DI suatu malam tahun 1927, Gellert Grindelwald (Johnny Depp) menghirup udara bebas. Sang penyihir hitam kelas kakap itu melarikan diri dibantu para pengikutnya saat MACUSA atau Kongres Sihir Amerika Serikat berusaha membawanya ke London untuk diadili. Dengan bebasnya Grindelwald, momok teror kejahatan tumbuh lagi dan mengancam, tak hanya dunia sihir, tapi juga dunia manusia biasa.
Prolog itu disajikan sutradara David Yates sebagai pengantar sejumlah premis dan klimaks film Fantastic Beasts: The Crimes of Grindelwald, seri kedua dari trilogi Fantastic Beasts yang juga masih bagian dari “semesta” Harry Potter karya JK Rowling.
Plotnya terkonsentrasi pada upaya tokoh utama Newt Scamander (Eddie Redmayne) bersama seorang muggle (sebutan manusia di dunia sihir) yang juga veteran Perang Dunia I, Jacob Kowalski (Dan Fogler). Keduanya berupaya membantu saudaranya, Theseus Scamander (Callum Turner) dan gadis pujaannya, Tina Goldstein (Katherine Waterstone), dua Auror Kementerian Sihir Inggris, untuk menangkap kembali Grindelwald sebelum terlambat.
Grindelwald berambisi menciptakan perang, tidak hanya melawan otoritas-otoritas sihir namun juga para manusia dengan goal yang mainstream: menguasai dunia. Premisnya bersengkarut dengan eksistensi Credence Barebone (Ezra Miller) bersama Nagini (Claudia Kim) yang baru saja melarikan diri dari seorang pemilik sirkus.
Credence yang penasaran mencari asal-usul dirinya, didekati Grindelwald yang menganggapnya punya kemampuan sihir tinggi. Grindelwald ingin memanfaatkan kemampuan Credence untuk menghabisi musuh bebuyutannya, Profesor Albus Dumbledore (Jude Law). Sebab, Dumbledore diam-diam membantu Newt berangkat dari London ke Paris untuk mencari Grindelwald meski Newt tengah “dicekal” ke luar negeri lantaran acap tak patuh pada Kementerian Sihir Inggris.
Baca juga: Kisah asalusul Valak dalam film turunan universe-nya Conjuring
Klimaksnya, Grindelwald mampu mengumpulkan massa penyihir berdarah murni dan campuran hingga lantas memperlihatkan betapa kejamnya para Auror (aparat otoritas sihir) terhadap para penyihir berdarah murni. Grindelwald kemudian mampu meloloskan diri dari kepungan para Auror setelah membunuh Leta Lestrange (Zoë Kravitz), tunangan Theseus yang juga penyihir berdarah murni, keturunan penyihir ternama Corvus Lestrange.
Di ending-nya, David Yates memberi sedikit spoiler tentang kaitan dan apa yang akan terjadi pada seri ketiga Fantastic Beasts 2020 mendatang lewat dua adegan terpisah. Pertama, saat otoritas Kementerian Sihir Inggris bersama Newt mendatangi Dumbledore di Hogwarts jelang perang besar. Kedua, perihal Grindelwald yang mengumpulkan massa dan pasukan sekaligus juga mampu membuat dua sosok berkemampuan dahsyat, Credence dan Queenie Goldstein (Alison Sudol) alias adik Tina Goldstein, berpihak padanya.
Bagaimana kisah lengkapnya, tentu Anda mesti menonton sendiri seri The Crimes of Grindelwald ini. Sensasi action dengan efek-efek sihirnya, yang dibangun dengan efek-efek visual ciamik garapan Fremestore dalam porsi besar, akan lebih terasa jika ditonton di bioskop 3D. Terlebih tata suaranya digarap James Newton Howard dengan apik sehingga menambah feel adegan per adegan.
Mitos Indonesia dan Perang Dunia
Terlepas dari beberapa kritik terkait penulisan dan jalan cerita yang minim twist, The Crimes of Grindelwald cukup menarik, terutama bagi penonton asal Indonesia. Pasalnya, film ini menampilkan makhluk mitos Indonesia bernama Nagini, yang diperankan oleh aktris Korea Selatan Kim Soo-hyun alias Claudia Kim.
Rowling sendiri dengan bangga menyebut Nagini merupakan makhluk maledictus, manusia yang dikutuk sebagai siluman binatang yang diambil dari mitologi Indonesia. “Naga adalah makhluk mitos seperti ular dalam mitologi Indonesia, karenanya (dalam film) dinamai Nagini. Kadang mereka digambarkan punya sayap, kadang berwujud manusia setengah ular. Indonesia terdiri dari ratusan kelompok etnis, termasuk Jawa, Tionghoa, dan Betawi,” kicaunya di akun Twitter @jk_rowling, 26 September 2018.
Karakter Nagini juga diambil dari tokoh pewayangan Dewi Nagagini yang kisahnya bertautan dengan Mahabharata asal India. Menurut Henri Chambert-Loir dalam Kerajaan Bima dalam Sastra dan Sejarah, Nagagini merupakan putri raja ular Antaboga yang dikawini untuk jadi salah satu tokoh Pandawa, Bima.
Selain pengaitan dengan mitologi Nusantara, dalam The Crimes of Grindelwald sineas amat kentara mengaitkannya dengan fakta historis Naziisme dan Perang Dunia II. Hal itu bisa dilihat dari penyebutan tokoh Grindelwald dengan logat Jermanik (Grindelvald), dan dikaitkan dengan tokoh Adolf Hitler, atau tokoh Albus Dumbledore yang akan menghadapi Grindelwald diibaratkan PM Inggris Winston Churchill, serta markas Grindelwald di Nurmengard diumpamakan seperti Nürnberg/Nuremberg.
Baca juga: Sosok arwah di rumah bersejarah dalam layar perak
“Aksi-aksi Grindelwald serupa dengan tahun-tahun di mana Hitler menikmati kekuasaan singkat. Hitler meraih massa dengan menyalahkan kekalahan Perang Dunia I kepada komunis dan Yahudi. Grindelwald juga mengampanyekan perang dengan memanfaatkan mobilisasi massa penyihir berdarah murni, serupa dengan Hitler yang memerangi ras inferior serta mengagungkan darah murni Ras Arya,” tulis Cecilia Konchar Farr dalam A Wizard of Their Age: Critical Essays from the Harry Potter Generation.
Sementara, Sara Buttsworth dalam Monsters in the Mirror: Representations of Nazism in Post-war Popular Culture menambahkan, “Grindelwald adalah salah satu figur Hitler (dalam pop culture). Dia menggunakan simbol mistik Deathly Hallows menjadi simbol yang ditakuti sebagaimana Hitler menggunakan simbol mistik Swastika.”
Dalam PD II, Hitler dikalahkan Churchill (Sekutu) pada 1945. Grindelwald juga akan dikalahkan Dumbledore dengan latar belakang era 1945. Lantas, Grindelwald bakal kembali dipenjara di Nurmengard, nama sebuah kastil di Austria yang diibaratkan Nuremberg.
Permainan simbol itu makin jelas lewat ironi Kastil Nurmengard, yang dibangun oleh Grindelwald. Hal itu mewakili fakta Nuremberg yang sejak 1933-1938 acap jadi tempat rapat raksasa istimewa Nazi tapi setelah PD II jadi tempat pengadilan para penjahat perang Nazi.
“Grindelwald juga punya slogan ‘For the Greater Good’ (demi kebaikan bersama). Sangat mirip dengan slogan kamp konsentrasi Nazi, ‘Arbeit Macht Frei’ (bekerja untuk kebebasan). Dalam kasus ini, slogan (Grindelwald) bermaksud untuk memperbudak para muggles (manusia),” tandas Christopher E. Bell dalam From Here to Hogwarts: Essays on Harry Potter Fandom and Fiction.