Babad Diponegoro Jadi Warisan Ingatan Dunia
Pengakuan UNESCO atas Babad Diponegoro menjadi kebanggan tersendiri di tengah kritisnya apresiasi dari dalam negeri.
PADA 21 Juni 2013, Organisasi PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Budaya (UNESCO) menetapkan Babad Diponegoro sebagai Warisan Ingatan Dunia (Memory of the World).
Babad Diponegoro merupakan naskah klasik yang dibuat ketika Pangeran Diponegoro diasingkan di Manado, Sulawesi Utara, pada 1832-1833. Babad ini bercerita mengenai kisah hidup Pangeran Diponegoro yang memiliki nama asli Raden Mas Ontowiryo.
Menurut P. Swantoro, isi dari Babad Diponegoro dibagi menjadi beberapa bagian kisah. “Sepertiga bagian dari Babad Diponegoro menceritakan sejarah Jawa dari jatuhnya Majapahit (1527) sampai Perjanjian Giyanti (1755). Duapertiga lainnya memaparkan keadaaan Kesultanan Yogyakarta dan riwayat hidup Pangeran Diponegoro sendiri dari saat kelahirannya pada 1785 sampai ia diasingkan ke Manado pada 1830,” tulis P. Swantoro dalam Dari Buku ke Buku: Sambung Menyambung Menjadi Satu.
Baca juga: Peter Carey dan Takdir Menemukan Pangeran Diponegoro
Kisah perjalanan hidupnya itu dituangkan dalam tembang Macapat di mana Pangeran Diponegoro menampilkan diri sebagai orang ketiga. Masa penulisan babad ini memakan waktu hampir sembilan bulan, dari 13 November 1831 sampai 3 Februari 1832, dan terdiri dari 1.151 halaman folio tulisan tangan.
Sejarawan Peter Carey, dalam bukunya Kuasa Ramalan, Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa 1785-1855 menyangsikan siapa yang menulis Babad Diponegoro, apakah Pangeran Diponegoro sendiri atau dia menunjuk seseorang untuk menuliskannya.
Pasalnya, menurut salah satu laporan Ajudan Gubernur Jenderal, Knoerle, yang ditugaskan mendampingi Pangeran Diponegoro menuju tempat pengasingannya di Manado, dia mendengar sendiri pengakuan Pangeran Diponegoro yang mengatakan bahwa kemampuannya menulis dalam bahasa Jawa sangat kurang. “Dat hij de Javaansche taal gebreking schreef,” tulis Knoerle sebagaimana terlampir dalam De Java Oorlog: 1825-1830, terjemahan Babad Diponegoro dalam bahasa Belanda.
Berdasarkan laporan itu, Peter Carey menduga, Diponegoro memberikan garis besar secara lisan, lalu sang penulis menuangkannya dalam bentuk tembang. Dugaan Carey, orang yang ditugasi menulis babad itu ialah Tumenggung Dipowiyono, ipar Pangeran Diponegoro yang ikut dibuang ke Manado.
Naskah asli Babad Diponegoro ditulis dalam aksara Arab Pegon. Naskah asli tersebut kemudian disalin ke dalam aksara Jawa. Babad Diponegoro juga diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda. Dikerjakan Palmer van den Broek, peneliti Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen pada 1877, terjemahan ini diberi judul De Java Oorlog: 1825-1830.
Baca juga: Arsip Konferensi Asia Afrika Menjadi Warisan Ingatan Dunia
De Java Oorlog terdiri dari enam jilid. Setiap jilidnya lebih dari 700 halaman, kecuali jilid VI yang hanya 375 halaman. Penggarapannya memakan waktu 15 tahun. Jilid pertama terbit pada 1894, sedangkan jilid terakhir terbit tahun 1909.
Babad Diponegoro pada 2012 diajukan secara bersama oleh Perpustakaan Nasional RI dan Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-en Volkenkunde (KITLV) ke UNESCO untuk diakui sebagai Memory of the World. Pengajuan bersama ini karena salinan naskah Babad Diponegoro yang ditulis menggunakan aksara Pegon tersimpan di Perpustakaan Nasional, sedangkan yang ditulis dalam aksara Jawa tersimpan di Belanda. Sementara itu, naskah aslinya sudah tidak ditemukan.
Sungguh suatu kebanggan bagi Indonesia atas apresiasi dari dunia terhadap warisan Indonesia yang terkadang justru dilupakan oleh bangsanya sendiri.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar