Bank Syariah Indonesia (BSI) resmi beroperasi pada 1 Februari 2021. Presiden Joko Widodo berkesempatan membuka langsung operasional bank hasil merger tiga bank syariah BUMN itu.
“Hari yang bersejarah bagi perkembangan ekonomi syariah di Indonesia,” kata Jokowi lewat siaran video.
Bank syariah dinilai sebagai salah satu bentuk wujudnya ekonomi syariah di Indonesia. Sebab bank syariah menjadi salah satu lembaga penunjang ekonomi syariah, selain asuransi dan pegadaian. Bagi pemerintah, penggabungan tiga bank itu menunjukkan dukungan pemerintah untuk mengembangkan ekonomi syariah di Indonesia.
Ekonomi syariah atau disebut juga ekonomi Islam mempunyai tapak panjang di Indonesia. Perkembangannya seturut dengan penyebaran Islam di Nusantara. Sebagai pemikiran dan praktik, ekonomi Islam mempunyai sejumlah tafsiran dan bentuk dari para pemikirnya. Tetapi konsep dasarnya selalu sama.
Landasan Ekonomi Islam
Konsep ekonomi syariah berpijak pada ajaran dan pandangan hidup Islam. Konsep ekonomi Islam lebih luas daripada pembicaraan seputar bank, asuransi, dan pegadaian. “Pada dasarnya sistem ekonomi syariah itu meliputi semua aspek perekonomian,” tulis M. Salim dalam Kajian Ekonomi Islam: Profit Sharing vs Interest.
Secara ringkas, konsep dasar ekonomi Islam ialah segala macam perilaku ekonomi manusia yang ditujukan sebagai bentuk ibadah kepada Tuhan. “Untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat,” tulis Dawam Rahardjo dalam Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi.
Konsep ibadah kepada Tuhan ini diwujudkan melalui tata cara pergaulan antarmanusia (muamalah). Dalam pergaulan itu, manusia dibebankan berlaku adil kepada sesamanya. Termasuk pula dalam urusan keuangan, bisnis jual beli, dan pemenuhan kebutuhan barang dan jasa. Perlakuan adil itu untuk menjamin kemaslahatan dan kesejahteraan bersama.
Baca juga: Jejak Filantropi Orang Indonesia
Ekonomi Islam tak melarang praktik pengumpulan kekayaan dan ambil untung selama kekayaan dan keuntungan ditujukan sebagai ibadah. Karena itulah, menjadi konglomerat atau orang kaya bukan sesuatu yang diharamkan. Malah kekayaan itu dapat dijadikan sarana untuk berderma kepada orang lain dalam bentuk zakat, sedekah, infak, dan wakaf.
“Konglomerat bukan merupakan lembaga usaha yang diharamkan dalam konsep ekonomi Islam. Islam pada dasarnya mengakui adanya hak milik atau kekayaan pribadi atau perorangan,” catat Kompas, 30 Juni 1990, dalam laporannya tentang seminar Ekonomi Islam di Indonesia. Yang terlarang ialah menumpuk kekayaan dan menghambat harta agar terkumpul pada segelintir orang (monopoli).
Ini menjelaskan mengapa sejumlah sahabat Nabi Muhammad Saw. mempunyai jumlah kekayaan yang besar selama abad 7 M. Begitu pula ketika masa awal penyebaran Islam ke Nusantara pada abad 9–15 M. Banyak para penyebar Islam juga merangkap sebagai saudagar kaya. Mereka menggunakan sebagian kekayaan mereka untuk dakwah Islam.
Periode Pertumbuhan
Syahbudi dalam “Pemikiran dan Gerakan Sistem Ekonomi Islam di Indonesia”, termuat dalam jurnal Hermeneia, Vol. 2 No. 2, Juli-Desember 2003, menyebut masa ini sebagai periode pertumbuhan sistem ekonomi Islam. Meski bentuk lembaga ekonomi Islam belum jelas pada periode ini, nilai-nilai ekonomi Islam sudah mewujud dalam praktik berniaga. Ini mendorong pula penerimaan penduduk tempatan terhadap agama Islam.
“Jika sistem ekonomi yang dibawa merusak tatanan rasa keadilan dan kedamaian masyarakat, kuat keyakinan saya bukan hanya pedagang muslimnya yang tertolak, bahkan Islam sendiri secara otomatis juga ditolak,” catat Syahbudi.
Lembaga ekonom Islam mulai terbentuk selama masa kurun niaga atau kebangkitan perdagangan rempah (abad 17–18 M). Pada masa ini, pelembagaan ekonomi Islam tersua dalam beberapa aturan dagang di pelabuhan milik kesultanan Islam di Sumatra dan Jawa. Sebagai contoh di Kesultanan Aceh.
Baca juga: Filantropi Masa Resesi Ekonomi di Hindia Belanda
Praktik ekonomi Islam terwujud pula dalam sistem pembayaran. Alat bayarnya menggunakan uang emas. Emas dianggap sesuatu yang bernilai tetap, pasti, dan bisa ditakar.
Kesultanan Islam juga membentuk badan-badan pengelola ekonomi dan pengamanan dari monopoli bahan perdagangan pokok. “Di wilayah kesultanan Nusantara juga berlaku sistem kelembagaan kemitraan dagang (partnership atau syarikah, mufawadah),” tulis Syahbudi.
Sistem syarikah mensyaratkan adanya kejujuran, kepercayaan, dan bagi hasil (mudharabah) untuk tiap pedagang. Sebab sistem ini mengharuskan salah satu pedagang menitipkan dagangannya kepada pedagang lain untuk dijual.
Mulai Berbentuk
Memasuki abad ke-19, aktivitas perdagangan rempah surut. Belanda merebut banyak wilayah di Hindia Timur. Perdagangan hasil perkebunan seperti teh, kopi, dan tembakau menjadi primadona aktivitas ekonomi Hindia Belanda.
Bersama itu, Belanda memperkenalkan sistem kapitalisme Barat, uang kertas, dan bank dengan riba (usury) atau tambahan nilai dalam praktik pinjaman dan jual beli. Belanda juga memonopoli ekonomi perkebunan sehingga memunculkan praktik rente, yaitu memperoleh untung sebesarnya dengan modal sekecilnya.
Sistem kapitalisme ini bertahan lebih dari satu abad. Kritik terhadap sistem ini pun bermunculan dari umat Islam. Sebab sistem dan praktik turunannya tersebut bertentangan dengan ajaran dan pandangan hidup Islam. Sejumlah tokoh Islam seperti Samanhoedi, K.H. Ahmad Dahlan, dan K.H. Hasyim Asy’ari mengkritiknya lewat praktik langsung.
Tiga tokoh ini membentuk organisasi Sarikat Dagang Islam (SDI), Muhammadiyah, dan Nahdlatul Oelama (NU). Corak perjuangan tiga organisasi ini berbeda, tetapi mempunyai perhatian besar kepada masalah ekonomi masyarakat.
Baca juga: Para Pemikir Ekonomi Syariah di Indonesia
SDI berusaha menghimpun solidaritas sesama pedagang muslim untuk melawan monopoli pedagang Tionghoa dan Belanda. Muhammadiyah berupaya turut menyejahterakan masyarakat melalui penghimpunan dana dalam bentuk bank, koperasi, dan syarikah. Mereka berupaya mendirikan Bank Muhammadiyah pada Kongres 1937.
NU melangkah dengan praktik kemandirian ekonomi pesantrennya. Mereka menerapkan praktik bagi hasil bagi pesantren yang menjual barang dagangan berlabel NU. “Para kiai, kader NU, dan masyarakat didorong mendirikan toko sendiri, dengan logo NU, untuk menjual barang-barang yang diperlukan pesantren,” tulis Riswan Rambe dkk. dalam “Gerakan Ekonomi Islam di Indonesia pada Era Kemerdekaan,” termuat dalam jurnal Edu Riligia Januari–Maret 2018.
Setelah Indonesia merdeka, pemikiran ekonomi Islam kian beragam. Sjafruddin Prawiranegara misalnya menegaskan bunga bank tidak tergolong dalam riba sehingga praktik itu diperbolehkan. Sjafruddin tak ingin terjebak pada pembelahan ekonomi konvensional dan Islam. Menurutnya yang terpenting ialah penerapan nilai-nilai Islam dalam ekonomi.
Profesional vs Intelektual
Memasuki 1980-an, perdebatan ekonomi Islam kian mengerucut pada dua kelompok: profesional dan intelektual. Kelompok profesional lebih menekankan pada wujudnya praktik ekonomi Islam melalui pelembagaan seperti bank, asuransi, dan pegadaian. Sementara kelompok intelektual lebih berkutat pada pematangan teori dan konsep ekonomi Islam.
Yang menarik, di tengah dua kelompok itu muncul kelompok kritis yang diwakili oleh Abdurrahman Wahid. Dia mengkritik kelompok intelektual hanya sampai pada utopia atau khayalan saja. Kelompok profesional pun tak lepas dari kritiknya. Saat itu, ide pendirian bank syariah sedang kencang digulirkan oleh A.M. Saefuddin, staf pengajar Institut Pertanian Bogor.
Gus Dur melihat pendirian bank syariah sebagai sesuatu yang dipaksakan. Menurutnya bank syariah akan sulit berkembang karena motif pendiriannya bukanlah orientasi bisnis. Untuk menyindir keterburu-buruan kelompok profesional, Gus Dur mengatakan bahwa orang-orang lebih suka menanam pohon rambutan daripada menginvestasikan uangnya di bank syariah.
Meski kritik terhadap ekonomi syariah bermunculan, para pengusungnya ternyata dapat melangkah lebih jauh. Mereka menggunakan momentum maraknya pendirian bank sejak 1988. Kala itu pemerintah menderegulasi sistem perbankan sehingga aturan mendirikan bank lebih ringkas dengan kebijakan Paket Oktober (Pakto).
Para pengusung ekonomi syariah tak mau ketinggalan. Tapi mereka ingin mendirikan bank yang berbeda. Dalam seminar di Cisarua pada 19–22 Agustus 1990, mereka mengundang pembicara dari Bank Indonesia. Di sana mereka menyampaikan kemungkinan pendirian bank syariah. Bank Indonesia menanggap gagasan ini dengan terbuka. Mereka bilang sangat mungkin. Kondisi politik pun mendukung. Sebab, pemerintah Soeharto mulai mendekat ke kelompok Islam.
Baca juga: Sejarah Lahirnya Bank Syariah di Indonesia
Setahun setelahnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan akte pendirian Bank Muamalat yang berprinsip bagi hasil. Tahun berikutnya, pendirian ini mendapat pijakan legal di atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. “Salah satu payung hukum operasionalisasi bank syariah meski tidak secara eksplisit melandasinya,” tulis Agus Wahid dkk. dalam A.M. Saefuddin Membumikan Ekonomi Islam.
UU tadi menurunkan tiga Peraturan Pemerintah yang mendukung operasionalisasi bank syariah: PP No. 70, 71, dan 72 Tahun 1992. Kemudian pada 1998, tak lama setelah krisis ekonomi menerpa, pemerintah mengeluarkan UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992. Untuk kali pertama, istilah bank syariah tersua dalam produk UU di Indonesia. Artinya, UU ini kian memperkuat aktivitas bank syariah di Indonesia.
Berhasil mewujudkan salah satu bentuk ekonomi syariah, pengusung ekonomi syariah merambah bidang keuangan lain seperti asuransi dan pegadaian. Dua lembaga ini juga mampu berkembang dan menjadi bukti konkret tentang kemungkinan pengembangan ekonomi syariah di Indonesia yang universal.