Masuk Daftar
My Getplus

Bukan Zaman Roro Mendut

Rokok identik dengan laki-laki. Ia tabu bagi perempuan; bisa kena cap “jalang”. Perusahaan rokok menghalau stigma itu, dengan hasil yang jauh lebih mengerikan.

Oleh: Hendri F. Isnaeni | 15 Jun 2010
Lola Montez (kiri). Ilustrasi Roro Mendut (kanan) dari sampul novel "Rara Mendut" karya YB Mangunwijaya.

INGAT Roro Mendut? Seorang gadis cantik asal Pati yang hidup pada abad ke-17. Ia sering diasosiasikan dengan rokok lintingan, yang dia hisap lalu jual, sebagai bentuk perlawanan terhadap penerapan pajak dari Mataram. Di Jawa khususnya, perempuan merokok menjadi kelaziman. Penari sintren di Banyumas, misalnya, digambarkan suka merokok siong, dengan aroma kemenyan yang menyengat, sehingga ada merek Siong yang bergambar penari sintren.

Rokok mulai dikenal setelah Christopher Colombus menemukan kebiasaan merokok di kalangan lelaki maupun perempuan di sebuah benua baru yang kemudian dikenal sebagai benua Amerika. Kebiasaan merokok kemudian menyebar. Tapi rokok selalu diidentikkan dengan laki-laki. Perempuan yang merokok di depan umum dianggap “perempuan jalang”.

Pada 1851, seorang Amerika kelahiran Irlandia, Lola Montez, diambil gambarnya sedang memegang rokok di tangannya, yang bersarung tangan hitam, di sebuah studio di Boston. Foto Montez pun dianggap sebagai simbol perlawanan dan emansipasi perempuan. Tapi stigma terhadap perempuan merokok masih melekat kuat. Pada 1908, seorang perempuan di New York ditangkap karena menghisap rokok di depan umum. New York adalah kota yang galak untuk perokok perempuan karena memiliki Sullivan Act.

Advertising
Advertising

Perusahaan rokok tetap tergoda untuk menjadikan perempuan sebagai target pemasaran. Saat itu jumlah perempuan merokok di Amerika baru lima persen, dan mungkin mereka berpikir bisa menaikkan angka itu. Pada 1919, perusahaan rokok Lorillard memproduksi rokok untuk perempuan bermerek Helmar dan Murad. Iklannya menampilkan perempuan oriental yang menempelkan rokok di antara bibirnya. Upaya Lorillard gagal.

American Tobacco Company (ATC) berusaha mencari terobosan. Pada 1927, ATC sudah meluncurkan Lucky Strike untuk perempuan dan dikenal sebagai perusahaan rokok pertama yang menggunakan perempuan dalam iklan-iklannya. Salah satu iklannya menyampaikan pesan: “Reach for a Lucky Instead of a Sweet”.

Presiden ATC George Washington Hill pun meminta bantuan Edward Louis Bernays, yang dikenal sebagai pioner kehumasan. Bernays keponakan Sigmund Freud, pendiri aliran psikoanalisis. Dia menggunakan ide-ide dasar psikologi massa Freud untuk mendorong konsumen untuk membeli rokok. Menurut Jonathan Gabay dalam Soul Traders, Bernays bersimpati kepada Hill karena ATC telah kehilangan setengah dari pembeli potensialnya: perempuan. Bernays segera mengunjungi temannya, seorang psikolog A.A. Brill, yang juga pengagum teori-teori Freud. Bernays dan Brill mendiskusikan masalah yang dihadapi ATC.

“Menurut Brill, yang menjadi alasan utama perempuan tak merokok adalah alam bawah sadar mereka mengasosiasikan rokok dengan alat kelamin laki-laki, yang merepresentasikan kekuatan seksual laki-laki,” tulis Gabay.

Brill menulis, sebagaimana dikutip Bernays dalam The Engineering of Concent: “Beberapa perempuan menganggap rokok merupakan simbol kebebasan... Saat ini banyak perempuan melakukan pekerjaan yang sama dengan laki-laki... Rokok, yang diasosiasikan dengan laki-laki, merupakan obor lambang kebebasan.”

Konsep “obor kebebasan” bergema dalam benak Bernays. Yang harus dia lakukan adalah menemukan waktu dan tempat yang tepat untuk menyebarkan “obor kebebasan” itu ke seluruh dunia. Bernays mendapatkannya ketika kota New York menggelar Parade Paskah pada 1929, sebuah acara yang selalu mencuri perhatian publik.

Bernays menghubungi media. Dia mempersiapkan sepuluh perempuan yang disebut “Kontingen Obor Kebebasan”. Saat pertunjukkan, para perempuan itu mengelilingi Lucky Strike, membawa rokok yang disembunyikan di pakaian mereka dan kemudian, dengan pongah, menyulut rokok di depan publik. Foto-foto yang menunjukkan para pemberontak muda penuh glamor tengah mengisap “Obor Kebebasan” menjadi headline di berbagai media di dunia.

“Ketabuan telah dihancurkan. Pengahalang-penghalang telah diruntuhkan. Para perempuan mulai membeli rokok-rokok American Tobacco Company. Tak lama setelah acara itu, beberapa perempuan bahkan meminta agar dapat menjadi anggota klub merokok, yang seluruh anggotanya laki-laki,” tulis Gabay.

Merokok menjadi simbol perlawanan bagi perempuan.

Poster Lola Montez, sang pendobrak, muncul di mana-mana. Dalam waktu singkat, produsen rokok pesaing membuat dan memasarkan rokok khusus untuk perempuan. Camel, produksi perusahaan R.J. Reynolds, muncul dengan: “I’d Walk a Mile for a Camel – but a ‘Miss’ is as Good as a Mile”. Ada rokok bermerek Fems. Perusahaan rokok Inggris, Wills, bikin Rainbow. Philip Morris, yang berpusat di London dan membuka kantor di New York, meluncurkan Marlboro. Iklan-iklan Marlboro menampilkan seorang perempuan penuh gaya yang berpose di lokasi yang indah dengan slogan: As Mild as May. Iklannya berbunyi: “Apakah merokok lebih bertentangan dengan moral perempuan ketimbang mewarnai rambut?”

Perlahan jumlah perokok perempuan meningkat. Menurut Jordan Goodman dalam Tobacco in History, jumlah perokok perempuan di Amerika Serikat pada 1929 mencapai 14 juta atau 12 persen dari total konsumsi. Jumlahnya meningkat jadi 14 persen dua tahun kemudian dan 26,2 persen pada 1935.

Tapi penelitian akan bahaya rokok juga terus dilakukan, terutama bagi perempuan, yang menurunkan angka penjualan. Marlboro sendiri mengalami transformasi total: menjadikan rokok ini jauh dari kesan feminin dan menonjolkan maskulinitas dengan citra cowboy: “Come to Marlboro Country”.

Perusahaan rokok tetap berusaha mencari celah, dan mendapatkannya ketika muncul rokok filter rendah tar dan nikotin. Kembali rokok untuk perempuan marak. Pada 1960-an, perusahaan Ligget & Myers Tobacco Company mengeluarkan merek Eve. ATC mengandalkan Silva Thins dengan slogan: “Cigarettes are like girls. The best ones are thin and rich.” Philip Morris meluncurkan Virginia Slims pada 1968, dengan kampanye: “You’ve Come a Long Way, Baby”. Di Kanada, ada merek Matinee, Cameo, dan Contessa.

Di Indonesia, rokok untuk perempuan biasanya masuk kategori rokok premium yang rendah tar dan nikotin, yang dituding banyak kalangan sebagai trik untuk menarik konsumen perempuan.

Hingga kini, meski secara tersamar, sejumlah perusahaan rokok masih menyasar perempuan. Jumlah perokok perempuan juga masih tinggi. Data Badan Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan, dari 1 milyar perokok di dunia, jumlah perokok perempuan mencapai 20 persen atau sekira 200 juta orang.

Sekarang bukan zaman Roro Mendut atau Lola Montez, yang menjadikan rokok sebagai simbol perlawanan. Tak ada yang perlu dibuktikan dari aktivitas merokok, juga bagi laki-laki, kecuali dampaknya yang merusak kesehatan.

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Aksi Spionase di Balik Kematian Leon Trotsky Eks Pesindo Sukses Satu Episode Tim Garuda di Olimpiade Ibnu Sutowo dan Anak Buahnya Kibuli Wartawan Kisah Bupati Sepuh AS Kembalikan Benda Bersejarah Peninggalan Majapahit ke Indonesia Mata Hari di Jawa Menjegal Multatuli Nobar Film Terlarang di Rangkasbitung Problematika Hak Veto PBB dan Kritik Bung Karno