Awal Mula Bendera
Awalnya bendera digunakan oleh pasukan di medan perang.
Habib Rizieq Shihab diperiksa aparat kepolisian Kerajaan Arab Saudi karena bendera berkalimat tauhid terpasang di depan rumahnya di Mekkah. Sebelumnya, imam Front Pembela Islam itu menyerukan kepada pengikutnya di Indonesia untuk mengibarkan bendera berkalimat tauhid. Perintah itu sebagai reaksi atas kasus pembakaran bendera berkalimat tauhid oleh anggota Banser yang pelakunya sudah ditetapkan sebagai tersangka. Polisi juga menyebut bendera yang dibakar itu bukan bendera tauhid tapi bendera HTI. Namun, gerakan terus berlanjut dengan demonstrasi bela bendera tahuid yang sudah dua jilid.
Bagaimana awal mula bendera dan digunakan untuk apa?
Sejarawan Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono menjelaskan, awalnya bendera dipakai dalam kemiliteran untuk membantu koordinasi di medan perang. Bendera kemudian berevolusi menjadi alat umum untuk sinyal dasar dan identifikasi, terutama di area di mana komunikasi menantang.
Penggunaan bendera dalam militer diketahui dari relief candi yang menggambarkan pergerakan pasukan dalam perang. Misalnya, pada relief cerita Kresnayana di candi induk Panataran, seorang prajurit membawa tongkat berbendera. Bendera itu berbentuk persegi memanjang ke bawah dengan hiasan rumbai-rumbai pada bagian bawahnya. Di tengahnya motif sulur membelah bidang kain menjadi dua.
Bendera dalam Naskah Kuno
Selain muncul dalam relief, naskah-naskah kuno juga menyebut soal pemakaian bendera. Dalam berbagai bahasa lokal ada beragam penyebutan untuk bendera. Dalam bahasa Jawa antara lain panji, pataka, dwaja, tunggul, umbul-umbul, sang saka.
Khusus tunggul digunakan untuk melukiskan sesuatu yang tinggi dan besar. Ini, kata Dwi, mengingatkan pada atunggul yang berkata dasar tunggul, artinya berdiri tegak, menjulang tinggi. “Julangan tinggi tunggul tergambar dalam perkataan tunggul kemelap asemu megha dalam Kakawin Hawiwangsa,” jelas Dwi.
Tunggul seringkali dibawa untuk mengiringi arak-arakan. Petugas yang membawanya disebut patunggul.
Sementara panji, menurut Dwi, dalam bahasa Jawa Kuna dan Tengahan, tidak secara tegas menunjuk pada bendera. Panji lebih berkenaan dengan nama dan gelar yang diikuti nama diri. Dalam Cerita Panji, Panji dikaitkan dengan unsur nama hewan seperti, kuda, kbo, gajah, kidang.
“Panji dalam posisinya pimpinan, masing-masing satuan ketentaraan punya tunggul (bendera, red.) sendiri, yang di antaranya bergambar binatang, sesuai unsur nama binatang yang disandang,” jelas Dwi.
Baca juga: Meluruskan sejarah bendera pusaka merah putih
Misalnya, Panji Kuda Nagarawangsa, merujuk pada satuan ketentaraan yang memiliki lambang kuda dalam benderanya.
Nama bendera dalam Jawa Kuno dan Tengahan lainnya adalah pataka. Istilah ini dijumpai dalam kitab Wirataparwa, Kakawin Brahmanda Purana, Kakawin Ramayana, Smaradahana dan Hariwijaya.
Bendera dalam Prasasti
Penggunaan bendera juga pernah disebut dalam Prasasti Kudadu yang bertarikh 1216 saka (1294 M). Prasasti yang dikeluarkan oleh Wijaya, pendiri Majapahit, itu berkisah antara lain soal pertempuran antara pasukannya melawan pasukan Kadiri di Palagan Rabut Carat pada tahun 1292.
Disebut jelas adanya sederetan (tata) bendera (tunggul) yang dibawa sambil berlari (layu-layu) oleh pasukan musuh (satru) yang tampak di sebelah timur Desa Hanyiru. Pada kutipan teks ini tergambar bahwa jumlah berdera yang dibawa tak hanya satu.
Menariknya, prasasti itu mewartakan bendera yang dibawa warnanya merah dan putih (bang lawan putih). Kata sambung “dan” (lawan) membuka dua tafsiran. Pertama, sejumlah bendera berwarna merah dan sejumlah bendera lainnya berwarna putih. Masing-masing bendera beda warna itu dibawa sambil berlari oleh dua kelompok pasukan yang sama-sama bergerak dari timur Desa Hanyiru. Kedua, sederetan bendera dengan kombinasi warna “merah-putih” yang dibawa oleh pasukan tersebut.
“Besar kemungkinan, tafsir pertamalah yang lebih kuat, mengingat terdapat kata sambung lawan. Jika yang dimaksudkan adalah kombinasi dua warna (merah-putih), mestinya tanpa kata sambung, dan cukup ditulis bang putih,” jelas Dwi.
Pada perkembangannya, kata Dwi, bendera nasional menjadi simbol-simbol patriotik yang kuat. “Seringkali pula asosiasi militer berlangsung kuat dan berkelanjutan pada konteks kenegaraan, termasuk dalam hal penggunaan bendera sebagai lambang dan simbol identitas nasional,” jelas Dwi.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar