WAKTU Ali Sadikin mulai kerja sebagai gubernur DKI Jakarta hampir tak tahu mesti mulai dari mana. Untungnya ada Rencana Induk Pembangunan Jakarta yang dibuat pada masa Gubernur Sudiro yang disusun oleh para ahli dari luar negeri.
“Saya tahu sudah ada Rencana Induk Pembangunan Jakarta. Maka saya telaah rencana yang sudah dibuat oleh pendahulu saya itu, saya sesuaikan dengan perkembangan keadaan dan menjadikan rencana itu sebagai pedoman bagi pembangunan kota,” kata Ali Sadikin dalam memoarnya, Membenahi Jakarta Menjadi Kota yang Manusiawi karya Ramadhan KH. “Tentu saja penyesuaian-penyesuaian itu tidak asal saja. Semuanya harus diperhitungkan dengan cermat, dibahas secara teliti, baru diputuskan.”
Bahkan, Ali tidak membenarkan terjadinya penyimpangan dari rencana itu. “Sebab kalau penyimpangan-penyimpangan itu kita biarkan, pasti tak ada gunanya lagi pedoman itu,” kata Ali.
Ali membawa dan membahas rencana itu dengan DPRD-GR. Keluarlah surat keputusan DPRD-GR tanggal 3 Mei 1967 tentang Pengesahan Rencana Induk (Master Plan) DKI Jakarta 1965-1985. Rencana induk 20 tahun itu merupakan landasan pokok yang pertama ditetapkan untuk membangun Jakarta. Dan itulah salah satu prioritas utama dalam strategi dasar pemerintahan DKI Jakarta.
“Maka, berjalanlah Pemda DKI Jakarta dengan pembangunannya, sementara biaya untuk itu sudah saya dapatkan dari usaha sendiri dengan kiat-kiat yang berani,” kata Ali. Kiat-kiat berani itu seperti mengizinkan perjudian dan memungut pajaknya. Sehingga, orang yang tak suka menjulukinya “gubernur judi” atau “gubernur maksiat.”
Ali berhasil meningkatkan APBD DKI Jakarta dari Rp1.169.273.293 pada 1966/1967 menjadi Rp89.516.580.000 pada 1977/1978 atau kurang lebih 77 kali lipat dalam waktu sebelas tahun.
Pada periode 1969/1970 sampai 1973/1974, anggaran digunakan untuk proyek-proyek pembangunan yang digolongkan menurut pembidangan: pemerintahan, keamanan dan ketertiban, kesejahteraan rakyat, prasarana, perekonomian, dan perbaikan kampung. Sejak 1971/1972 pembidangan kegiatan bertambah satu bidang yaitu PON VIII di Jakarta.
“Melihat persentasenya anggaran pembangunan untuk masing-masing bidang bisa saya ingat bahwa untuk bidang prasarana adalah yang tertinggi, rata-rata lebih dari 40%,” kata Ali.
Pada periode selanjutnya 1974/1975 terjadi perubahan dalam pembidangan pembangunan karena disesuaikan dengan pedoman yang dikeluarkan menteri dalam negeri. Sejak periode itu, pembidangan yang berlaku adalah bidang ekonomi sosial dan bidang umum yang mendapat anggaran terbanyak, sekira 60%. “Hal ini karena sarana kota waktu itu sudah membaik,” kata Ali.
Dalam menggunakan anggaran, Ali berprinsip untuk mengutamakan anggaran untuk pembangunan. Sedangkan untuk anggaran rutin (biaya yang dikeluarkan bagi pelaksanaan umum pemerintahan di luar pembangunan dalam bentuk proyek) di bawah 50%.
“Dalam menyusun anggaran RAPBD saya selalu berpedoman kepada ketetapan bahwa anggaran pembangunan harus lebih dari 50% dan anggaran rutin kurang dari 50% dari anggaran. Policy itu tetap saya pelihara, dari mulai saya jadi gubernur sampai selesai tugas (1966-1977),” kata Ali.
Kendati anggaran rutin ditetapkan di bawah 50%, Ali tetap memperhatikan kesejahteraan pegawainya. Oleh karena itu, dia meningkatkan anggaran rutin dari Rp14.951.990.000 pada 1974/1975 menjadi Rp39.726.580.000 pada 1977/1978.
“Hal ini antara lain disebabkan nafkah para pegawai patut saya naikkan. Dengan begitu kesejahteraan para pegawai Pemerintah DKI Jakarta naik. Penampilan mereka juga tambah menyenangkan. Harga diri mereka juga bertambah tinggi,” kata Ali.