SEJAK rumah produksi HBO mengumumkan rencana penggarapan reboot Harry Potter sebagai serial televisi pada Juni lalu, para penggemarnya mulai tak sabar menantikan siapa-siapa saja yang akan menjadi para pemerannya. Sang penulis serial novel aslinya, JK Rowling, sendiri sudah memberi lampu hijau.
HBO Max sebagai platfrorm OTT (Over The Top) memang sudah mengindikasikannya sejak April 2024. Namun, pengumuman secara resminya baru pada 26 Juni 2024 seiring penetapan duet peraciknya, penulis naskah Francesca Gardiner dan sutradara Mark Mylod.
“Saya sangat senang dengan pengumuman sutradara dan penulis naskah kita, keduanya saya wawancara sendiri sebagai bagian dari tim produksi. Keduanya punya passion sejati untuk #HarryPotter, dan membaca naskah pilot dan mendengar visi Mark, saya yakin series TV-nya akan melebihi ekspektasi,” cetus JK Rowling via akun Twitter pribadinya, @jk_rowling, 26 Juni 2024.
Baca juga: Tiga Wajah Willy Wonka
Sejumlah fans Harry Potter pun mulai berspekulasi di dunia maya meski harus menunggu rilisnya yang rencananya pada 2026. Sebagaimana yang dihimpun LADbible, Senin (29/7/2024), para fans menyebutkan nama aktor kondang Tom Hiddlestone untuk memerankan tokoh Profesor Severus Snape dan Tom Hardy sebagai Sirius Black.
Ada pula nama aktris Gayle Rankin yang diinginkan untuk memerankan Bellatrix Lestrange, dan Michelle Fairley sebagai Profesor McGonagall. Mereka bahkan “menominasikan” Daniel Radcliffe –si pemeran utama di delapan waralaba versi layar lebar– tapi bukan lagi sebagai Harry Potter melainkan sebagai tokoh antagonis Lord Voldemort.
Sebelumnya, novel fantasi karya JK Rowling itu diadaptasi sebagai waralaba Harry Potter yang digarap Warner Bros sejak 2001, yakni Harry Potter and the Sorcerer’s Stone (2001), Harry Potter and the Chamber of Secrets (2002), Harry Potter and the Prisoner of Azkaban (2004), Harry Potter and the Goblet of Fire (2005), Harry Potter and the Order of the Phoenix (2007), Harry Potter and the Half-Blood Prince (2009), Harry Potter and the Deathly Hallows: Part 1 (2010), dan Harry Potter and the Deathly Hallows: Part 2 (2011).
Delapan film waralabanya mencatatkan rekor sebagai salah satu film seri terlaris keempat sepanjang sejarah. JK Rowling sang penulis juga ikut terlibat sebagai salah satu produser bersama Warner Bros. Alhasil semua judul film serinya pun sejurus dengan tujuh seri novel yang dibidaninya.
Baca juga: Momok Nazi dan Mitos Indonesia dalam Fantastic Beasts
Bibliofil yang Menemukan Dunia Sihir Harry Potter
Joanne Kathleen Rowling hari ini genap berusia 58 tahun. Ia lahir di Yate, Gloucestershire, Inggris pada 31 Juli 1965 sebagai anak pertama dari dua bersaudari di tengah keluarga kelas pekerja. Ibunya Anne Volant dan ayahnya Peter James Rowling kebetulan sama-sama purnawirawan Angkatan Laut Inggris yang kemudian bekerja sebagai pekerja pabrik di Bristol Siddeley.
JK Rowling dikenal sebagai bibliofil atau pecinta buku karena sejak kecil ditularkan ayah dan ibunya yang acap membacakan buku cerita kepada kedua putrinya. Kelak, buku-buku itu diakui JK Rowling sebagai inspirasinya untuk jadi penulis. Beberapa di antaranya buku fantasi anak-anak The Wind in the Willows (1908) karangan Kenneth Grahame dan serial The Chronicles of Narnia (1950-1956) karya Clive Staples Lewis.
“Seperti kebanyakan anak-anak yang senang cerita binatang, Jo (panggilan kecil JK Rowling) bukan pengecualian. Di usia empat tahun ia sangat senang karakter-karakter di buku Wind in the Willows. Jo bahkan sudah bisa mengarang cerita sendiri, di mana adiknya, Di (Diana, red.) diceritakan jatuh ke lubang kelinci tapi tetap bisa survive dengan buah stroberi pemberian keluarga kelinci. Pun pada usia lima atau enam tahun Jo juga sudah sering mengarang cerita bersama teman-teman sebayanya,” tulis Charles J. Shields dalam biografi J. K. Rowling.
Baca juga: Sengkarut Drama Emma dalam Empat Musim
Di masa usia sekolah hingga kuliah jurusan sastra Prancis di University of Exeter, beragam buku lintas genre pun tetap jadi “makanan” sehari-harinya. Mulai dari karya-karya Jane Austen (Emma, 1816), William Shakespeare (Macbeth, 1606), Charles Dickens (A Tale of Two Cities, 1859), hingga John Ronald Reuel Tolkien (The Hobbit, 1937 dan seri novel The Lord of the Rings, 1954-1955).
JK Rowling kian termotivasi untuk menulis pasca-kematian ibunya pada 30 Desember 1990 karena penyakit sclerosis multipel atau gangguan syaraf yang memengaruhi fungsi otak, mata, dan sumsum tulang belakang. Ia mulai terilhami sejumlah karakter penyihir cilik dan dunia sihir Harry Potter medio 1990. Saat itu JK Rowling sudah tinggal sendiri di London seiring hubungannya yang memburuk dengan sang ayah dan menyambung hidup sebagai pekerja lepas di organisasi Hak Asasi Manusia (HAM) Amnesty International.
“Salah satu pengalaman formatif terhebat sepanjang hidup saya sebelum melahirkan Harry Potter adalah di awal usia 20-an saya mendapat gaji untuk membayar sewa (apartemen) dengan bekerja di departemen riset Afrika di markas Amnesty International di London. Saya mulai menulis buku setiap jam makan siang,” kenang JK Rowling dalam salah satu otobiografinya, Very Good Lives: The Fringe Benefits of Failure and the Importance of Imagination.
Selain mendapatkan gaji yang bisa untuk menyambung hidupnya, bekerja di Amnesty International memberi keuntungan lain pada Rowling.
“Saya juga bisa lebih belajar akan sisi baik dari manusia di Amnesty International daripada sebelumnya. Kekuatan empati mengantarkan kepada aksi kolektif, menyelamatkan nyawa, dan membebaskan orang-orang tersandera. Peran kecil saya itu menjadi pengalaman paling menginspirasi dalam hidup saya,” tambahnya.
Pada suatu hari di bulan November 1990, ia sedang dalam perjalanan dengan keretaapi dari Manchester ke London usai mengunjungi pacarnya. Di dalam keretaapi yang penuh sesak dengan perjalanan yang tertunda selama empat jam itulah tetiba saja karakter penyihir cilik Harry Potter dan dua sidekick-nya, Ron Weasley dan Hermione Granger, muncul di pikirannya.
Baca juga: Sengkarut Dongeng Putri Salju
Setibanya di rumah, ia segera menuliskan apa yang ada di pikirannya. Lalu waktu di jam makan siang pada hari-hari kerja dihabiskannya untuk mengembangkan ceritanya, termasuk ketika ia masih dirundung duka saat ibunya wafat pada 30 Desember 1990.
“Bagi Rowling, hidupnya mulai kesulitan dan berbeda jika dibandingkan semasa ibunya masih hidup. Ia sempat mencari pelarian ke Porto, Portugal. Ia meninggalkan sang pacar dan mengambil pekerjaan mengajar bahasa Inggris. Ia mengajar di malam hari dan menulis di siang hari. Ia juga jatuh cinta pada seorang pria, Jorge Arantes dan menikahinya hingga melahirkan seorang putri, Jessica,” tulis Victoria Peterson-Hilleque dalam How to Analyze the Works of J. K. Rowling.
Pernikahan Rowling dan Jorge hanya seumur jagung. Setelah bercerai, Rowling membawa putrinya pindah ke Skotlandia supaya tinggal dekat adiknya, Diana. Hidupnya makin sulit hingga harus menyambung hidup dari subsidi pemerintah yang memberikan bantuan sosial kepada para ibu tunggal.
“Tetapi Rowling tetap mampu menyelesaikan bukunya sebelum akhirnya ikut program sertifikasi mengajar pada 1995. Ia menulis dan menyelesaikan bukunya di kafe-kafe saat Jessica terlelap tidur di kereta bayinya,” lanjutnya.
Baca juga: John le Carré di Antara Dunia Mata-mata dan Sastra
Rowling menyelesaikan buku pertamanya, Harry Potter and the Philosopher’s Stone, pada 1995. Tapi naskah itu ditolak 12 penerbit meski sudah dibantu The Christopher Little Literar Agency. Akhirnya, pada 1997 penerbit buku anak-anak Bloomsbury Publishing berkenan menerbitkannya.
Kisahnya hampir sama dengan yang diceritakan dalam film. Ceritanya berkisar di kehidupan seorang penyihir cilik yang dirawat paman dan bibi yang cuek serta sepupu yang perundung. Tetiba saja ia mendapat undangan masuk sekolah sihir Hogwarts School of Witchcraft and Wizardry. Di situlah ia bertemu dua sahabatnya, Ron Weasley dan Hermione Granger, yang membantu Harry melawan penyihir jahat Lord Voldemort.
Sampai menerbitkan seri terakhirnya, Harry Potter and the Deathly Hallows (2007), Rowling dinobatkan majalah Forbes sebagai penulis dengan bayaran terbesar pada 2008. Telepas dari itu, Rowling tak pernah menyebutkan bahwa kisah-kisah di semesta Harry Potter itu terinspirasi atau terpengaruh beberapa penulis.
“Saya benar-benar tidak tahu dari mana ide-ide saya (tentang Harry Potter) itu datang atau bagaimana imajinasi saya bekerja. Saya hanya bersyukur ide-ide dan imajinasi itu hadir karena bagi saya ide-ide itu adalah entertainment tersendiri ketimbang pemberian (pengaruh) dari orang lain,” kata Rowling dikutip Sunday Herald, 13 November 2001.
Baca juga: Robbie Coltrane dari Sketsa Komedi ke Semesta Harry Potter
Tetapi tak bisa dipungkiri, ada beberapa kesamaan karakter dan jalan cerita dengan buku-buku lain. Salah satunya dengan buku trilogi fantasi Akademia Pana Kleksa (1946) karya novelis Polandia Jan Brzechwa. Novel fantasi itu menceritakan tentang sebuah akademi sihir yang diampu kepala sekolah Profesor Ambrozy Kleks.
Lalu, trilogi Lord of the Rings (LOTR)-nya JRR Tolkien. Secara kasat mata, ada beberapa karakter yang begitu mirip. Selain tokoh penyihir gaek Gandalf (LOTR) dan Professor Albus Dumbledor (Harry Potter), karakter Grima Wormtongue (LOTR) dengan Wormtail (Harry Potter), antagonis Lord Sauron (LOTR) dengan Lord Voldemort (Harry Potter), hingga monster Shelob dan Nazgul (LOTR) dengan Aragog dan Dementors (Harry Potter).
“Cukup dangkal (perbandingannya). Saya tidak membaca The Hobbit sebelum menyelesaikan buku pertama Harry Potter walau saya sudah membaca The Lord of the Rings saat masih berusia 19 tahun. Tolkien sepenuhnya menciptakan mitologi baru yang takkan pernah saya klaim bahwa saya juga demikian. Di sisi lain, rasanya saya punya lelucon-lelucon yang lebih baik dalam buku-buku saya,” ujar Rowling dalam kesempatan berbeda, dilansir Sydney Morning Herald, 2 Oktober 2004.
Terakhir, The Chronicles of Narnia. Dalam novel karya C. S. Lewis itu, para karakter utamanya bisa masuk ke dunia magis Narnia karena masuk ke sebuah lemari ajaib. Sedangkan dalam novelnya Rowling menceritakan bahwa Harry Potter bisa masuk ke dunia sihir untuk sekolah di Hogwarts dari dunia nyata melewati sebuah portal ajaib di Peron 9¾ di Stasiun King’s Cross.
“Narnia literally dunia yang berbeda. Sementara dalam buku-buku Harry (Potter) Anda akan masuk ke sebuah dunia di dalam dunia yang bisa Anda lihat jika Anda pantas berada di dalamnya. Meski saya mengagumi buku-buku Narnia sejak kecil tapi tidak ada humor yang dikombinasikan dengan sihir dalam buku itu,” ujar Rowling, dikutip suratkabar The Sydney Morning Herald, 28 Oktober 2001.
Terkait Peron 9¾, Rowling menguraikan bahwa portal ajaib di Stasiun King’s Cross itu terinspirasi kisah cinta sejoli Anne Volant dan Peter Rowling, ibu dan ayahnya. Keduanya pertamakali bertemu di sebuah peron di Stasiun King’s Cross, London pada awal 1960-an, dan terjebak cinta pada pandangan pertama saat keduanya berada dalam satu rangkaian keretaapi yang sama.
“Di salah satu stasiun terbesar di Inggris itu, Peter Rowling, teknisi otomotif berusia 19 tahun kepincut saat memandangi seorang penumpang, Anne, teknisi sebuah laboratorium yang juga berusia 19 tahun. Setela setahun memadu kasih, Peter melamarnya, juga di dalam keretaapi! Kemudian putri pertama mereka, Joanne (J.K.) Rowling akhirnya lahir pada 31 Juli 1965,” tandas Shields.
Baca juga: Epos Majapahit Lebih Seru dari Game of Thrones