Masuk Daftar
My Getplus

Safari Ahmad Subardjo di Uni Soviet

Dalam kunjungan ke Uni Soviet, Ahmad Subardjo berkenalan dengan banyak tokoh pergerakan. Termasuk tokoh besar Islam asal Syria dan bangsawan terkemuka Rusia.

Oleh: M. Fazil Pamungkas | 02 Apr 2021
Ilustrasi Ahmad Subardjo. (Betaria Sarulina/Historia.id).

Pada suatu pagi di bulan Oktober 1927, sebuah kapal penumpang berangkat dari kota pelabuhan Stettin menuju lautan Baltik, dengan tujuan akhir Leningrad di Uni Soviet. Hari itu udara begitu dingin, dan angin bertiup cukup kencang. Hawanya semakin menusuk kala kapal bergerak menuju tengah lautan. Gelombang besar silih berganti menghantam badan kapal, membuat isi di dalamnya berguncang dan menghadirkan kengerian bagi para penumpangnya. Pemandangan tersebut juga dirasa cukup menakutkan bagi Ahmad Subardjo, terlebih ketika banyak awak kapal menderita mabuk laut sewaktu sedang makan malam.

Ahmad Subardjo saat itu sedang dalam perjalanan menuju Moskow. Dia dan kawannya bernama Sulaiman, mendapatkan undangan dari pemerintah Uni Soviet untuk hadir mewakili Perhimpunan Indonesia dalam acara peringatan ulang tahun ke-10 Uni Soviet pada November 1927. Perayaan tersebut akan dihadiri pula oleh pemimpin-pemimpin gerakan kemerdekaan dari berbagai belahan dunia, tokoh-tokoh terkemuka, serta wakil dari organisasi-organisasi yang turut serta dalam Kongres Brussel.

Baca juga: Ketika Ahmad Subardjo Berkunjung ke Uni Soviet

Advertising
Advertising

Setelah melewati beberapa malam di atas kapal, Subardjo dan Sulaiman tiba di Leningrad. Sejumlah utusan pemerintah Soviet menyambut kedatangan mereka, dan langsung membawa keduanya ke sebuah gedung besar di pusat kota. Menurut Subardjo dalam keterangan di otobiografinya, Kesadaran Nasional Sebuah Otobiografi, bangunan megah nan indah yang akan menjadi tempat tinggal mereka selama di Leningrad itu merupakan rumah bekas bangsawan Rusia zaman Czar. Subardjo lalu diminta mengisi beberapa dokumen, sambil beristirahat, sebelum memasuki acara utama.

“Di meja persegi kami duduk berempat, dua pengantar orang Rusia, Sulaiman dan saya. Saya kira pengantar tersebut adalah petugas-petugas rahasia, kesimpulan mana dapat kami ambil, karena pertanyaan-pertanyaan yang diajukan menyangkut riwayat hidup, keadaan mental kami dan sebagainya. Akan tetapi mereka sangat sopan dan menerangkan kepada kami mengenai perayaan ulang tahun ke-10 Uni Soviet,” kata Subardjo.

Selama tiga hari di Leningrad, Subardjo menghabiskan sebagian besar waktunya dengan berbagai macam hiburan. Dia pergi ke sebuah pertunjukkan opera musik khas Soviet pada hari pertama, dan menghabiskan malam di sana. Hari berikutnya dia ikut bersama rombongan berwisata ke tempat-tempat bersejarah di kota. Subardjo dan Sulaiman mengunjungi Istana Musim Dingin, tempat bentrokan sewaktu  terjadi Revolusi Oktober; pabrik-pabrik zaman Czar; dan ikon-ikon kota Leningrad lainnya. Hari ketiga, Subardjo bersiap menuju Moskow, tempat dilangsungkannya perayaan HUT Uni Soviet, dengan menumpang kereta api.

Baca juga: Koneksi India Ahmad Subardjo

Setiba di stasiun Moskow, rombongan tamu undangan disambut upacara sederhana dari perwakilan pemerintah Soviet. Sesudah itu, rombongan dibawa ke sebuah hotel di pusat kota, dekat kantor pos Moskow. Di ruang makan hotel, Subardjo berkenalan dengan seorang perwakilan dari Syria, Amir Shakib Arsalan. Amir adalah seorang sarjana muslim tekemuka yang becita-cita menghidupkan kembali kebangkitan Islam. Dari temannya di Aljazair, Subardjo juga mendengar bahwa Amir sangat gigih dalam memperjuangkan kebangkitan kaum Muslimin.

Suatu waktu, Subardjo diundang berbicara sebagai salah seorang perwakilan undangan di gedung Teater Bolshoi. Di sana dia berkesempatan mendengar secara langsung gagasan dan pemikiran Amir tentang konsepsi Islam. Dalam sebuah pidato Amir membicarakan tentang pembagian kekayaan antara massa yang bekerja keras. Menurut Subardjo, pidato Amir sangat diplomatis, kalimat yang dilontarkan pun tidak membenturkan ideologi komunis dan Islam. Pidatonya mendapat sambutan meriah dari para hadirin yang hadir, termasuk Sulaiman yang seorang Muslim taat dengan pemikiran anti-komunisnya.

Beberapa tahun sesudah pertemuan pertama itu barulah Subardjo mengetahui kalau Amir Shakib Arsalan adalah: “Dewa terkenal dalam kalangan internasional dan tidak hanya seorang ahli besar dalam sejarah Islam, kebudayaan, dan perdaban, akan tetapi berpengalaman dalam menggunakan tidak hanya bahasa-bahasa Timur, tetapi juga bahasa-bahasa Barat. Ia telah mengadakan perjalanan di seluruh dunia, dan mempelajari keadaan orang-orang Muslim dari dekat,” tulis Subardjo.

Baca juga: Di Balik Ketidakhadiran Ahmad Subarjo dalam Proklamasi

Selain pejuang Muslim dari Syria, Subardjo juga berkawan dengan pejuang, sekaligus bangsawan Rusia terkemuka bernama Georgy Vasilyevich Chicherin dan seorang politisi perempuan Rusia bernama Alexandra Mikhailovna Kolontai. Pertemuan itu terjadi dalam sebuah resepsi malam yang megah di Kremlin. Dalam bahasa Jerman, Chicherin mengatakan kepada Subardjo bahwa dia tertarik dengan Indonesia. Meski belum pernah berkunjung langsung, dia banyak mengetahui kondisi tanah Hindia yang tengah dilanda ketidakadilan dari buku Max Havelaar.

Chicherin mempunyai kedudukan penting sebagai bangsawan Rusia. Perasaan kemanusiaannya membuat dia banyak mengabdikan diri untuk kepentingan rakyat. Chicherin terlibat langsung dalam revolusi Oktober sebagai diplomat di kubu partai Bolshevik. Sama halnya dengan Chicherin, Kolontai juga tergolong kelas atas di kalangan bangsawan Rusia. Dia aktif dalam berbagai gerakan revolusioner di dalam dan di luar Rusia. Sewaktu revolusi pecah, Kolontai ada di kubu orang-orang Bolshevik. Dia memegang jabatan penting pada pemerintah Soviet pertama, yakni Komisaris Departemen Kesejahteraan Sosial.

Baca juga: Tugas Berat Ahmad Subardjo

“Dalam berita-berita di Negeri Belanda saya membaca keterangan sejarah dari Nyonya Kolontai. Gambaran saya terhadap nyonya tersebut tidak banyak berbeda pada waktu ia berdiri di depan saya, tersenyum dan berjabat tangan dengan hangat,” terang Subardjo.

Selama kurang lebih 10 hari tinggal di Soviet, Subardjo menyaksikan secara langsung panasnya situasi politik di negeri berjuluk Beruang Merah tersebut. Rasa simpati dan antipati masyarakat terhadap para pemimpin di sana memberi kesan yang dalam bagi Subardjo. Dia menyebut bahwa kondisi itu terjadi akibat sikap saling mencurigai dan membenci di antara tokoh-tokoh besar Uni Soviet.

TAG

ahmad subardjo uni soviet rusia

ARTIKEL TERKAIT

Warisan Persahabatan Indonesia-Uni Soviet di Rawamangun Nafsu Berahi Merongrong Kamerad Stalin (Bagian I) Roket Rusia-Amerika Menembus Bintang-Bintang Strategi Napoleon di Balik Kabut Austerlitz Waktu Punya Tupolev, Angkatan Udara Indonesia Kuat Getirnya Tragedi di Stadion Luzhniki Di Balik Warna Merah dan Istilah Kiri Parade Kemenangan Perang di Lapangan Merah Moskva, Kapal Kebanggaan Rusia yang Tinggal Nama Kiprah Putin di KGB