Apa Arti Pengibaran Bendera Merah Iran?
Bendera merah yang sarat makna dikibarkan Iran. Begini muasal kisahnya.
SABTU 4 Januari 2020 jadi Sabtu penuh duka buat Iran. Sehari sebelumnya, Mayjen Qassem Soleimani terbunuh dalam serangan Amerika Serikat di Bandara Internasional Baghdad. Segenap rakyat Iran murka, hingga mengibarkan bendera merah darah di puncak Masjid Jamkaran di kota suci Syiah, Qom, pada Sabtu.
Jenderal Soleimani, panglima pasukan Quds, merupakan salah satu tokoh militer penting yang bekerjasama dengan sejumlah milisi Syiah di Irak dalam rangka memerangi kelompok teroris ISIS. Namun konvoinya dekat Bandara Internasional Baghdad diserang misil dari drone milik Amerika. Dalih Amerika, Soleimani punya rencana menyerang para diplomat dan personel militer di Kedutaan Amerika di Baghdad.
Kematian Soleimani, sosok yang dihormati setelah Ayatollah Ali Khamenei, membuat Iran meradang dan menyatakan bakal bikin perhitungan lewat tindakan militer. Publik internasional pun khawatirk insiden itu bisa memicu Perang Dunia III. Terlebih, Presiden Amerika Donald Trump dan Presiden Iran Hassan Rouhani sudah bertukar ancaman.
“Kami akan membalas pertumpahan darah ini. Kejahatan yang dilakukan Amerika akan tercatat dalam sejarah sebagai salah satu kejahatan yang tak terlupakan terhadap bangsa Iran,” cetus Rouhani, dikutip Daily Mail, 4 Januari 2020. Sementara, Donald Trump di akun Twitter-nya mengancam bahwa Amerika akan menyerang 52 lokasi penting di Iran jika Iran berani balas dendam.
Baca juga: Prahara Yerusalem Diusik Amerika
Saling-ancam itu jelas tidak main-main. Pasalnya, Iran sudah mengibarkan bendera merah darah di puncak Masjid Jamkaran. Bendera suci bertuliskan “Ya la-Tharat al-Husayn” (Wahai, mereka yang membalaskan dendam Imam al-Husain) itu simbol balas dendam. Ia bertautan dengan peristiwa historis pembalasan dendam umat Syiah di tahun 680 Masehi atau tahun ke-61 Hijriah.
“Ya la-Tharat al-Husayn’ adalah moto Imam Ali (A.S) dalam membalaskan dendam Imam Husain (A.S) dan orang-orang yang dianiaya di seluruh dunia. Dalam sejarah, tidak ada darah martir yang sia-sia dan itu merupakan takdir Yang Maha Kuasa. Fajar kemenangan,” demikian diungkap situs pengelola Masjid Jamkaran.
Darah Cucu Kesayangan Rasulullah di Karbala
Sejarawan Jerman Wilferd Madelung yang mendalami sejarah Islam menulis dalam The Succession to Muhammad: A Study of the Early Caliphate, Husain yang lahir pada 3 Sya’ban 4 Hijriah (10 Januari 626) merupakan satu dari dua keturunan lelaki terakhir dari Nabi Muhammad SAW, selain kakaknya, Hasan. Rasulullah SAW sangat menyayangi dua buah hati hasil pernikahan putrinya Fatimah dan sepupunya, Ali bin Abi Thalib, sejak kecil.
“Rasulullah menggendong Hasan dan Husain dan bersabda, ‘Barangsiapa yang mencintaiku dan mencintai keduanya dan mencintai ayah-ibunya, maka ia akan berdiri sejajar di sampingku di Hari Akhir,” sebagaimana Hadist Riwayat (H.R) Tirmidzi yang dikutip Madelung.
Namun perpecahan di antara umat Islam mulai terjadi di internal Kekhalifahan Rasyidin, bahkan belum seabad selepas Nabi Muhammad SAW wafat pada 12 Rabiul Awal, 10 H (8 Juni 623 M). Pembunuhan terhadap Khalifah Utsman bin Affan pada 656 M memicu Fitna I atau Perang Saudara Pertama (656-661 M) antara Khalifah Ali bin Abi Thalib dan Gubernur Syam Muawiyah bin Abu Sufyan.
Menyusul pembunuhan Ali bin Abi Thalib di Masjid Agung Kufah, 26 Januari 661 M, dan demi mengakhiri perang saudara, Hasan bin Ali mengajukan perjanjian. Inti perjanjian itu di antaranya Hasan bersedia menyerahkan kekhalifahan pada Muawiyah, namun untuk khalifah selanjutnya tidak boleh diserahkan pada keturunan dan mesti melalui pemilihan yang adil.
Baca juga: Keturunan Rasulullah di Cina
Perjanjian itu namun dilanggar Muawiyah menjelang kematiannya, dengan mengangkat Yazid putranya sebagai penerus Kekhalifahan Umayyah, April 680 M. Hal itu membuat Kekhalifahan Muawiyah tak lebih dari sekadar dinasti. Saat memerintah, Yazid mewajibkan setiap provinsi tunduk pada keputusannya.
Hasan dan Husain sebagai pemimpin Bani Hashim yang berdiam di Madinah, menolak tunduk pada keputusan Yazid. Akibatnya, Husain yang menggantikan Hasan yang dibunuh dengan diracun, diburu Muawiyah. Ia dan para pengikutnya diperintahkan untuk tunduk dan berikrar setia pada sang khalifah atau akan dibunuh. Husain dan para pengikutnya lantas mengungsi ke Mekkah.
“Di Kufah, para pemimpin Syiah menulis surat pada Husain. Mereka meminta Husain memimbing mereka, mengingat di Kufah belum ada imam besar,” ungkap Madelung.
Lantaran masih jadi “buron” Yazid, Husain memilih keluar dari Mekkah. Husain dan sekira 100 pengikutnya menuju Kufah pada 8 Zulhijjah 60 H (9 September 680 M).
Tragedi Karbala
Di dekat Sungai Eufrat, tepatnya di Qadisiyya, rombongan Husain dicegat 1.000 serdadu Muawiyah yang dipimpin Hurr bin Yazid al-Tamimi. Mereka mulanya hanya mencegah rombongan Husain masuk Kufah. Husain pun terpaksa mencari tempat lain untuk berkemah sambil menanti negosiasi. Pada 2 Muharram 61 H (2 Oktober 680 M), rombongan Husain tiba di Padang Karbala, 70km utara kota Kufah.
“Di hari yang sama, datang lagi 4.000 orang pasukan pimpinan Umar bin Sa’d. Kepada Husain, ia memerintahkan rombongan itu menyatakan kesetiaan pada Yazid. Husain menolak hingga perkemahan rombongannya dikepung, termasuk akses kebutuhan air di Sungai Eufrat diblokade pasukan Umar bin Sa’d,” sambung Medelung.
Negosiasi demi negosiasi Husain dengan Umar bin Sa’d tak menelurkan kesepakatan, hingga rombongan Husain tiga hari kekurangan air bahkan sekadar untuk memenuhi kebutuhan anak-anak di perkemahan.
Perang pun jadi jalan satu-satunya. Setelah salat Subuh, 10 Muharram 61 H (10 Oktober 680 M), pertempuran tak imbang pecah antara rombongan Husain yang hanya berjumlah 72 lelaki dengan sekira 5.000 serdadu Umayyah. Satu per satu pengikut Husain bertumbangan saat dihujani panah maupun duel satu lawan satu. Putra-putranya tak terkecuali.
Kala mentari mulai beringsut ke ufuk barat, tinggal Husain sendirian yang masih hidup. Saat sedang belari menuju tepi Sungai Eufrat, Husain dipanah dan kena mulutnya. Setelah terluka oleh serangan lawan, kepala Husain dipenggal Sinan bin Anas. Puluhan pengikut Husain yang semuanya tewas di hari nahas itu dipenggal.
Kepala-kepalanya diusung di pucuk tombak untuk dipersembahkan ke Khalifah Yazid. Sementara rombongan yang tersisa, terdiri dari anak-anak dan perempuan, dibawa ke Syam untuk ditahan. Semua keturunan Husain musnah, kecuali Zayn al-Abidin bin Husain yang tak ikut bertempur karena sakit. Nyawa Zayn hampir melayang oleh Shamir bin Dhil-Jawshan kalau tak dicegah Umar bin Sa’d.
Baca juga: Ketika Khalifah Tak Lagi Duduk di Singgasana
Pembunuhan Husain sang cucu kesayangan Rasulullah itu jadi kabar menggemparkan. Bagi kaum Syiah, tragedi itu melahirkan kewajiban balas dendam yang membawa konflik itu menuju Fitna II atau Perang Saudara Kedua (680-692 M).
Meski Yazid meninggal karena penyakit yang tak diketahui pada 683 M, Abdullah bin Kamal, anggota pasukan Syiah dari Kufah yang dipimpin Mukhtar al-Thaqafi, berhasil membunuh Umar bin Sa’d. Pasukan Muhktar juga membunuh Ubaidillah bin Ziyad, yang memerintahkan tentaranya membunuh putra Husain yang masih bayi di Padang Karbala, di Pertempuran Khazir (686 M). Peristiwa itu lalu diperingati umat Syiah sebagai Hari Asyura setiap tahun pada 10 Muharram.
“Oleh karenanya bendera merah itu punya makna, ‘kematian lebih baik’, sebagai bagian dari pesan dari kisah di Karbala: Husain, Imam ketiga Syiah, mengatakan saat menerima ancaman pembunuhan, ‘kematian lebih baik daripada hidup di bawah penindasan.’ Sepuluh dari 11 Imam Syiah yang dibunuh dalam sejarah diberi bendera hijau, hanya satu, Husain yang punya bendera merah,” sebut Michael M. J. Fischer dalam Iran: From Religious Dispute to Revolution.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar