memasuki 1990-an, film untuk anak-anak menggeliat kembali. Film Langitku, Rumahku karya sutradara Slamet Rahardjo meraih banyak penghargaan dari sejumlah festival film dalam negeri. Melihat pencapaian Langitku, Rumahku, produser film lebih berani memproduksi film untuk anak-anak. Setelah itu, film untuk anak-anak tumbuh bak cendawan di musim hujan pada 2000. Anak-anak kini punya banyak pilihan film.
[pages]