Kisah perjuangan revolusi kemerdekaan di Indonesia seringkali berlumur bumbu mistis. Ganasnya peperangan melawan Belanda membuat para pejuang mencari berbagai cara untuk bertahan dalam pertempuran. Menjadi kebal adalah salah satunya.
Menurut Kapten Soegih Arto, di masa revolusi banyak sekali pemuda pejuang yang berusaha memperoleh jimat. Benda bertuah itu diharapkan akan membuat mereka kebal dari tembakan pelutu ataupun tikaman bayonet. Beberapa dari mereka ada yang mencari sendiri atau mendapatkannya dari kiai maupun “orang pintar”. Ada yang dikalungkan di leher. Ada yang harus diikatkan di kepala. Ada harus dipakai sebagai sabuk, dan lain sebagainya.
“Apakah mereka dapat dipersalahkan? Saya rasa tidak,” tutur Soegih Arto dalam otobiografinya Sanul Daca: Pengalaman Pribadi Letjen (Pur.) Soegih Arto. “Mereka telah ikut berjuang dengan caranya sendiri sesuai dengan kemampuannya.”
Baca juga: Jimat Perang Tentara Sukarela
Soegih Arto mahfum terhadap fenomena tersebut. Pada 1946, dia merupakan komandan batalion yang bermarkas di Cibatu, daerah Garut, Jawa Barat. Soegih Arto sendiri pernah ditawari ilmu kebal oleh tetangganya di Cibatu bernama Dendadikusuma. Pak Denda –panggilan akrabnya– dikenal sebagai orang pintar yang menurut Soegih Arto setaraf dengan Dr. Sosrokartono, kakak R.A. Kartini.
Agar menjadi kebal, Pak Denda mengajukan sejumlah syarat ringan yang mesti dipenuhi. Syaratnya adalah puasa tujuh hari berturut-turut. Puasa dilakukan pada siang hari. Kalau tiba waktu malam, boleh buka puasa. Setelah selesai puasa tujuh hari, maka harus menghadap Pak Denda lagi untuk menerima syarat lanjutan.
Soegih Arto menjalani puasa dengan penuh semangat berharap akan memperoleh kekebalan yang diidam-idamkannya. Ketika bertemu kembali dengan Pak Denda setelah sepekan berpuasa, Pak Denda menanyakan ilmu kebal seperti apa yang diinginkan. Kebal kasar atau kebal halus. Kebal kasar membuat si penganutnya tidak terluka sekalipun ditembak atau dibacok. Sementara kebal halus, orang yang berniat jahat terhadap si penganutnya hanya akan mentok di niat saja.
Baca juga: Ilmu Komandan di Palagan
Soegih Arto memilih kebal halus. Pak Denda sangat gembira mendengar pilihan itu. Orang lain biasanya memilih kebal kasar karena khasiatnya tahan dari segala senjata sehingga kesaktiannya akan tersiar kemana-mana. Kalau kebal halus, maka tidak ada orang lain yang bisa mengetahui keampuhannya. Pun demikian dengan kehebatan pemakainya yang tidak akan ditakuti atau disegani orang sebagaimana penganut kebal kasar.
Pak Denda melanjutkan syarat berikutnya untuk menggapai ilmu kebal. Katanya, untuk kebal halus, kita harus berlaku sopan santun dan berbudi luhur terhadap sesama manusia. Inilah kunci kebal halus. Soegih Arto masih menanti syarat lanjutan tetapi hanya itulah wasiatnya.
“Rasa kecewa tidak tertahan. Saya diam menunduk kesal. Tujuh hari saya berpuasa dan apa hasilnya? Nol besar,” gerutu Soegih Arto.
Baca juga: Bulan Puasa di Bawah Agresi Militer Belanda
Soegih Arto pulang dari rumah Pak Denda tanpa pamit. Dia merasa tertipu. Setelah merasa tenang, Soegih Arto mencoba merenungkan kembali perkataan Pak Denda. Lambat laun, pikiran Soegih Arto jadi terbuka dan akhirnya dapat menerima wasiat tersebut.
“Kalau kita terapkan kata-kata ini, siapa yang akan memusuhi kita? Siapa yang tidak akan suka kepada kita? Kalau semua senang, tentunya tidak akan ada musuh. Kalau tidak ada musuh, siapa yang akan jahil kepada kita? Dalam benar ajaran itu,” kenang Soeigh Arto.
Menyesal telah berburuk sangka, Soegih Arto kembali mendatangi Pak Denda untuk minta maaf. Tidak luput ucapan terimakasih dari Soegih Arto atas wejangan Pak Denda. Di dalam hatinya, Soegih Arto berikrar untuk menerapkan “ilmu” yang sudah diperolehnya.