Gus Dur dan Buku
Hidup di lingkungan pesantren tidak membuat Gus Dur jauh dari minat membaca. Bahkan sedari muda ia dikenal sebagai penggila berbagai bacaan.
Sosok Abdurrahman Wahid, akrab disapa Gus Dur, begitu terkenang di hati rakyat Indonesia. Presiden ke-4 RI ini dianggap reformis oleh kalangan santri. Hal itu juga menghilangkan kesan kolot dunia pesantren di mata masyarakat. Meski tentu saja anggapan tersebut tidak benar.
Hidup di lingkungan pesantren –sebagai cucu ulama besar KH Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU) juga Pesantren Tebu Ireng di Jombang, Jawa Timur– tidak serta-merta menghalangi minat baca Gus Dur. Tersedianya buku (berbagai jenis) dalam jumlah banyak, ditambah lingkungan keluarga yang mendukung membuat minat membacanya tersalurkan.
Ketika menempuh pendidikan di Yogyakarta, tahun 1950, di SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) Gowongan dan nyantri di Pesantren Al-Munawwir, Gus Dur semakin menikmati hari-harinya bersama buku. Dikisahkan Greg Barton dalam Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, Yogyakarta menjadi tempat Gus Dur menemukan berbagai jenis tema buku yang diinginkan. Ia bahkan sering mengunjungi toko-toko buku langganan mahasiswa UGM.
Baca juga: Sinta Nuriyah Berkisah tentang Gus Dur
“Sebagai seorang remaja, ia mulai bergulat dengan tulisan-tulisan Plato dan Aristoteles, serta pemikir-pemikir penting dari cendekiawan Islam abad pertengahan,” tulis Barton.
Kisah lain diceritakan Munawar Ahmad dalam Ijtihad Politik Gus Dur: Analisis Wacana Kritis. Ketika di Yogyakarta itu, Gus Dur bertemu dengan seorang guru bahasa Inggris bernama Rufi’ah. Selain diajarkan bahasa, Gus Dur juga dikenalkan dengan buku-buku para pemikir modern Barat. Sebut saja mahakarya Karl Marx, Das Kapital; novel-novel William Faulkner; filsafat Plato, Thalles; Little Red Book karya Mao Zedong; dan What Is To Be Done nya Valdmir Lenin.
“Ditunjang dengan kemampuan ingatannya yang luar biasa, Gus Dur mampu membaca beragam macam buku dalam jumlah besar dalam satu malam,” ujar Munawar.
Gus Dur menemukan pandangan baru tentang masalah-masalah kebangsaan dari buku-buku tersebut. Bahkan, kata Barton, Gus Dur gemar membaca biografi tokoh-tokoh besar Amerika, utamanya Abraham Lincoln, Harry S Turman, dan Franklin D Roosevelt. Cara mereka menghadapi berbagai persoalan politik di negerinya membuat Gus Dur kagum.
Baginya, bukan hanya sisi politik yang menarik untuk diikuti, tetapi tentang sifat-sifat manusia di dalamnya juga penting untuk dipelajari. Setiap tokoh dalam buku memiliki karakter masing-masing yang begitu menggambarkan keberagaman manusia. Menurut Munawar, Gus Dur suka mempelajari kepelikan sifat manusia.
“Dia membaca apa pun yang bisa didapatkan, terkadang dari perpustakaan ayahnya di Jakarta, atau dari orang lain yang memang mengetahui minatnya terhadap buku,” tulis Barton
Baca juga: Dahsyatnya Humor Gus Dur
Menginjak usia 22 tahun, Gus Dur menaruh minat pada masalah identitas umat Islam. Setelah lama bergumul di dalam teori sosial Barat yang liberal, ia beralih ke masalah fundamentalisme. Karya-karya intelektual muslim modern –misal Sayyid Quthub, Sayyid Ramadhan, Hasan al-Banna, dan Ali Abdul Raziq dari Al-Azhar, Mesir– mulai didekati. Harapannya, ia dapat menemukan jawaban tentang berbagai persoalan umat Islam di Indonesia, seperti kemiskinan, penindasan, dan ketidakadilan.
Upaya terjun langsung dalam masalah fundamentalisme terpaksa ditunda karena, pada 1963, Gus Dur harus terbang ke Kairo, Mesir untuk melanjutkan studi. Namun kegelisahan tentang umat Islam di Indonesia itu terbawa juga hingga ke Mesir. Ia pun mencoba mencari berbagai jawaban dari literatur-literatur yang ada di perpustakan Mesir.
Satu buku karya Aristoteles, kata Munawar, tentang etika yang dialihbahasakan oleh Ibn Khaldun ke dalam bahasa Arab, al-Akhlaq, dirasa memberi sedikit jawaban. Gus Dur lalu sadar jika segala ungkapan keislaman dan fundamentalisme tidak begitu saja dapat diterima. Alasannya karena dianggap bertentangan dengan ajalan Islam sendiri. Menurutnya, ekspresi keislaman dan fundamentalisme hanya akan berujung pada konflik.
“Ekses inilah yang bertolak belakang dengan keingintahuannya terhadap sifat kemanusiaan yang sedang ia cari,” ungkap Munawar.
Bacaan di Mesir
Mesir tahun 1960-an, sedang mengalami perkembangan yang pesat di bawah pimpinan Gamal Abdul Nasser, utamanya di bidang pendidikan Islam modern. Dalam buku Pejalanan Politik Gus Dur, disunting Irwan Suhanda, disebutkan bahwa Gus Dur merupakan mahasiswa di Departement of Higher Islamic and Arabic Studies, Universitas Al-Azhar. Tapi tercatat ia tidak berhasil menyelesaikan pendidikannya.
Baca juga: Mesir dan Kemerdekaan Indonesia
Selama di Mesir, Gus Dur bebas menikmati waktunya di perpustakaan-perpustakaan kota dan milik universitas, termasuk yang terbesar: Universitas Amerika di Kairo. Ia bisa seharian berdiam di perpsutakaan demi mengisi gairah membaca yang semakin tinggi di usia 25 tahun. Akses buku yang mudah didapat menjadi sebab utamanya.
“Bagi Gus Dur, Kairo merupakan tempat yang sibuk dengan kehidupan sastra, pencarian pengetahuan, dan ide-ide baru,” tulis Munawar.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar