AWAL tahun 1927, kongres antikolonial berlangsung di Burssel, Belgia. Sebanyak 21 negara dari 5 benua mengirimkan utusannya, baik resmi atau pun sekadar mengirimkan aktivis perkumpulan yang aktif menentang imperialisme. Utusan dari Indonesia juga turut hadir, dengan Bung Hatta sebagai ketua rombongan. Bersama empat orang lainnya, Bung Hatta duduk sebagai perwakilan Perhimpunan Indonesia.
Kongres yang berlangsung dari tanggal 10-15 Februari 1927 di Istana Egmont tersebut membahas masalah-masalah kolonial dari berbagai sisi. Para utusan juga mengemukakan kondisi di negaranya masing-masing, dan dampak yang ditimbulkan kolonialisme terhadap kehidupan masyarakat di tanah airnya. Di akhir rapat, kongres membentuk “League against Imperialism and for National Independence” dengan sekretariat tetap di Berlin, Jerman.
Baca juga: Di Balik Ketidakhadiran Ahmad Subarjo dalam Proklamasi
“Karena saya menaruh perhatian mengenai perkembangan dari kongres ini, yang saya anggap sangat penting dalam sejarah dunia, saya mengambil keputusan untuk mengamati kegiatan sekretariat tersebut dari dekat,” kata Ahmad Subardjo dalam Kesadaran Nasional: Sebuah Otobiografi.
Ahmad Subardjo datang bersama utusan dari Perhimpunan Indonesia. Namun sewaktu rombongan kembali ke Belanda, dia memilih tetap tinggal di Jerman. Di sanalah kemudian Subardjo bertemu seorang tokoh dari India yang selama kongres cukup menonjol bernama Virendranath Chattopadhaya (akrab dipanggil Chatto).
Chatto merupakan keturunan keluarga terkemuka di Bengal, India. Dia telah menetap cukup lama di Jerman sebagai orang buangan setelah usahanya menyelundupkan senjata dari Eropa ke India dalam suatu upaya penggulingan pemerintah Inggris pada waktu Perang Dunia I gagal. Dia dijatuhi hukuman mati. Tetapi entah bagimana caranya Chatto berhasil meloloskan diri dan akhirnya hidup dalam pengasingan di Jerman.
Baca juga: Tugas Berat Ahmad Subardjo
Menurut Subardjo, kawan Indianya itu adalah seorang yang pintar, periang, menarik, serta mengesankan. Kegemarannya pun cukup unik: membaca dan menyanyikan sajak Hindu. Chatto bekerja di kantor Sekretariat Kongres Liga. Dia bertugas mengerjakan hasil-hasil konferensi dan menerbitkannya.
“Kami menjadi kawan baik. Inilah sebabnya kenapa saya suka pergi ke Berlin karena mempunyai Chatto sebagai penduduk lama dari kota tersebut dan penunjuk jalan yang berpengalaman dan pemimpin,” ucapnya.
Chatto memberi banyak pelajaran tentang perjuangan kepada Subardjo. Pernah satu waktu, Subardjo mendengar kabar tentang penangkapan kawan-kawannya di PI oleh pemerintah Belanda. Tanpa pikir panjang, dia mempersiapkan kepulangan ke Belanda. Menurutnya itu adalah suatu bentuk rasa setia kawan. Namun segera dicegah oleh Chatto. Dia menyebut perasaan seperti itu sangatlah baik, tetapi dalam politik terkadang emosi berlebihan tidaklah baik, hanya akan mencelakakan. Maka Chatto pun menawarkan sebuah solusi.
Baca juga: Kisah Penangkapan Ahmad Subardjo
“Mengapa tidak menghadiri konferensi Liga yang sedang kami selenggarakan,” ujar Chatto. “Kamu harus berbicara di sana mengecam tindakan-tindakan penindasan dari pemerintah Belanda.”
Subardjo setuju. Dia lalu pergi ke Brussel pada pertengahan 1927. Di depan para peserta Liga, Subardjo memberikan pidato tentang penindasan yang dilakukan Belanda di negerinya. Para hadirin memberi kesan baik terhadap pidatonya itu. Dukungan pun mengalir kepadanya. Bahkan banyak yang mendoakan nasib baik untuk kemerdekaan tanah airnya.
Selama di Berlin, Subardjo rupanya memiliki hubungan istimewa dengan koneksi-koneksi India-nya yang lain. Mereka datang langsung dari India dan memutuskan menetap di Berlin akibat kondisi gawat di negerinya. Satu yang cukup dekat dengan Subardjo adalah keponakan Chatto bernama Naidu. Dia tercatat sebagai mahasiswa kedokteran di Universitas Berlin. Naidu juga ternyata putra Ny. Saroniji Naidu, seorang tokoh penting dalam perjuangan kemerdekaan di India.
Baca juga: Sukarno, Antara India dan Pakistan
Anggota keluarga lainnya adalah Harindranath Chattopadhaya, adik Chatto. Harin, biasa Subardjo menyapanya, diketahui seorang yang berbakat di bidang kesusastraan. Karya-karya syairnya banyak diterbitkan di India.
“Saya suka kepadanya. Dia sangat periang, dan bisa mengambil hati saya, dan sebagai penyair dia bersemangat tinggi. Tetapi ia juga suka kepada segala apa yang baik di dunia, seperti saya, dia juga suka makan enak dan mendengarkan musik populer di café-café atau restoran-restoran di Kurfurstendamm, Jerman,” kata Subardjo.