Masuk Daftar
My Getplus

Sejarah Lem Aibon

Inilah riwayat perekat berwarna kuning yang lagi trending.

Oleh: Hendri F. Isnaeni | 30 Okt 2019
Lem Aica Aibon. (aica.co.id).

Lem Aibon jadi trending topik. Sebabnya, anggota DPRD DKI Jakarta dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI), William Aditya, menemukan anggaran janggal dalam APBD DKI Jakarta. Dia mempertanyakan anggaran Rp82 miliar yang diajukan oleh Dinas Pendidikan DKI Jakarta untuk membeli lem Aibon yang akan dibagikan kepada 37.500 siswa. Entah untuk apa lem Aibon itu?

Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Syaefuloh Hidayat menjelaskan bahwa tidak ada anggaran Rp82,8 miliar untuk pembelian lem Aibon dalam program belanja alat tulis kantor 2020. Anggaran Rp82,8 miliar itu merupakan anggaran sementara yang dimasukkan ke dalam sistem e-budgeting DKI Jakarta. Anggaran itu adalah anggaran alat tulis kantor seluruh sekolah di Suku Dinas Pendidikan Wilayah 1 Jakarta Barat. Namun, anggaran tersebut kemudian disisir kembali oleh Suku Dinas Pendidikan Wilayah 1 Jakarta Barat dan Dinas Pendidikan DKI Jakarta. Anggaran tersebut kemudian direvisi dari Rp82,8 miliar menjadi Rp22,7 miliar untuk alat tulis kantor di seluruh sekolah di Suku Dinas Pendidikan Wilayah 1 Jakarta Barat.

“Belanja alat tulis kantor yang di situ ada komponen Aibon disampaikan Rp82 miliar, sebenarnya alat tulis kantor seluruh sekolah itu hanya Rp22 miliar,” kata Syaefuloh di Gedung DPRD DKI Jakarta, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Rabu (30/10/2019), dikutip Kompas.com.

Advertising
Advertising

Baca juga: Cara Bang Ali Menggunakan APBD

Lem Aibon yang berwarna kuning telah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Bahkan, namanya telah menjadi brand image untuk produk lem. Lem Aibon telah hadir di pasaran Indonesia sejak tahun 1974. Perusahaan yang memproduksinya adalah PT Aica Indonesia.

Menurut Ohiao Halawa dalam biografi Soerjadi, Membangun Citra Partai, PT Aica Indonesia didirikan tahun 1974, dengan pemilik saham Pakarti Yoga Group (milik Sofjan Wanandi), Metropolitan Group (milik Ciputra), Aica Kogyo Co. Ltd. dari Jepang, dan Mitsui Group. Perusahaan ini menghasilkan lem dan formika, yaitu bahan tipis berkilat yang terutama dipakai untuk pelapis furnitur.

“Dewasa ini (1993), PT Aica Indonesia memiliki sekitar 190 karyawan. Asetnya sekitar 20 miliar rupiah. Pangsa pasarnya 60% untuk ekspor. Soerjadi sendiri adalah presiden direkturnya sejak tahun 1982,” tulis Ohiao.

Soerjadi menjadi presiden direktur (presdir) PT Aica Indonesia setelah beberapa tahun tidak memiliki presdir. “Karena kata sementara orang tidak ada yang mau menjadi presdir, katanya sudah ada dua orang presdirnya yang meninggal dunia semasa memegang jabatan sebagai presdir,” tulis Ohiao.

Baca juga: Cerita Sofjan Wanandi di Balik Pasangan SBY-JK di Pilpres 2004

Dalam testimoninya di buku Sofjan Wanandi: Aktivis Sejati, Soerjadi mengungkapkan bahwa setelah tak lagi menjadi anggota DPR, dia menganggur karena tak memiliki pekerjaan lain selain berpolitik. Dia kemudian mendatangi Sofjan Wanandi.

“Lalu saya ditawari untuk memimpin salah satu perusahaannya (produsen Aica Aibon) yang tidak memiliki presiden direktur (dua kali presiden direkturnya meninggal dunia),” kata Soerjadi.

Empat tahun setelah menjabat presdir PT Aica Indonesia, pada 1986 Soerjadi terpilih menjadi Ketua Umum PDI (Partai Demokrasi Indonesia) dalam Kongres III PDI di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta. Dia juga kemudian menjadi anggota DPR.

“Tugas saya sebagai Wakil Ketua DPR, saya jalankan sebaik-baiknya. Demikian juga di PT Aica ini. Meskipun di sini saya dapat duit cukup menurut ukuran saya, tetapi prioritas saya tetap di PDI,” kata Soerjadi.

Soerjadi mengklaim PT Aica Indonesia tidak merasa dirugikan karena dia sibuk mengurus partai. “Perusahaan ini bukan punya saya, yang menilai dan menentukan adalah pemilik saham. Pemilik perusahaan yang menentukan, siapa yang akan menjadi presdir dan digajinya, kalau dirugikan tentu tidak mungkin mau mentolerirnya,” kata Soerjadi yang pensiun dari PT Aica Indonesia tahun 2004.

Baca juga: Soerjadi dan Setan Gundul dalam Kemelut PDI

Sementara itu, untuk memasakan hasil produksi PT Aica Indonesia, Metropolitan Group dan Pakarti Yoga Group mendirikan PT Marga Bhatara pada 1974. “Perusahaan ini memasarkan Aica Aibon, pelopor lem serba guna, dan Aica Melamine pelapis dekoratif untuk memperindah furnitur,” demikian disebut dalam buku Profil Top Indonesia, terbitan Pusat Profil dan Biografi Indonesia (PPBI).

Menurut Yanri Sali, Direktur Utama PT Marga Bhatara, kedua produk tersebut telah memperoleh sertifikat ISO 9002. “Tidak mudah mempertahankan market share dari suatu produk yang sudah berumur lebih dari 25 tahun (dari 1974 hingga awal tahun 2000-an, red.). Apalagi nyaris tanpa diversifikasi, harganya paling tinggi di antara produk sejenis, dan tiap tahun selalu bermunculan merek-merek baru. Namun berkat keuletan, dengan kiat-kiat jitu, maka produk Aica Aibon dan Aica Melamine tetap profitable setiap tahun, termasuk pada tahun-tahun krisis,” kata Yanri.

TAG

merek

ARTIKEL TERKAIT

Menghirup Sejarah Ngelem Aibon Buruh Sritex dari Timor Leste Demonstrasi Buruh Sritex Terbesar Pangeran Adiningrat Dibuang Karena Uang Palsu Seabad Maskapai KLM Menghubungkan Amsterdam-Jakarta Perantau Tangguh yang Menaklukkan Batavia Gonjang-ganjing Nasionalisasi Perusahaan Asing Kasus Perampokan Kereta Api Terbesar Awal Mula Meterai di Indonesia Kisah Penipu Ulung yang Mencoba Menjual Menara Eiffel