PADA 1824 terjadi kehebohan di Keraton Surakarta. Seorang selir, dengan memainkan peran maskulin, kedapatan berhubungan seks dengan selir lainnya. Pakubuwono V juga menemukan para selirnya melakukan masturbasi bersama dengan menggunakan lilin yang dibentuk seperti alat kelamin laki-laki.
Sejak itu dia tak memperbolehkan para selirnya tidur dalam ruang tertutup. Dia memerintahkan agar para selirnya tidur di depan kamarnya setiap malam. Mereka berbaring berjajar dalam masing-maisng berjarak enam kaki. Pakubuwono V rupanya khawatir para selirnya akan lebih menyukai bentuk aktivitas seksual “alternatif” itu alih-alih berhubungan dengan laki-laki.
Skandal itu, sebagaimana dikutip Saskia Wieringa dan Evelyn Blackwood dalam antologi Hasrat Perempuan, dicatat penerjemah Belanda yang dekat dengan kalangan keraton Surakarta, JW Winter, pada 1902.
Selir, dalam bahasa Jawa Halus disebu garwa ampeyan, adalah seorang perempuan yang diikat tali kekeluargaan oleh seorang lelaki tapi tak berstatus istri. Status selir berada jauh di bawah permaisuri. Artikel berjudul “Atas Nama Kekuasaan dan Seks”, yang dimuat majalah Tempo pada 12 September 1987, menulis bahwa tak ada batas berapa banyak seorang raja boleh memiliki selir. Hamengkubuwono boleh memiliki hingga 30 selir, Hamengkubuwono II memiliki 4 permaisuri dan 26 selir. Pakubuwono X menjadi raja Jawa dengan selir terbanyak, 40 orang.
Raja tak bisa sembarangan jika ingin bertemu dengan selir. Seorang punggawa dengan tugas khusus mengatur jadwal pertemuan. Ini dilakukan agar setiap selir mendapat giliran dan menghindari raja hanya memanggil selir yang dia ingat.
Selir dan anak-anak mereka yang masih kecil beserta pembantu perempuan biasanya ditempatkan di dalam keputren yang amat tertutup. Letak keputren biasanya berada di lingkaran terdalam keraton. Menurut Nancy K. Florida dalam Writing The Past, Inscribing The Future, setidaknya hingga abad ke-19, satu-satunya lelaki yang memiliki akses masuk ke keputren Surakarta hanyalah Sultan.
B.J.D Gayatri, seorang feminis Indonesia, berdasarkan apa yang dia pelajari dari almarhum neneknya yang tinggal di dalam tembok istana Yogyakarta, menurutkan kepada Saskia Wieringa bahwa keputren adalah sebuah tempat eksklusif yang merupakan domain perempuan. “Dalam rumahtangga poligini tersebut para perempuan dalam keputren terlibat persahabatan dengan perempuan, yang kemungkinan besar melibatkan keintiman seks sesama jenis, tanpa perlu khawatir (terungkap hubungan itu),” tulis Saskia Wieringa dalam “Reformasi, Sexuality and Communism in Indonesia”, makalah untuk konferensi pertama Seksualitas dan HAM di Manchester, Juli 1999.
Sejumlah kakawin, syair-syair dalam bahasa Jawa Kuno, seperti Kresnayana, Gatotkacasraya, dan Sutasoma juga membahas banyak aspek kehidupan para perempuan keraton. Namun, menurut Helen Creese dalam Women of the Kakawin World, seksualitas perempuan yang ditampilkan dalam kakawin nyaris seluruhnya heteroseksual. Padahal para perempuan bangsawan itu berbagi tempat tidur dan hidup dalam kontak yang intim satu sama lain. “Bahkan dalam sebuah dunia terkungkung yang seluruh isinya adalah perempuan, interaksi seksual sesama jenis (nyaris) tak pernah digambarkan,” tulis Creese.
Hanya kakawin Hariwangsa yang agak eksplisit menggambarkan interaksi seksual sesama perempuan. Ini dapat dilihat dalam adegan Dewi Rukmini mencari penghiburan kepada Kesari, perempuan yang menjadi sahabat dekatnya sejak masa kanak-kanak.
“Siang-malam keduanya tak terpisahkan, saling menghibur; keduanya santai namun bersemangat. Ada waktu-waktu tertentu mereka membicarakan kesenangan yang bersifat erotis, tapi mereka membicarakan semua itu dalam kiasan. Ditingkahi derai tawa dan pandangan penuh arti yang mengandung gairah.”
“Jika Rukmini menangkap kesan bahwa Kesari berlaku seperti kekasihnya, dia paham bagaimana menanggapinya. Berpura-pura tenang dan tak memberi perhatian, lalu mulai merayu, berbicara, menanggapi –dan tiba-tiba berlaku berani. Namun dia tahu bahwa dia tak kuasa memenuhi hasrat Kesari.”
Yang menarik, meski keraton seolah tak mengakui keberadaan interaksi seksual semacam itu, bentuk-bentuk transgenderisme bukan sesuatu yang asing. Dalam epos Mahabarata dikisahkan bahwa Srikandi terlahir sebagai seorang perempuan, Dewi Amba. Bisma menolak Amba sebagai calon istrinya. Sakit hati, dia memohon kepada dewata. Doa itu dikabulkan, dia terlahir kembali sebagai Srikandi. Sebuah suara membisikkan kepada orangtuanya agar Srikandi dididik sebagai laki-laki. Orangtuanya memenuhi bisikan itu. Srikandi hidup sebagai laki-laki, dan suatu hari menikah. Tapi istrinya mencemoohnya ketika tahu Srikandi seorang perempuan. Srikandi patah arang, nyaris bunuh diri. Untunglah dia bertemu seorang pendeta yang kemudian memberinya kelamin laki-laki. Dia kembali ke istrinya, sudah jadi laki-laki, dan kemudian beroleh keturunan. Saat meninggal barulah dia kembali menjadi perempuan.
Peter Carey dan Vincent Houben dalam “Spirited Srikandis and Sly Sumbadras”, dimuat bungarampai Indonesian Women in Focus: Past and Present Notions karya Elsbeth Locher-Scholten dan Anke Niehof, merefleksikan sosok Srikandi yang androgini pada Prajurit Estri, sebuah laskar prajurit elit keraton yang seluruh anggotanya perempuan. Mereka memiliki keahlian berperang, dan terkenal mahir menembak jitu. Mereka juga menguasai seni dan kesusatraan. Menurut Carey dan Houben, sosok Srikandi dalam epos Mahabarata memberikan legitimasi kepada perempuan dalam laskar elit tersebut untuk “bertingkahlaku seperti laki-laki”, menguasai keahlian laki-laki, juga hidup tak bergantung pada orang lain.
Keraton Jawa juga mengenal Ardhnariswara, yang bagian kanan tubuhnya laki-laki (dewa Syiwa) dan bagian kirinya perempuan (dewi Shakti). Saskia Wieringa dalam makalahnya “Intersex and Transex in Asia”, mengutip Helen Creese, mengemukakan bahwa Ardhnariswara juga disebutkan dalam bentuk tantra dari yoga tentang cinta (yoga of love) di mana penyatuan antara Syiwa dan Shakti menciptakan “benih dunia” (windu). Penyatuan kosmik ini menghasilkan kepuasan seksual sekaligus kesejahteraan dunia; melambangkan kelimpahan hidup. Menurut Wieringa, penyatuan laki-laki dan perempuan dalam satu tubuh merujuk pada kehebatan spiritual sekaligus kenikmatan ragawi dari cinta.
Contoh lainnya, dewi Durga. Mengutip Alit Mookerje dalam Kali: The Feminine Force, Wieringa menulis ketika kekuatan kolektif para dewa laki-laki digabungkan dengan energi feminin Durga, dewa/dewi itu mampu mengalahkan iblis Mahisha yang mengancam akan menghancurkan para dewa. Proses terciptanya dewa/dewi dengan kekuatan super ini dikaitkan dengan energi luar biasa, yang memancarkan api ke segala arah. Inilah asal-muasal rahim bercahaya (flaming womb), sumber kekuatan dari Ken Dedes.
Ken Dedes, menurut Carey dan Houben, adalah sosok perempuan dengan kualitas Ardhnariswara. Dia adalah reinkarnasi dari Betari Durga. Ken Dedes memiliki kekuatan destruktif yang amat besar. Hanya lelaki luar biasa yang mampu menundukkan kekuatannya. Jika berhasil, lelaki itu akan beruntung, sebab perempuan titisan Durga memiliki kekuatan untuk memberikan kekuasaan dan bentuk legitimasi lain kepada pasangannya. Dan lelaki itu adalah Ken Arok, yang setelah menikahi Ken Dedes menjadi raja Tumapel –lebih dikenal sebagai Kerajaan Singasari– dan kelak menurunkan raja-raja di Jawa.