Masuk Daftar
My Getplus

Seniman Tunanetra di Balik Pengembangan Alat Musik Kolintang

Seorang seniman tunanetra di Sulawesi Utara mengembangkan alat musik kolintang. Kini kolintang ditetapkan sebagai warisan budaya takbenda oleh UNESCO.

Oleh: Amanda Rachmadita | 06 Des 2024
Nelwan Katuuk tengah memainkan alat musik kolintang. (Jessy Wenas, Sejarah dan Kebudayaan Minahasa).

UNESCO resmi mengakui kolintang bersama kebaya dan Reog Ponorogo sebagai warisan budaya takbenda (representative list of the intangible cultural heritage of humanity). Hal ini diumumkan dalam sidang ke-19 The Intergovernmental Committee for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage di Paraguay, Kamis (5/12/2024).

Alat musik pukul tradisional asal Minahasa, Sulawesi Utara ini diajukan untuk mendapat pengakuan UNESCO sejak 2023. Kolintang diajukan dengan skema extention alias penambahan. Pasalnya, sebelum Indonesia mengajukan kolintang, Mali, Burkina Faso, dan Pantai Gading telah lebih dulu mendaftarkan alat musik serupa bernama Balafon.

Pengakuan kolintang mencakup lima domain penting warisan budaya takbenda, yakni tradisi lisan, seni pertunjukan, praktik sosial dan ritual, pengetahuan ekologis, dan kerajinan tradisional.

Advertising
Advertising

Baca juga: 

UNESCO Tetapkan Naskah dan Arsip Sejarah Indonesia Sebagai Memori Dunia

Perkembangan kolintang berkaitan dengan seorang seniman tunanetra bernama Nelwan Katuuk. Pria kelahiran Kauditan, Tonsea, 31 Maret 1922 itu disebut sebagai pencipta kolintang di Sulawesi Utara pada 1940-an. Hal ini bermula dari ketertarikan Nelwan terhadap alat musik yang dimainkan para petani ketika beristirahat di kebun.

Nelwan yang kerap diajak ibunya ke kebun sering mendengar para petani mengetuk-ngetukkan kayu di waktu luang. Ia bertanya dari mana asal bunyi-bunyian tersebut. Mulanya, Clara, ibu Nelwan, mengatakan bahwa bunyi-bunyian yang didengar anaknya itu berasal dari beberapa potong kayu lunak yang diketuk-ketuk para petani. Namun, karena jawaban itu tak memuaskan hati Nelwan, ibunya kemudian menjelaskan bahwa bunyi yang didengarnya itu berasal dari suatu alat yang dinamakan kolintang oleh para petani.

“Ketika itu kolintang baru berupa empat atau lima potong kayu, yang dipakai adalah jenis kayu lunak yang dikeringkan. Setelah kering benar, maka kayu lunak yang ringan itu siap mengeluarkan bunyi-bunyian yang terasa aneh di telinga Nelwan waktu itu,” tulis Fendy E.W. Parengkuan dalam Nelwan Katuuk dan Seni Musik Kolintang Minahasa.

Kayu yang digunakan untuk membuat alat musik pukul itu adalah manderan atau wanderan. Potongan-potongan kayu yang sudah dikeringkan kemudian diletakkan melintang di atas sepasang batang pisang yang diatur sejajar. Untuk mengetuk, dipakai sepotong kayu atau ranting. Perbedaan ketebalan dan panjangnya potongan kayu menentukan nada yang dihasilkan.

Begitu gandrungnya anak bungsu dari delapan saudara itu terhadap alat musik pukul yang didengarnya membuat Nelwan meminta kepada ibu dan kakaknya untuk dibuatkan kolintang. Setelah dibuatkan alat musik dari kayu itu, Nelwan mengisi hari-harinya memainkan kolintang dan mengembangkan alat musik tersebut.

Nelwan tahu bahwa kolintang memiliki rangkaian nada yang dapat diatur sedemikian rupa. Pada 1942, ia meminta bantuan ibu dan kakaknya untuk mengumpulkan potongan-potongan kayu manderan lebih banyak dan ia sendiri yang akan menyusun potongan-potongan kayu itu. Ketekunanan Nelwan berhasil menciptakan 18 potongan kayu yang mewakili lebih dari dua oktaf.

Baca juga: 

Makam Plumbon Jadi Situs Memori CIPDH-UNESCO

“Tanpa disadari oleh siapa pun, seorang pencipta musik kolintang yang membuka pengembangan lebih lanjut telah muncul. […] Jari-jari tangannya penuh bekas-bekas sayatan pisau karena ia sendiri yang meraut batang-batang kayu manderan untuk mendapatkan nada yang sesuai. Penemuannya yang masih kasar itu dibawa pulang dari kebun ke rumahnya, “ tulis Parengkuan.

Alat musik yang diciptakan Nelwan menarik perhatian warga. Setelah mereka melihat pemuda itu memainkannya, mereka tahu bahwa alat musik itu mirip dengan yang biasa dibunyikan para petani. Salah satu yang membedakan adalah Nelwan menggunakan sepasang potongan kayu untuk dijadikan pemukul, untuk lebih menyerasikan bunyi yang muncul.

Seorang warga menyarankan Nelwan untuk meletakkan potongan-potongan kayu yang diletakkan di atas dua batang pisang sejajar agar ditempatkan di atas sebuah peti. Akan tetapi, karena membuat peti yang memiliki bidang atas cukup luas membutuhkan waktu lama, warga tersebut berkelakar agar Nelwan menggunakan peti mati saja.

“Semua yang hadir tertawa mendengarnya, namun Nelwan sendiri di dalam hatinya setuju dengan saran itu. […] Apa yang dikatakan warga itu terbukti, bagian atas peti mati ternyata cukup luas untuk menampung belasan potongan kayu tersebut. Nelwan yang duduk di atas kursi dengan memegang dua penggal kayu di kedua tangannya mulai memainkan kolintang di hadapan keluarga dan warga desa lainnya,” tulis Parengkuan.

Kolintang ciptaan Nelwan kerap digunakan untuk mengiringi berbagai lagu daerah. Ia juga memainkan kolintang untuk mengiringi lagu-lagu Jepang yang dinyanyikan anak-anak. Sehingga pihak Jepang tertarik dengan permainan musik Nelwan. Mulai tahun 1943, Nelwan mengisi acara mengiringi lagu-lagu Jepang di radio Jepang di Manado.

Setelah mengisi siaran di radio Jepang atau Kosokyoku, nama Nelwan semakin terkenal dan melekat dengan kolintang. Tak hanya mengiringi lagu-lagu Jepang, Nelwan yang membentuk orkes kolintang campuran dengan tambahan gitar dan bass, juga memainkan lagu-lagu berbahasa Indonesia dan daerah, yang di masa kolonial Belanda tak dapat disiarkan melalui radio.

Terkesan dengan popularitas Nelwan dan kolintang, Jepang menugaskannya untuk mengarang syair-syair dan lagu-lagu bahasa Jepang untuk kepentingan propaganda. Bersama dengan Eddy Wartz, seorang pekerja yang membangun jalan raya di dekat kediaman Nelwan, memadukan kolintang dengan tiga gitar serta satu musik bass.

Baca juga: 

Babad Diponegoro Jadi Warisan Ingatan Dunia

Sejak Nelwan mempopulerkan kolintang di Minahasa, orang-orang tertarik untuk membuat alat musik pukul itu dan memainkannya. Menurut Julinar Said dalam Ensiklopedi Tokoh Kebudayaan IV, aktivitas Nelwan dalam siaran-siaran melalui radio Jepang, NIROM di masa NIT (Negara Indonesia Timur), serta RRI sejak tahun 1950 memberikan andil besar terhadap perkembangan kolintang. Terlebih, Nelwan dengan orkes kolintang campurannya telah memainkan lagu-lagu daerah dan lagu lain yang populer kala itu.

Minat terhadap kolintang tak terbatas di wilayah Sulawesi. Bersama orkes kolintangnya bernama “Nasib”, Nelwan bertolak ke Surabaya untuk mengisi acara Kongres Pemuda pada 1957. Orkes kolintang Nelwan juga diundang ke Jakarta untuk mengisi acara Partai Nasional Indonesia pada 1965. Dua tahun sesudahnya, orkes kolintang Nelwan mendapat kesempatan siaran langsung di TVRI Jakarta.

Selain memperkenalkan kolintang, Nelwan juga produktif menciptakan lagu-lagu daerah di antaranya O Mamaku, Jam Pukul Lima, Ungkuanu Aku Ramoy, Woo Mangura-ngura, dan Mabiru-biru. Atas dasar ini pula ia dianugerahi piagam penghargaan sebagai Seniman Terbaik oleh gubernur Sulawesi Utara pada 23 September 1976.*

TAG

kolintang unesco

ARTIKEL TERKAIT

UNESCO Tetapkan Naskah dan Arsip Sejarah Indonesia Sebagai Memori Dunia Pemilihan Ratu Kebaya di Singapura Berkah Ditolak Jadi Tentara Kisah Jack, Primata yang Jadi Petugas Sinyal Kereta Mengenal Tang Soo Do dari Cobra Kai Burung Parrot dan Kisah Cinta Presiden Amerika Munculnya Si Doel (Bagian III – Habis) Munculnya Si Doel (Bagian II) Munculnya Si Doel (Bagian I) Rahayu Effendi Pernah Susah di Awal Karier