PADA 1918, pendiri Partai Komunis Uni Soviet yang juga penggerak Revolusi Bolshevik 1917, Vladimir Illyich Ulyanov atau dikenal dengan Vladimir Lenin, mengadakan kompetisi desain lambang negara yang dipimpinnya, yang berdiri tak lama setelah dinasti Romanov jatuh.
Sebelum digulingkan, dinasti Romanov memiliki lambang elang berkepala dua, yang merepresentasikan kekuasaan kekaisaran atas wilayah timur dan barat. Namun, Revolusi 1917 menghancurkan simbol-simbol kekuasaan kekaisaran.
Kompetisi digelar sebagai bagian dari perayaan May Day 1918. Seniman Rusia, Yevgeny Ivanovich Kamzolkin, keluar sebagai pemenang. Ia mendesain sebuah lambang yang pada bagian tengahnya terdiri dari palu dan arit disatukan dalam formasi X.
Menurut Ganesh Subramanian dalam Symbols: A Picture is Worth a Thousand Words, palu dipandang sebagai simbol yang umum digunakan di Eropa untuk mewakili para pekerja, sementara sabit merupakan simbol yang merujuk pada kaum tani. Penyatuan palu dan arit dipandang sebagai representasi dari persatuan pekerja dan petani. Palu dan arit kemudian tak hanya dikenal sebagai lambang negara Uni Soviet, tetapi juga menjadi representasi dari ideologi komunis karena lambang tersebut digunakan pula oleh partai politik sayap kiri di berbagai negara dunia.
Baca juga: Oktober Merah
Selain palu dan arit, simbol lain yang berkaitan dengan ideologi kiri adalah warna merah dan istilah kiri. Sejarawan Prancis dan ahli simbologi Barat, Michel Pastoureau mengungkapkan bahwa merah dipandang sebagai simbol politik sejak akhir abad ke-18.
“Muncul dari Revolusi Prancis, warna merah menjadi populer dalam perjuangan sosial di Eropa pada abad kesembilan belas, kemudian merambah semakin luas dalam skala internasional pada abad berikutnya. Di banyak bidang, kata ‘merah’ menjadi semacam sinonim untuk kata sifat seperti sosialis, komunis, ekstremis, dan revolusioner,” tulis Pastoureau dalam Red: The History of Color.
Dalam bahasa Prancis pada 1840-an, un rouge yang berarti merah, merujuk pada seseorang yang menganut ide-ide progresif dalam politik dan sosial, dan secara umum disebut sebagai seorang revolusioner. Penggunaannya umum dalam literatur pada akhir abad ke-19 dan sepanjang abad ke-20. Saat partai-partai komunis bermunculan dan semakin mapan, orang semakin sering berbicara tentang “suara merah” dan “kota merah”. Tak hanya digunakan oleh mereka yang menjadi bagian dari partai kiri, istilah “bahaya merah” juga digunakan oleh mereka yang menentang komunisme.
Yang menarik, jauh sebelum abad ke-18, warna merah tak dikonotasikan dengan pemberontakan atau kekerasan. Di Prancis dan negara-negara tetangga misalnya, bendera merah dipandang sebagai tanda yang berkaitan dengan ketertiban umum. Bendera berwarna merah dikibarkan untuk memperingatkan publik akan bahaya, dalam konteks pertemuan, meminta kerumunan membubarkan diri. Namun, lambat laun bendera merah dikaitkan dengan aturan hukum untuk melawan aksi massa yang marak pada 1780-an, dan akhirnya berkaitan dengan darurat militer.
Baca juga: Palu Arit Selalu Bikin Sengit
Di Prancis, pada Oktober 1789 Majelis Konstituate Nasional menetapkan jika terjadi kerusuhan, petugas kota harus memberi tanda akan adanya intervensi polisi, dengan memasang bendera merah di jendela Balai Kota dan mengibarkannya di jalan maupun persimpangan jalan. Ketika bendera merah dikibarkan, semua pertemuan harus dianggap sebagai tindakan kriminal dan dibubarkan dengan paksa.
Dalam peristiwa Champ-de-Mars pada Juli 1791, bendera merah justru menjadi simbol perlawanan rakyat Prancis. Dikisahkan Pastoureau, ketika itu massa berdatangan ke Champ-de-Mars, dekat Autel de la Patrie, untuk menandatangani “petisi republik” yang berisi seruan pencopotan Louis XVI. Raja Prancis itu berusaha melarikan diri di tengah gejolak revolusi, namun tertangkap di Varennes dan dibawa kembali ke Paris.
Massa yang tak henti berdatangan membuat Bailly, wali kota Paris, mengibarkan bendera merah. Namun, sebelum kerumunan sempat bubar, garda nasional melepaskan tembakan tanpa peringatan. Sekitar lima puluh orang tewas sebagai martir revolusi. Darah mereka dilumurkan ke bendera yang dikibarkan untuk melawan tirani.
Baca juga: Apa Arti Pengibaran Bendera Merah Iran?
Pada Revolusi Prancis 1830, yang juga dikenal dengan Revolusi Juli, bendera merah berkibar di atas barikade dan menjadi simbol pemberontakan terhadap majikan dan pemerintah yang konservatif. Sementara itu, selama kerusuhan yang meletus di seluruh Eropa pada pertengahan abad ke-19, bendera merah menjadi tanda persatuan gerakan pekerja dan serikat pekerja atau partai yang membela perjuangan mereka, khususnya partai-partai sosialis yang didirikan di banyak negara sejak tahun 1850-an.
“Bendera ini juga ditunjukkan oleh sebagian besar dari mereka yang kecewa dengan revolusi nasional, populer atau liberal pada 1848, revolusi yang telah memunculkan harapan besar dan kemudian kekecewaan besar. Itulah sebabnya bendera merah menyatukan kaum sosialis dan revolusioner di seluruh Eropa pada akhir abad kesembilan belas,” sebut Pastoureau.
Hampir di semua tempat, bendera merah terus menyatukan gerakan-gerakan buruh, termasuk mereka yang tetap berhaluan sosialis dan faksi-faksi kecil dari ekstrem kiri yang bermimpi revolusi menjadi permanen atau memperluasnya ke seluruh dunia.
Di sisi lain, pakar terorisme dan masalah keamanan Timur Tengah, Samuel M. Katz menulis dalam Raging Within: Ideological Terrorism, bahwa hubungan antara warna merah dengan ideologi kiri berkaitan dengan berdirinya Uni Soviet. “Merah adalah warna tradisional di Rusia selama beberapa generasi. Setelah Revolusi Rusia pada 1917, Lenin mengadopsi warna merah sebagai warna bendera Uni Soviet yang baru. Pada latar belakang merah terang, ia menambahkan palu kuning (simbol pekerja pabrik) dan sabit (simbol pekerja pertanian). Sejak 1918, tentara Uni Soviet disebut Tentara Merah,” tulis Katz.
Baca juga: Awal Mula Bendera
Kelompok-kelompok komunis modern, termasuk Fraksi Tentara Merah, menggunakan warna merah untuk mengekspresikan solidaritas terhadap ide-ide politik Soviet. Selain itu, kelompok-kelompok ini juga kerap menyertakan warna merah pada nama mereka atau menggunakan warna tersebut pada bendera maupun lambang mereka karena merah dipandang sebagai warna revolusi.
Selain warna merah, istilah kiri juga berkaitan dengan ideologi kiri dan pandangan politik radikal atau revolusioner. Menurut Larry Berman, Bruce Allen Murphy, dan Oliver H. Woshinsky dalam Approaching Democracy, istilah politik yang membedakan kiri-kanan bermula dari Revolusi Prancis. Setelah Louis XVI memanggil Estates General, Parlemen Prancis yang sudah mati suri, untuk bersidang kembali pada 1789, para wakil rakyat mulai bertemu di aula berbentuk setengah lingkaran. Mereka menghadap ke arah pemimpin sidang yang berdiri di podium tengah yang ditinggikan.
Delegasi yang radikal atau revolusioner duduk bersama di sisi kiri pemimpin sidang dan dikenal sebagai “kelompok kiri”. Sementara delegasi konservatif yang ingin mempertahankan tatanan yang ada duduk di sisi kanan pemimpin sidang, yang dengan demikian diberi label “kelompok kanan”. Pengaturan tersebut membuat kelompok moderat menduduki kursi di tengah di mana mereka disebut centrist.
Baca juga: Sejarah Laïcité, Dasar Falsafah Sekularisme Prancis
Hal senada diungkapkan James R. Arnold dalam The Aftermath of the French Revolution bahwa setelah Revolusi Prancis muncul dua ideologi politik baru, yakni konservatisme dan liberalisme. Konservatisme bertujuan mencegah pergolakan baru maupun revolusi baru, sementara liberalisme mempromosikan gagasan bahwa warga negara dilahirkan dengan hak-hak tertentu dan memiliki hak untuk menentukan masa depan mereka sendiri. Saat sidang pertama kali diadakan, kaum radikal duduk bersama di sebelah kiri kursi pemimpin. Sedangkan lawan mereka, kaum konservatif duduk di sisi kanan pemimpin. Peristiwa itu memicu lahirnya label politik “kiri” dan “kanan”.
“Para politisi sosialis mengambil alih label ‘sayap kiri’. Kiri menjadi diasosiasikan dengan perubahan revolusioner. Kanan menjadi diasosiasikan dengan oposisi terhadap perubahan tersebut. Saat ini, istilah ‘sayap kiri’ dan ‘sayap kanan’ umumnya digunakan untuk menggambarkan kelompok-kelompok politik,” tulis Arnold.
Di masa kini, istilah-istilah itu masih mempertahankan sebagian besar makna aslinya. Semakin radikal seseorang semakin besar juga keinginannya mengubah sistem kekuasaan yang ada –semakin seseorang ingin mengambil alih kekuasaan dan kekayaan dari kaum kaya dan mendistribusikannya kembali kepada kelompok miskin– semakin ia dianggap “kiri”. Sementara kelompok kanan lebih suka mempertahankan status quo; semakin kuat seseorang ingin mempertahankannya, semakin ia dianggap “kanan”.*