Wahyu Sardono atau Dono beken sebagai komedian grup Warung Kopi bersama Kasino dan Indro. Dia sudah marhum sejak 2001 menyusul Kasino. Tapi namanya tetap mentereng sampai sekarang. Filmnya diputar terus saban tahun. Malah belakangan namanya jadi bahan bincangan lagi di twitter setelah artikel lawasnya muncul.
Satu artikel Dono terbit di majalah Forum tahun 1993. Berjudul “Kisah Sertu Jumadi”, artikel ini bertutur tentang suka duka dan polah polisi lalu lintas bernama Jumadi. Artikel lainnya berjudul “Kelas yang Sibuk dengan Sendirinya” terbit di majalah Forum Keadilan, April 1996. Artikel ini berupaya mengidentifikasi secara ringkas kelas menengah di Indonesia.
Karuan banyak orang menaruh kagum pada Dono. Ternyata Dono bukan hanya komedian, tapi juga penulis. Begitu kesan mereka. Sesungguhnya ini bukan cerita baru. Atribusinya sebagai penulis memang sempat tenggelam. Padahal Dono telah meniti jalannya sebagai penulis sejak 1987.
Balada Paijo, Karya Pertamanya
Saat itu, Dono menerbitkan karya tulis pertamanya berbentuk kumpulan cerita humor dengan judul Balada Paijo. Covernya kocak. Karikatur wajah Dono dengan gigi besar nan menonjol. Di kepalanya ada bakul nasi enamel. Tangannya memegang pistol berisi bunga. Dia sedang menaiki kuda mainan menyerupai pemain kuda lumping.
Masa Dono menerbitkan karya pertamanya ini tercatat sebagai masa suburnya penerbitan buku-buku humor. Sebut saja buku-buku humor karya James Danandjaja, pengajar antropologi di Universitas Indonesia.
Dalam pengantar bukunya, Dono beberkan alasannya menulis kumpulan cerita humor. Dia terpengaruh maraknya buku-buku humor. “Orang pada membukukan cerita beginian. Saya pun ikut partisipasi! Kalau nggak kok kurang sip begitu. Apalagi saya dikenal kalangan lucu-melucu,” terang Dono.
Baca juga: Warkop, Ini Baru Namanya Mainan
Dono menempatkan tokoh bernama Paijo, seorang warga desa yang pindah ke kota, sebagai motor utama kumpulan kisah humornya. Dia sok kritis, sok tahu, dan sok peduli pada perubahan-perubahan sosial di sekitarnya akibat perkembangan teknologi dan pembangunan.
Latar belakang sebagai lulusan jurusan sosiologi Universitas Indonesia membantu Dono memotret persoalan desa dan kota. Semasa muda, dia menulis skripsi tentang status sosial ekonomi keluarga dan hubungannya dengan prestasi murid di Desa Delanggu, Jawa Tengah. Setelah berumur, dia mengungkapnya dengan gaya satire. Dan dengan gaya inilah dia menghidupi karya-karya fiksi selanjutnya.
Balada Paijo terbit dalam ukuran saku. Membacanya hanya butuh waktu setengah hari. Sekarang buku ini sudah langka di pasaran. Di situs jual beli online, seorang penjual buku lawas membanderol harganya Rp200.000.
Tokoh Mahasiswa
Setahun setelah Balada Paijo, Dono kembali menerbitkan buku. Kali ini berupa novel dengan judul Cemara-Cemara Kampus. Kisahnya berpusat pada kehidupan seorang mahasiswa-aktivis-kampus-calon-ketua-senat. Dono memperkenalkan tokoh ini dengan bahasa pop yang kocak, gesit, tapi pedih.
“Lelaki itu bernama Kodi. Aslinya sih Kodiat Suryokusumo... Sedikitnya ada delapan cewek yang pernah menutup buku hariannya dengan deraian air mata,” tulis Dono.
Putu Wijaya, sastrawan dan dramawan kenamaan Indonesia, menyebut Dono mampu menyusun adegan-adegan yang rapi dari awal novel. “Dono membawa pembaca memasuki perkenalan dan konflik,” ungkap Putu dalam “Bila Dono Bercinta”, ulasannya di Tempo, 10 Juni 1989.
Baca juga: Sindiran Sosial dalam Canda
Kodi menggunakan tampang gantengnya untuk memikat gadis-gadis, dari gadis di desanya sampai rekan kuliahnya di kota. Bahkan Wulan, gadis di desanya, dibikin hamil sebelum Kodi berangkat kuliah ke kota. Dia mengabari kehamilannya ke keluarga Kodi.
Keluarga Kodi lalu menyuruh Kodi pulang selekasnya tanpa memberitahu pangkal masalahnya. Kodi pun pulang karena mengira ibunya sakit. Sampai di kampung, Kodi baru tahu ternyata Wulan hamil. Dia bilang akan bertanggung jawab. Tapi dia harus menyelesaikan sekolahnya dulu.
Kodi kembali ke kota dan menjalani kuliah. Dia bertemu dengan mahasiswi bernama Arien yang baru putus dengan pacarnya. Pertemuan itu membuatnya lupa pada Wulan. Sebagai buaya darat, dia mendekati Arien dengan berbagai cara. Suatu hari dia menidurinya. Dono menuliskannya sebagai berikut:
“Tangan mereka menggapai-gapai puncak kenikmatan dan mereka pun berusaha terus meraihnya. Sepi di luar memperbesar nyala api, semuanya kini musnah terbakar.”
Baca juga: Kala Fisik Jadi Bahan Tawa
Singkat cerita, Kodi kena batunya sebagai buaya darat. Dia pergi ke Pandeglang untuk menenangkan diri. Yang mengagetkan, Dono mengakhiri novel ini dengan kalimat “UDAH AH! SEGINI AJA GUE CAPEK NIH!”
“Kalimat terakhir ini benar-benar kejutan, kurang ajar, dan bagus,” kata Putu. Punya semangat memberontak. Tapi menurutnya, semangat itu tak menjiwai seluruh novel sehingga membuat novel ini hanya sekadar “cerita pop yang manis”. Dia juga menyoroti mengapa Kodi tampil begitu perkasa, sedangkan perempuan hanya menjadi objek.
Di luar kritik tadi, Putu memuji gaya menulis Dono. “Bahasanya mengalir, banyak ungkapan spontan yang segar karena ‘ugal-ugalan’-nya persis.”
Reformasi dalam Novel
Setelah Balada Paijo dan Cemara-Cemara Kampus, Dono menerbitkan dua novel lagi yang berjudul Bila Satpam Bercinta (1991) dan Dua Batang Ilalang (1999). Keduanya masih mengambil sosok mahasiswa sebagai tokoh utamanya.
Bila Satpam Bercinta memuat kisah Pilus, mahasiswa asal desa terpencil yang bekerja sebagai satpam kantor untuk membiayai kuliahnya. Dia jatuh cinta pada Nadia, putri pemilik gedung. Tapi Pilus punya saingan seorang lelaki kaya bernama Brendi.
Baca juga: Reformasi atau Mati
Nadia memlih Pilus. Brendi tak terima keputusan itu. Dia menculik dan merogol Nadia. Laku durjana itu membuat Nadia hamil. Tapi Pilus tetap menikahinya dan membawanya menata hidup baru di desa. Di sini mereka bertemu banyak kesulitan. Dari keberatan orang tua Nadia terhadap pernikahan mereka, tirisnya keuangan keluarga, sampai gangguan dari Brendi.
Sementara itu, Dua Batang Ilalang merekam aktivisme mahasiswa sebelum dan selama Reformasi 1998.
“Gerakan mahasiswa ataupun respons pemerintah dalam novel disajikan dengan netral, maksudnya tidak terlihat keberpihakan penulis terhadap salah satu pihak antara mahasiswa atau pemerintah Orde Baru,” catat Ayuni Rianty dan Etmi Hardi dalam “Pengaruh Jiwa Zaman dan Latar Belakang Penulis dalam Dua Karya Novel: Laut Bercerita dan Dua Batang Ilalang”, termuat di Jurnal Kronologi, Vol. 2 No. 1 Tahun 2020.
Masalah Rumah Tangga
Dono mulai meninggalkan tokoh mahasiswa pada novel pamungkasnya, Senggol Kanan Senggol Kiri. Dono tak sempat melihat novel ini terbit. Dia wafat pada 2001, sementara novelnya terbit pada 2009.
Dalam Senggol Kiri dan Senggol Kanan, Dono mengisahkan hidup seorang karyawan pemasaran perusahaan farmasi bernama Bagus Anantakusuma atau Mas Gabus. Dia punya seorang istri dan dua anak. Keluarganya tinggal satu rumah dengan adik iparnya.
Sekali waktu Mas Gabus berselingkuh. Suyat, teman kantor Mas Gabus, mengetahuinya. Dia memanfaatkannya untuk meminjam uang dari Mas Gabus tanpa niat mengembalikannya.
Dono mengutarakan masalah keseharian rumah tangga kelas menengah: perselingkuhan, ketidakjujuran, pengasuhan anak, dan utang-piutang. Dia juga menyisipkan kritik sosialnya dalam sejumlah dialog. Misalnya saat perempuan selingkuhan Mas Gabus meminta sesuatu dengan kasar kepada asisten rumah tangganya (ART).
Baca juga: Kisah Pinah, Babu Bumiputra yang Bikin Belanda Gempar
“Nyuruh aja kok pakai bentak-bentak. Mending gajinya naik! Nanti kalau dilaporkan ke LSM Advokasi Pembantu, baru tahu. Didemo lu,” kata si ART.
Dalam adegan lain, Dono menyindir anggota parlemen. Ini muncul ketika Mas Gabus bertamu ke rumah selingkuhannya. Si ART menanyakan maksud Mas Gabus ingin menemui majikannya. Tapi jawaban Mas Gabus bertele-tele sehingga membingungkan.
“Situ itu kayak anggota parlemen saja, suka membuat konstituennya bingung,” kata ART kepada Mas Gabus.
Demikianlah gaya Dono mengungkap masalah keseharian di lingkungan yang dia pernah geluti: desa, kampus, kota, dan kantor. Dia mengungkap semuanya dengan cara jenaka, renyah, satire, dan ngepop.