Rachmawati Sukarnoputri acapkali melihat pemandangan ganjil saat masih tinggal di Istana Negara. Kamar tidur ayahnya – Presiden Sukarno – penuh dengan buku-buku. Buku menjejali tiap sudut ruang. Tempat tidur, kursi, dan kamar mandi berubah fungsi menjadi perpustakaan.
“Bapak sangat kaya pengetahuan karena membaca,” kenang Rachma dalam memoar Bapakku Ibuku: Dua Manusia yang Kucinta dan Kukagumi. Tak melulu buku bertema berat. Si Bung juga melahap bacaan populer semisal majalah terbitan Amerika macam Vogue hingga Nugget.
Dokter pribadi Mahar Mardjono turut menyaksikan kegandrungan Sukarno terhadap buku. Mahar pertama kali memasuki Istana pada awal Agustus 1965. Ketika itu kondisi kesehatan Sukarno mulai menurun. Mahar dipanggil untuk mengobati Sukarno yang sedang pusing, sempoyongan, dan kerap muntah.
Baca juga:
Mahar berada di serambi Istana yang penuh dengan buku-buku berbagai bidang. Di serambi belakang Istana, tempat Sukarno bercelana pendek dan berbaring di atas tempat tidur, Mahar melihat berbagai surat kabar dan majalah, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris.
“Dari keterangan Mahar Mardjono, disimpulkan bahwa Presiden Sukarno sangat berminat membaca dan mengoleksi sejumlah buku,” tulis sejarawan Peter Kasenda dalam Bung Karno Panglima Revolusi.
Kutu Buku
Ketertarikan Sukarno membaca buku berawal dari perkenalannya dengan Haji Oemar Said Tjokroaminoto, pemimpin organisasi Sarekat Islam. Takala menempuh pendidikan HBS (setara SMA) di Surabaya, Sukarno mondok di kediaman Tjokroaminoto. Di bawah gemblengan Tjokro, pengembangan intelektual Sukarno terpupuk.
“Aku duduk dekat kakinya (Tjokroaminoto) dan diberikannya kepadaku buku-bukunya, diberikannya kepadaku miliknya yang berharga,” tutur Sukarno dalam otobiografinya Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Baca juga: Sukarno, Hatta, Sjahrir dan Buku
Selain pengaruh figur Tjokro, kemiskinan jadi pintu masuk bagi Sukarno menggumuli dunia literasi. Perpustakaan theosofi di Surabaya adalah tempat yang kerap disambangi Sukarno untuk menghabiskan waktu melahap buku politik. Kemudahan memperoleh bacaan di perpustakaan tersebut karena ayahnya, Raden Sukemi adalah seorang anggota perkumpulan theosofi. Di sana, dia mendapat kepuasan pengganti kondisi kekecewaan dalam pergaulan melalui bacaan.
“Buku-buku menjadi temanku. Dengan dikelilingi oleh kesadaranku sendiri aku memperoleh kompensasi untuk mengimbangi diskriminasi dan keputus-asaan yang terdapat di luar. Dalam dunia kerohanian dan dunia yang lebih kekal inilah aku mencari kesenanganku. Dan di dalam itulah aku dapat hidup dan sedikit bergembira, ” ujar Sukarno.
Menurut Peter Kasenda, kesenangan Sukarno membaca mengantarkannya berbincang secara mental dengan pemikiran bermacam ideologi. Mulai dari paham kebebasan ala Barat Thomas Jefferson hingga kesadaran kelas yang didengungkan Karl Marx. Sementara dalam kehidupan nyata, Sukarno menyaksikan negerinya yang miskin dan terhina karena terjajah. Bacaannya secara tak langsung membawa Sukarno ke gelanggang pergerakan.
Baca juga:
Repotnya Membawa Buku Bung Hatta
“Sukarno mulai memperbincangkan antara perdaban yang megah dari pikirannya dan tanah airnya sendiri yang sudah bobrok. Pemikiran ini akhirnya menyadarkan Sukarno menjadi seorang nasionalis yang menyala-nyala,” ujar Peter Kasenda.
Dari membaca Sukarno menuangkan gagasan menjadi beberapa artikel untuk majalah Oetusan Hindia. Dalam berkala milik Sarekat Islam itu, Sukarno mengambil nama tokoh pewayangan Bima yang artinya “Prajurit Besar” sebagai nama pena. Menurut pengakuannya, Sukarno telah menulis lebih dari 500 karangan.
Penulis Buku
Data selanjutnya tentang kegemaran membaca buku Sukarno dapat dilihat berbagai buku karangannya. Sepanjang hidupnya, Sukarno tergolong penulis produktif yang membukukan buah pikirannya. Beberapa diantara seperti Mencapai Indonesia Merdeka (1933), Lahirnya Pancasila (1945), Sarinah (1951), dan yang terpenting kumpulan tulisannya dalam Di Bawah Bendera Revolusi Jilid 1 (1959) dan Jilid 2 (1960). Dalam buku-buku tersebut, Sukarno selalu memberikan rujukan, baik nama pengarang maupun judul bukunya,
Suyatno kepala Perpustakaan Proklamator Bung Karno mencatat, dalam Sarinah ditemukan 153 orang laki-laki dan 71 orang perempuan yang pendapatnya digunakan sebagai rujukan. “Berarti jumlah pengarang/penulis yang dikutip Sukarno dalam buku Sarinah sebanyak 224 orang baik laki-laki maupun perempuan,” ujar Suyatno dalam Buletin Perpustakaan Bung Karno vol.2/2014.
Baca juga:
Berapa jumlah koleksi buku Bung Karno? Ketika diasingkan pemerintah Belanda ke Bengkulu jelang kedatangan Jepang, Sukarno memiliki 12 peti buku koleksi. Dalam buku Kisah Istimewa Bung Karno, rumah pengasingan Bung Karno di Bengkulu menyimpan sebanyak 400 buku. Seluruhnya berbahasa Belanda meliputi genre politik, seni, agama, sastra, dan kesehatan.
Pada 1968, Sukarno dipaksa rezim Orba meninggalkan Istana. Kolonel Maulwi Saelan - salah seorang ajudan Sukarno – melakukan inventarisasi terhadap koleksi buku di Istana. Dalam buku Dari Revolusi 45 sampai Kudeta 66: Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa, Maulwi mencatat koleksi buku Sukarno yang berjumlah hampir seribu buah.