LEWAT karya terbarunya, Kucumbu Tubuh Indahku, Garin Nugroho mengajak penonton untuk berdialog dengan sejarah lewat perjalanan seorang penari lengger. Ide cerita itu terinspirasi dari kisah hidup Rianto, penari dan koreografer internasional asal Banyumas, Jawa Tengah. “Garin melihat tubuh saya, yang seorang penari, sebagai perpustakaan budaya,” kata Rianto pada Historia.
Dalam Kucumbu Tubuh Indahku, Garin menggambarkan kehidupan seorang penari lengger yang harus menampilkan sisi maskulin dan feminin. Tokoh utamanya, Juno, dikisahkan dalam tiga masa: kecil (diperankan Raditya Evandara), remaja (Muhammad Khan), dan dewasa (Rianto).
Bagian yang paling sulit, kata Garin, adalah menggambarkan Juno remaja yang mulai terlihat sebagai lelaki gemulai. Garin bersama timnya berusaha menangkap momen bagaimana sisi feminin hadir dalam tubuh lelaki Juno dan bagaimana ia menjadikan tubuh lelaki (lewat tokoh petinju) sebagai pusat perhatian.
Baca juga: Mencintai Tubuh dan Sejarah Kelamnya
Muhammad Khan, pemeran Juno remaja, bekerja keras untuk dapat menampilkan hal tersebut. Khan, begitu ia di sapa, melakukan diskusi panjang dengan Rianto yang mementorinya. Selama syuting, Khan tinggal sekamar dengan Rianto untuk lebih menyatukan tokoh Juno remaja dan Juno dewasa. Untuk mendalami karakter femininnya, Khan pernah mejajal tidur dengan penuh make up dan mengenakan pakaian perempuan.
“Aku mau merasakan terbangun sebagai perempuan. Karena dalam akting, teknik bisa dipelajari tapi rasa harus dibangun. Kalau tidak bisa menemukan rasa feminin itu, dalam gerak tubuh pun tidak akan keluar,” kata Khan pada Historia.
Kisah penari lengger dipilih untuk menjadi contoh keberagaman ekspresi seksual. Lengger merupakan kesenian yang ditarikan lelaki dengan berdandan ala perempuan. Kesenian ini sudah hadir di tengah masyarakat Banyumas sejak lama dan tercatat dalam Serat Centhini yang keluar pada 1814.
Pengambilan cerita ini tentu menjadi kontras di tengah konservatisme sebagian kelompok masyarakat. Rianto mencontohkan, beberapa rekannnya mantan penari lengger terkenal urung kembali menari karena mendapat tekanan dari masyarakat. Pun, lewat tokoh warok yang menjadikan Juno sebagai gemblaknya, Garin membuat pernyataan bahwa hubungan sesama jenis bukan hal baru dalam budaya Indonesia.
Baca juga: Tarian Penanda Singgasana Sultan
Pemilihan lengger dan reog merupakan usaha Garin mendekatkan tema-tema tersebut pada penonton. Menurutnya, tema serupa seringkali ditampilkan dengan latar belakang masyarakat urban, bukan di pedesaan yang sebenarnya lebih terhubung dengan penonton. “Harus ada penghormatan pada cultural diversity, tidak ada diskriminasi, kekerasan, dan sejenisnya. Saya mencoba menemukan dialog lewat sejarah tubuh seniman,” kata Garin pada Historia.
Lebih jauh, Garin tidak hanya memaknai tubuh semata wujud fisik. Ia juga merupakan metafora tentang sebuah bangsa. Ada banyak persoalan yang diangkat Garin dalam film kesembilan belasnya itu. Selain tentang gender dan seksualitas, ia juga menyinggung perihal memori sebuah bangsa yang dikubur dan enggan dibicarakan karena menimbulkan trauma.
Padahal, menurut Garin, trauma bangsa justru harus dibicarakan dengan tuntas agar tidak melulu berulang. Isu G30S yang sengaja dihadirkannya, misal, merupakan salah satu kasus sejarah yang hingga kini masih berlarut-larut dan jauh dari selesai. “Karena trauma terbesar bangsa ini adalah masalah tahun 1965. Memang tentang metafora, bahwa tubuh kita terperangkap dalam trauma yang tidak dipecahkan,” kata Garin.
Baca juga: Memaknai Ulang Tari Jawa
Ia mencontohkan, keluarga-keluarga yang tersangkut masalah politik besar, seperti peristiwa 1965, berusaha bertahan hidup dengan menutup diri dan harus hidup dengan diri sendiri. Representasi itu ditampilkannya lewat tokoh Bibi si penjual ayam yang diperankan Endah Laras dan pakdhe penjahit (Fajar Suharno) yang hidup sendiri lantaran trauma politik yang tidak dipecahkan.
Dengan banyaknya pesan yang dibawanya, Kucumbu Tubuh Indahku menyabet enam penghargaan internasional pada 2018. Dua di antaranya yakni Best Cultural Diversity Award dari Unesco dalam Asia Pasific Screen Awards, Australia dan di Venice Independent Film Critic, Italia. Film teranyar Garin ini pun sudah diputar di 31 festival film internasional di berbagai negara. Di bioskop Indonesia, film yang punya judul lain Memories of My Body ini rilis sejak 18 April 2019.
Baca juga: Paradoks Centhini