Rencana pemerintah membangun tempat wisata ala Jurrasic Park di Pulau Rinca, Nusa Tenggara Timur (NTT), menimbulkan perdebatan. Terlebih setelah sebuah foto beredar di media sosial sepanjang minggu ketiga Oktober 2020. Foto itu menangkap momen varanus komodoensis atau komodo, hewan khas NTT, berhadapan dengan sebuah truk pengangkut material bangunan.
Aktivis lingkungan menyebut pembangunan tempat wisata akan merusak habitat komodo dan mengganggu hubungan penduduk setempat dengan komodo dan hewan lainnya. Sebaliknya, pemerintah menjanjikan pembangunan akan memperhatikan keselamatan satwa di lingkungan sekitarnya.
Pulau Rinca adalah habitat terbesar kedua komodo di NTT setelah Pulau Komodo. Sebaran dan populasi komodo di NTT tersua di lima pulau: Komodo, Rinca, Gili Motang, Nusa Kode, dan Padar. Berkat penyebarluasan informasi tentang komodo di Pulau Komodo, bisnis pariwisata di tempat ini bertumbuh pesat.
Baca juga: Pertemuan Ilmuwan Amerika dengan Komodo
Orang-orang di lima pulau tersebut sebenarnya menyebut kadal raksasa ini sebagai ora. J.A.J. Verheijen dalam Pulau Komodo: Tanah, Rakyat, dan Bahasanya menyebut ora kali pertama dideskripsikan secara ilmiah pada 1912 oleh P.A. Ouwens.
Sebelumnya, orang-orang setempat telah berinteraksi lama dengan ora. Mereka bahkan mengekalkan memori kolektifnya dan menautkan asal-usulnya bersama ora.
Verheijen menukil kisah asal mula munculnya manusia di Pulau Komodo dan sekitarnya berdasarkan tradisi lisan. “Maka terjadi pada suatu hari dua anak dilahirkan. Satu yang hidup adalah ora (varanus), yang lain itu manusia,” sebut Verheijen. Si Ibu meninggal setelah melahirkan.
Tapi si ayah hanya membesarkan anak berwujud manusia. Sedangkan ora tak dirawat. Ia pun pergi ke hutan. Selama turun-temurun, ata modo atau orang-orang Pulau Komodo percaya Ora merupakan saudara mereka.
Baca juga: Legenda Buaya di Kalangan Masyarakat Sulawesi Selatan
Publikasi ilmiah orang-orang Barat sejak 1912 mengubah banyak hal. Kata komodo menggantikan sebutan lokal untuk ora. Publikasi-publikasi itu menyebut komodo sebagai hewan purba. Dunia pun gempar.
“Dengan ditemukannya binatang komodo di tahun 1912, menyebabkan Pulau Komodo menjadi terkenal dan banyak dibicarakan. Tidak saja banyak turis datang ke pulau tersebut, tetapi juga para ahli ilmu pengetahuan menjadi tertarik pula untuk menyelidiki dan mengamati dari segi budayanya,” ungkap Verheijen.
Ora menjadi hewan yang dilarang diburu dan dibunuh. Sultan Bima sebagai penguasa lokal di wilayah ini menegaskan hal tersebut dalam peraturan 12 Maret 1915. Pemerintah kolonial mengganti peraturan itu dengan Besluit van het Zelfbestuur van het landschap pada 1927. Meski nama peraturan berubah, isinya sama: melarang pembunuhan dan perburuan ora. Selain itu, tercatat pula penetapan Pulau Komodo, Padar, dan Rinca sebagai kawasan suaka margasatwa.
Baca juga: Awal Mula Pariwisata di Indonesia
Meski minat orang pada Pulau Komodo mulai terbuka sejak 1912, perhatian pada pengembangan pariwisata di kawasan ini masih kecil. Akses menuju ke sana dan infrastruktur transportasi belum cukup layak. Turis memang berdatangan, tetapi jumlahnya belum berarti. Keadaan ini tak berubah sampai Indonesia merdeka.
Arah pengembangan wisata Indonesia pada masa 1950-1960-an bertumpu pada kesenian tradisional sesuai dengan semangat membangun kepribadian bangsa. “Pada masa itu negara kita sedang keranjingan akan objek-objek kepariwisataan seperti sendratari Ramayana, Lutung-Kesarung, karavan sapi, dan lain-lain,” tulis Djaja, No. 269 tahun 1967.
Baca juga: Turis Bukan Hanya Orang Asing
Permintaan untuk mengembangkan habitat ora sebagai daerah wisata datang dari pebisnis pariwisata luar negeri. “Dewan Pariwisata Indonesia (Depari, red.) menerima banyak permintaan dari kaum pariwisata luar negeri untuk dapat megunjungi dan menyaksikan dari dekat kehidupan biawak raksasa di pulau itu,” catat Mimbar Penerangan, 1 Mei 1963.
Atas permintaan tersebut, Depari mengoordinasi sebuah rombongan berjumlah 29 orang untuk mengunjungi pulau-pulau habitat Komodo di NTT. Tim itu terdiri dari orang Jawatan Hidrografi Angkatan Laut, Departemen Perhubungan Laut, Departemen Pertanian dan Agraria, Direktorat Topografi Angkatan Darat, Kepolisian, Departemen Imigrasi, Bank Negara Indonesia, pejabat Depari, dan pebisnis pariwisata.
Baca juga: Kisah Badak Tak Bernama
Tim bekerja selama dua pekan mengumpulkan data sebagai bahan pertimbangan perumusan kebijakan pengembangan pariwisata kawasan tersebut. Kalau pemerintah menyetujui, pengembangan kawasan tersebut akan memakan biaya sebesar Rp25 juta.
“Sudah termasuk pembangunan sebuah dermaga sepanjang 150 meter dan pembuatan semacam arena di tepi pantai sebelah timur dari teluk Slawi agar para pengunjung dapat melihat binatang-binatang prasejarah itu dengan mudah,” lanjut Mimbar Penerangan.
Teluk Slawi terletak di bagian tengah Pulau Komodo. Melalui Teluk ini, nantinya para wisatawan dapat menembus ke pedalaman Pulau Komodo di mana ora sering terlihat melenggang secara bebas. Di sinilah tempat terbaik dan teraman untuk melihat ora.
Tapi rencana ini mendapat tentangan keras dari sekelompok orang. “Perlu dijaga jangan sampai binatang-binatang lindungan turun derajat menjadi objek perdagangan baik dalam keadaan masih hidup atau sudah mati,” tulis Djaja.
Rencana pembangunan wisata di Pulau Komodo pun urung terlaksana. Pada 1965, pemerintah mengeluarkan Pulau Rinca dan Padar sebagai kawasan suaka margasatwa. Alasannya pulau ini lebih cocok dikembangkan sebagai wilayah wisata ketimbang Pulau Komodo yang berpopulasi ora terbanyak.
Baca juga: Apakah Naga Benar-Benar Ada?
Pengembangan itu makan waktu 20 tahunan. Baru pada 1980-an, kedua pulau tersebut ramai didatangi wisatawan. Ini didahului oleh pembuatan proposal Taman Nasional Komodo pada 1977 dan promosi ora sebagai objek wisata. Antara lain dengan menerbitkan uang Rp50 bergambar ora.
Artikel di media massa juga mulai sering mengangkat Pulau Komodo. “Dalam kebanyakan artikel tersebut, oralah yang menjadi pokok pembicaraan,” sebut Verheijen.
Memasuki 1990-an, ora menjadi maskot Pekan Olahraga Nasional ke-13. Selain itu, ora juga diangkat sebagai boneka dalam acara anak-anak garapan Kak Seto, “Si Komo”. Perhatian orang pada ora pun terus lekat dan mengalir.
Hingga akhirnya datang masa keemasan bisnis wisata di NTT seiring munculnya media sosial pada 2010-an dan membaiknya pendapatan masyarakat. Tak heran jika banyak pengusaha melihat peluang mengembangkan bisnis wisata lewat ora.